Pameran “Rise & Grind” di Artspace, Artotel Thamrin, Jakarta. (Foto: Jacky Rachmansyah)

“Rise & Grind” menjadi salam perkenalan yang “gahar” Studio Asylum kepada publik sebagai pendatang baru di kancah seni rupa.

Asylum selama ini dikenal sebagai tempat rehabilitasi bagi mereka yang memiliki gangguan kejiwaan. Namun Safrie Effendi menjadikan Asylum sebagai nama studio dan dikembangkan sebagai wadah berkreasi seniman-seniman sealiran.

Safrie Effendi mengajak dua rekannya, Danang Prihantoro dan Mikhaela Cherry Virginia untuk bergabung dalam Studio Asylum.  Untuk memperkenalkan Studio Asylum, sebuah pameran bertajuk “Rise & Grind” digelar di Artspace, Artotel Thamrin, Jakarta, 19 Agustus hingga 24 September 2016.

“Studio Asylum ini kan studio saya sendiri, awalnya. Selain itu, berangkat dari teman-teman dengan aliran yang sama seperti muralist, tattoo artist, ataupun musisi, yang masih berkarya.” ujar Safrie yang juga berperan sebagai art manager Artotel Indonesia. “Kami memilih tema ini karena biasanya kalau bangun itu kita rise & shine, tapi ini kami pakai rise & grind yang lebih sesuai dengan kami,” lanjutnya.

SAFRIE EFFENDI, Tribe, 120x157 cm, Acrylic on canvas, 2015. (Foto: Jacky Rachmansyah)
SAFRIE EFFENDI, Tribe, 120×157 cm, Acrylic on canvas, 2015. (Foto: Jacky Rachmansyah)

Banyak dipengaruhi oleh budaya underground, ketiganya diikat oleh satu benang merah, yaitu tato. Baik Safrie maupun Cherry sama-sama menggarap desain tato, sedangkan Danang yang lebih dikenal dengan nama Unbound, sudah cukup lama berkecimpung sebagai tattoo artist.

*Ulasan lengkap tentang Salam Perkenalan Studio Asylum bisa dibaca di majalah Sarasvati edisi September 2016