Wedhar Riyadi muncul dengan karya-karya baru. Tidak lagi menggarap objek-objek budaya pop, tapi tulang. Tema kekerasan masih ia pertahankan. Lompatannya terbilang ekstrem.
Wedhar Riyadi muncul dengan karya-karya barunya di Ardnt Gallery, Berlin, Jerman. Riyadi bukan Riyadi yang dahulu dengan karya-karya budaya pop yang menghadirkan—lebih tepat membenturkan—budaya lokal dan global. Karya-karya Riyadi di masa awal merayakan warna-warna cerah, mengangkat sosok-sosok lucu dari dunia komik, mempertemukan ikon-ikon dari budaya pop dari Barat dan Timur, dan memasukkan secara halus soal kekerasan ke dalamnya. Kesadaran akan pengaruh visual budaya pop cukup kuat pada karya-karya Wedhar.
Dalam jagat seni rupa Indonesia nama Wedhar tidak asing lagi dengan bentuk-bentuk dan warna yang diambil dari budaya pop. Cara pengungkapan ini tidak hanya dilakukan Wedhar, namun juga oleh seniman-seniman muda segenerasinya. Di Yogyakarta pengaruh budaya pop lewat buku komik, film populer, ilustrasi di majalah-majalah bertema khusus, juga fitur-fitur permainan di berbagai piranti elektronik muncul dalam karya rupa pada periode 2010-an, terutama untuk dua dimensi. Hingga kemudian, seringnya kemunculan itu sampai pada titik yang kadang membuat jenuh. Karya-karya yang ada cenderung pada satu selera umum dan semakin lama kehilangan daya persuasi secara visual. Salah satu sebabnya, budaya pop yang basisnya adalah industri secara efisien menciptakan sekaligus menggerakkan perubahan secara terus-menerus lewat beragam media. Sementara, ada batasan kreatif untuk selalu berhadapan dan bertindak secara kritis atas bombardir yang dilakukan budaya pop.
Lain dari seniman lainnya, Wedhar melakukan antisipasi yang lebih dalam dengan cara menggeluti tema kekerasan semakin intens dan mencari simbol baru yang bisa dikatakan “retakan” bila kita membandingkannya dengan karya-karya Wedhar sebelumnya. Karya Wedhar menjadi reflektif dengan tiadanya figur hero lokal maupun luar negeri. Pada pameran ini Wedhar hanya mengangkat tulang baik di lukisan maupun karya tiga dimensinya. Pilihan warnanya cenderung muram dan jauh dari kesan yang menjadikan tulang sebagai simbolisasi kekerasan. Sebaliknya, yang muncul hanya satu kesan: muram.
“Karya Wedhar sekarang adalah sebuah lompatan penting dalam pencarian visi estetiknya; dari narasi menjadi abstraksi, dari realisme menjadi esensialisme, dari representasi budaya pop menjadi refleksi gagasan. Menariknya, di luar perubahan bentuk dan pendekatan, hal yang masih ia pertahankan adalah soal domestifikasi,” ungkap Alia Swastika selaku kurator.
Pameran bertajuk Bones After Bones: The Shadow yang berlangsung 15 November 2013 hingga 25 Januari 2014 memajang delapan karya Wedhar Riyadi yang pembuatannya dia kerjakan selama 2013. Delapan karya tersebut berupa tujuh karya 2 dimensi, dan satu karya tiga dimensi. Untuk karya dua dimensi, Wedhar menggunakan cat minyak di atas kanvas, satu cat air pada ketas, satu tinta pada kertas, dan satu akrilik pada kertas.
Salah satu karya Wedhar, Still Life ukuran 76,5x56cm (2013) menghadirkan tulang tangan di atas sebuah pot. Lukisan ini bukan tentang tumbuhan kaktus yang muncul di pot, tetapi tulang telapak tangan dengan lima jari mengembang dengan warna putih kebiruan. Menggunakan latar warna hitam dan bingkai dalam bentuk warna biru dan ungu. Pada satu sisi tulang telapak tangan itu menjadi fokus, tetapi bukan sebuah perayaan. Yang muncul asosiasi tulang sebagai penyangga utama badan kita, hadir sendirian tanpa daging dan darah.
Bila kita melihat karya Melt Away 76,5x56cm (2013), Manipulation 220x145cm (2013) dan Portal #2 76,5x56cm (2013), terasa ada kediaman dan juga gerak. Tiga karya yang disebutkan terakhir ini tulang dalam posisi seoalah bergerak. Melt Away yang mengunakan tinta di atas kertas mampu menampilkan suasana gerak antara latar warna hitam yang terserap oleh kertas dan warna putih kertas yang tersisa dengan tulang telapak tangan warna hijau. Tulang tidak dihadirkan persis tetapi melengkung.
Sementara pada Manipulation, objeknya masih tulang tetapi tulang yang telah didistorsi. Tulang-tulang itu seakan berserakan di udara sebab tidak ada latar belakangnya kecuali latar warna merah tua dan putih kemerahan. Pada karya Portal #2 dihadirkan tulang mulut menganga dengan latar gelap terang yang acak membuat suasana dramatis pada tulang mulut lengkap dengan gigi-gigi. Seperti sebuah ekspresi dari kesakitan.
Karya-karya Wedhar dalam pameran ini merupakan upaya menghadirkan distorsi kenyataan lewat distorsi tulang-tulang secara bentuk juga dalam pemakaian warna vivid, yaitu warna seperti pada tv, lcd screen, dan lighting panggung pertunjukan.
“Pendistorsian ini juga merupakan representasi tentang berita-berita aksi kekerasan, konflik, pembantaian, atau pembunuhan yang sampai kepada kita kadang hadir dengan beberapa versi, bahkan terdistorsi. Pada akhirnya, hanya bagian paling esensial yang masih tertinggal dalam memori kita, dan, ya, sebagaimana tulang, yang menjadi representasi dari esensi tubuh manusia, kebenaran sejarah itu sendiri acap tersimpan hanya sebagai artifak,” jelas Alia Swastika.***