Menyadari akan sifat agitatif seni media yang mampu membuat horor dan utopia secara masif, memburu dengan militan, bahkan hingga ke ruang intim-personal, Eldwin mengumpulkan berbagai video-viral dari media-sosial dari kurun waktu 2013 hingga 2017.
Ingatan adalah medium rekam yang terus tumbuh bersama si pengguna-nya/manusia, abadi menyejarah. Apa-apa yang disimpannya selalu bersifat performatif, tergantung pada siapa dan atas konteks apakah dirinya menampilkan diri. Jika dikaitkan pada praksis seni, agen bernama seniman, sudah berabad-abad lamanya menggunakan metode tersebut, baik sebagai pintu “masuk” ataupun “keluar” dalam tindakan mencipta. Pameran “re: emergence” diniatkan untuk meradikalisasi sistem tersebut, sekaligus menjadikannya alur kuratorial tentang bagaimana ingatan tak hanya berakhir di batas personal eksistensial “saya”, sebab apa-apa yang privat pun, tak pernah benar-benar lepas dari semesta sosial.
Dikuratori Agung Hujatnikajennong, Chabib Duta Hapsoro, dan Yacobus Ari Respati, pameran “re: emergence” yang digelar dari 16 September hingga 22 Oktober 2017, juga bertepatan dengan ulang tahun ke-19 Selasar Sunaryo Art Space (SSAS). Lini seniman yang terkurasi berkisar hingga 30 seniman. Dalam esai kuratorialnya Agung Hujatnikajennong menyebut bahwa visi pameran dengan judul “re: emergence mengandung arti ganda.
Pertama, merujuk pada kemunculan kembali seniman-seniman yang pernah mengikuti pameran dua tahunan Bandung New Emergence (BNE) di SSAS. Kedua, “re: emergence” berarti secara sadar menempatkan tindakan mengingat sebagai impuls untuk membangun hubungan-hubungan artistik antara karya-karya dalam pameran dengan karya, peristiwa seni rupa, dan sosok-sosok seniman yang lain.
Baca juga Mengalami Makna Sebuah Jalan
Alih-alih menampilkan sejarah seni rupa, pameran ini lebih beritikad menarasikan sejarah ingatan seni rupa. Yacobus Ari Respati membahasakannya, jika selama ini sejarah seni rupa selalu dikanonisasi oleh sejarawan/kritikus seni, pada pameran ini seniman seperti merajut ulang, dengan cara-caranya yang khas, sejarah seni rupa dalam cara pandang seniman. Metodenya adalah bagaimana tokoh-tokoh old-master seperti Mochtar Apin, Affandi, hingga barisan seni rupa kontemporer, seperti Amrizal Salayan, Mella Jaarsma, Ay Tjoe Christine, hingga Deden Sambas ditelusuri ulang.
Setidaknya ada dua cara tempuh yang dilakukan para “peneliti” tersebut. Pertama dengan proyeksi empatik, yaitu sebuah upaya emosional dalam menyentuh figur-figur yang sedang dikaji. Kedua—adalah “proyeksi saintifik”, yang lebih memberi jarak, menangguhkan asumsi atas pelabelan-pelabelan terdahulu. Sedangkan strategi ungkap (akhir dari proses pembacaan), terbagi menjadi “moda ekspansi” dan “moda ekstensi”. Pada pola pertama, medium dari seniman yang dikaji masih hadir (lagi) dalam karya tafsirnya, namun dengan kualitas non-formal yang diperluas. Pada yang kedua, sifatnya lebih alih-wahana, sehingga kemediuman bukanlah tujuan, kualitas gagasan/latar sosial karyalah, yang menjadi basis berangkat.
Modernitas Tropis
Bermula dari sebuah pertanyaan: Ketika para seniman sibuk membangun narasi kecil, masih adakah tempat bagi narasi besar, seperti kebudayaan? Theo Frids Hutabarat mencoba berpolemik melalui karya lukis berjudul Kepercayaan I. Sasaran debatnya adalah jaringan seni rupa kontemporer hari ini yang baginya terlalu terpaku pada kemeriahan narasi-narasi kecil, yang sayangnya, meski arus produksinya kencang namun tidak disertai semangat wacana yang memayungi.
Pertanyaan tentang wafatnya narasi besar, apalagi jika dihadapkan dengan sosok bernama Mochtar Apin, tentu akan melemparkan publik pada sebuah babak kebangsaan/nation bernama Indonesia, di sebuah masa yang penuh friksi, terhitung sejak Pujangga Baru (1933), PERSAGI (1938), Polemik Kebudayaan, Surat Kepercayaan Gelanggang-Seniman Merdeka (1950), hingga Manifes Kebudayaan (1963). Kilas kalimat pembuka dari paragraf pertama Surat Kepercayaan Gelanggang, yang berbunyi “Kami adalah ahli waris jang sah dari kebudajaan dunia, dan kebudajaan ini kami teruskan dengan tjara kami sendiri”, digunakan Theo sebagai tulisan langsung pada lukisan berlatarkan figur wanita telanjang.
Bagi Theo, yang menggunakan proyeksi saintifik dan moda ekspansi, Mochtar Apin adalah generasi yang berada dalam lapangan modernitas, yang juga terus bertanya bagaimana cara menjadi modern. Hipotesis Theo mencoba membuat sintesis atas karier kebudayaan Apin, dari menggagas Surat Kepercayaan hingga fase melukis telanjang, dalam satu situs lukisan.
Baca juga Award untuk Seniman di ART STAGE Jakarta
Namun bagaimanakah sebenarnya topografi ideologis modernitas tersebut, misal jika kita persempit pada horizon seni rupa (lukis), yang terjadi di Barat dan di Indonesia? Apabila narasi besar seni lukis modern Barat adalah modern formalis, lalu, bagaimanakah nasib seni lukis modern Indonesia?
Akademisi seni rupa Yustiono berpendapat bahwa frasa “modern” sendiri hanyalah salah satu pilhan dari narasi besar sejarah Indonesia, yang bersaing kelindan dengan nasionalisme, sosialisme-komunisme, juga islamisme, terutama atas beban-beban pencarian identitas nasional. Hasilnya adalah seni lukis representasional, realisme dan ekspresionis. Jadi pertanyaan saya atas pertanyaan Theo adalah, apabila di masa pra-kemerdekaan hingga sesudahnya, kegusaran seni bergolak di antara semangat menimbang kenyataan dan pergi pada bentuk, maka ajuan pertentangan apakah yang ingin digulirkan Theo pada medan seni rupa hari ini.
Cinanti Astria Jonansyah, terpaku jauh bertahun-tahun setelahnya, tertahan’ di hadapan salah satu karya lukis Affandi. Dirinya mengistilahkan bahwa Affandi memiliki “tarikan magnetis” yang berdaya tarik, sehingga dirinya tak bisa beranjak dari keberhadapannya dengan lukisan. Yang menarik dari proyeksi empatiknya tersebut menghasilkan ekspansi yang sama sekali berbeda dengan segala hal yang kita ketahui tentang kerja Affandi.
Dengan menggunakan cat warna ungu, Cinanti memblok seluruh dinding ruangan/galeri SSAS, dan menyisakan dua kotak putih (warna dasar dinding galeri) sebagai pertanyaan tentang karya dan latar-karya, dirinya seolah mengajak keluar dari pendidikan menatap lukisan yang sentripetal. Di karya ini gaya karyanya lebih mendorong kita untuk menonton secara sentrifugal. Sistem bahwa lukisan berada di depan dinding, dan dinding melatari lukisan arahnya diperbesar, sehingga rasio-skala ruangnya menjadi memuai, karyanya membuat kita keluar dari habitus berhadap-hadapan wajah dengan sebuah lukisan.
Menunggangi reruntuhan oposisi
Dalam esai Mencari Indonesia dalam Seni Lukis Indonesia, Sanento Yuliman menyatakan, “Semua orang telah melihat adanya seni lukis di Indonesia, tapi banyak orang yang tidak melihat adanya Indonesia dalam seni lukis.” Pernyataan yang spesifik modernis ini, saya gunakan untuk mengakhiri lanskap oposisional antara Timur dan Barat sembari juga berjalan di atas reruntuhannya, dan bergerak mencari dataran baru, yang sudi menampung gagasan bernama Indonesia, tanpa harus (lagi) berhadapan dengan politik kategori.
Tahun 1989, adalah tahun yang menentukan. Perang dingin berakhir, Uni Soviet bubar, Tembok Berlin runtuh, Francis Fukuyama berlayar di atas kemenangan kapitalisme melalui karya buku The End Of History, teori kajian budaya seperti Pasca-Kolonialisme dan Pasca-Modernisme membantu Indonesia untuk tampil dalam panggung global, melalui sebuah kesempatan bernama seni kontemporer.
Apa-apa yang sebelumnya dinegasi, seperti tradisi, lokalitas, kisah-kisah daerah (folklore) dalam seni modern, kini melalui seni kontemporer seakan mendapatkan kesempatan bicara. Daerah-daerah yang sebelumnya tidak masuk dalam hitungan seni, kini diizinkan tampil. Karya Maharani Mancanagara, (After) A Myth Or Not, berada dalam empasan buih-buih pasca-1989. Mengeksplorasi mitos, tentu adalah salah satu karakteristik tersendiri representasi negara ketiga, yang berada dalam gugus peripheral/pinggiran.
Baca juga Mencicipi Sepotong Rasa Naif
Maharani mencoba mengajukan sebuah asumsi tentang nasionalisme Indonesia, yang tak sepenuhnya dibangun oleh sains, diplomasi, dan teknologi, namun juga takhayul, jampi-jampi, roh-roh halus, serta kesadaran adanya yang di non-fisik, juga bagian dari arsitektur kemerdekaan bangsa Indonesia, yang lapis-berlapis sejak era animisme, Hindu-Budhha hingga Islam dan Kristen. Karya yang bermuasal dari karya Mella Jaarsma – A Myth Or Not tersebut, mencoba melihat bahwa kemerdekaan Indonesia diperjuangkan melalui bambu runcing/pring lancip/Haur Kuning, yang konon dipercaya sebagai penolak bala, dan anti-ilmu hitam, yang dalam pembuatannya diruncingkan bagian ujung, diolesi minyak, dibakar rempah-rempah, sambil diucapkan mantra keselamatan.
Arus buka seni kontemporer pun tidak hanya membantu, tema-tema khas dari negara berkembang untuk tampil di mimbar seni global, namun pun bagaimana medium seni lainnya, di luar seni lukis mendapatkan posisi yang sama. Adalah seni media, yang sifat dan kesejarahannya berbeda dengan medium seni konvensional sebelumnya. Apabila medium lukis selalu bertarung dengan kemungkinan-kemungkinan kebaruan atas sejarah seni ataupun estetika, sedangkan seni media justru erat pertaliannya dengan sejarah komunikasi/sejarah media.
Eldwin Pradipta, berada dalam euforia pasca-gawai, ketika media informasi mengeluarkan limpahan data setiap harinya, sepersekian detik yang membentuk gerombolan-citra. Menyadari akan sifat agitatif dari seni media yang mampu membuat horor dan utopia secara masif, memburu dengan militan, bahkan hingga ke ruang intim-personal, Eldwin mengumpulkan berbagai video-viral dari media-sosial dari kurun waktu 2013 hingga 2017.
Baca juga YANG MENGHUNI DAN YANG MENCIPTA KEDIAMAN
Muatan video-video itu banyak digunakan sebagai alat politik, yang menciptakan dramaturgi opini, dan memecah belah masyarakat. Dalam karya Eldwin, kini media sosial telah mengganti kepemimpinan teknologi informasi dari televisi dan media cetak. Menggunakan judul puisi dari WS Rendra, Aku Tulis Pamflet Ini (1978), yang mengkritik penunggalan informasi dari pemerintahan Soeharto, terutama melalui program sensor film dan TVRI sebagai satu-satunya induk berita, Eldwin mengubahnya menjadi Aku Sunting Video Ini.
Tindakan menyunting sendiri, menjadi sikap dialogisnya dengan keberlimpahan informasi (hari ini) dan konteks (Orde Baru) saat WS Rendra menulis puisi. Premisnya bahwa setiap peradaban menanggung fatalismenya sendiri-sendiri. Dengan display tiga kamera video yang dihadapkan ke bawah dan menghasilkan saling-tabrak gambar pada permukaan lantai, dirinya memotong dan menyusun ulang per kata, dari video-video viral yang telah dikumpulkannya, hingga seakan membacakan ulang puisi WS.Rendra.
Acak dan bertumpuknya antarsuara tersebut, masih terasa residu suara latar belakangnya, namun juga penyuntingan seniman terasa lamat-lamat menuturkan bait demi bait puisi. Di era kini apa yang melatari selalu riuh, perayaan tak pernah benar-benar jelas karena dan untuk siapa, produksi suara terus berlintasan – namun tak satupun maksud yang bisa kita pegang, meski untuk sementara. Jika rezim mono-informasi, menghasilkan masyarakat pasif, maka rezim multi-informasi melahirkan masyarakat anarkis.
Artikel Masa Depan Ingatan dimuat di majalah SARASVATI edisi Oktober 2017