Lukisan akhirnya menjadi media visualisasi dari berbagai informasi atau kejadian yang sering dicatatnya.
Setelah vakum berkesenian lebih dari satu dekade, Yos Suprapto kembali ke medan seni rupa dengan gaya kritik sosial yang selama ini dipertahankannya. Lewat pameran tunggal “Arus Balik Cakrawala 2017”, Yos menampilkan 33 lukisan di atas kanvas yang ia buat dalam dua tahun terakhir.
Mulai dari bahasan sejarah hingga permasalahan sosial, ia angkat lewat permainan simbol dan warna. Keseluruhan karya Yos dihadirkan di Gedung D, Galeri Nasional Indonesia, Jakarta pada 14 September – 3 Oktober 2017.
“Arus Balik” dimaknai Yos sebagai upaya untuk memutar kembali sejarah yang melenceng, sedangkan “Cakrawala” mewakili sebuah harapan. Dalam pandangan Yos, sejarah di Indonesia sudah terdistorsi karena diputarbalikkan dan disembunyikan. “Saya ingin mengajak kebenaran sejarah ini sebagai catatan, sebagai proses historis yang lebih positif,” ucapnya saat malam pembukaan.
Secara teknik, ciri khas seniman kelahiran 26 Oktober 1952 ini terletak pada sapuan kuasnya di atas kanvas. Goresannya seringkali menciptakan gradasi ataupun campuran warna vibrant yang kadang memberi kesan psychedelic. Ia banyak menampilkan objek figur yang digabungkan dengan lanskap alam atau kota.
Baca juga Isu Politik Pangan dalam Seni Media
Secara tema, sosok yang aktif berkarya sejak era 1970-an ini begitu sering berkutat pada isu sosial. Seperti pameran tunggal terakhirnya, “Republik Udang” pada 2005, yang menyampaikan kritik atas praktik korupsi di lingkup elite. Di kesempatan kali ini, Yos tampak banyak menyinggung perihal gejolak isu SARA yang mengganggu perdamaian Indonesia. Gejolak dan persepsi subjektif tentang suatu golongan tertentu, membutakan masyarakat pada fakta objektif hingga sejarah bangsa yang harusnya mendapati porsi lebih.
Banyak dari karya yang ditampilkan berbicara seputar daerah Banyuwangi, Jawa Timur. Pasalnya, seniman telah menghabiskan penelitian di Banyuwangi selama lima tahun ketika ia bekerja sebagai konsultan dan mencatat banyak kejadian di sana. Seperti Banyuwangi, yang menjadi kritik lebih banyaknya informasi mitologi Banyuwangi ketimbang peristiwa pembantaian di Desa Blambangan yang tidak pernah ditulis secara eksplisit.
Ada juga Pendulang Emas dan Ilegal di Negeri Sendiri, yang mengangkat tentang tambang emas Tumpang Pitu. Kegiatan mendulang emas yang sudah puluhan tahun dilakukan masyarakat lokal, tiba-tiba menjadi ilegal saat perusahaan tambang Australia menguasai Tumpang Pitu. Bahkan kepercayaan lokal tentang Tumpang Pitu yang disebut sebagai brankas emas Nyi Roro Kidul yang dijaga Nyi Blorong juga tampil di The Myth of Gold Digger.
Diakui Yos, kegiatan membuat catatan harian telah ia lakukan berpuluh-puluh tahun. Lukisan akhirnya menjadi media visualisasi dari berbagai informasi atau kejadian yang sering dicatatnya. Salah satunya adalah lukisan Arus Balik, yang ia catat setelah membaca penelitian sejarah di Universitas Leiden tentang kedatangan VOC ke Indonesia yang hanya menggunakan 15 kapal laut namun bisa menjajah selama 350 tahun.
Baca juga Kisah Dua Kota Selepas 1945
Karya ini tampak menjadi salah satu lukisan kunci sebagai upaya Yos untuk meluruskan sejarah yang selama ini tampak disembunyikan. Sedangkan seri Cakrawala lebih berbicara tentang kejujuran dan kepolosan yang bisa membawa kedamaian. Di lukisannya, disimbolkan lewat perempuan telanjang yang berada di dalam bulan. Bersinar di langit yang menemani para nelayan yang hendak melaut.
“Sejak awal saya sadar bahwa saya anggota masyarakat dan di dalam masyarakat itu ada masalah. Saya kan bagian dari masyarakat, jadi masalah itu juga masalah saya. Ketika saya menganggap diri sebagai manusia, maka masalah manusia lain juga masalah saya. Karena yang lain juga manusia seperti saya. Sehingga isu sosial juga menjadi bagian dari hidup saya,” ujarnya.
Artikel Kembalinya Kritik Sosial Yos Suprapto dimuat di majalah SARASVATI edisi Oktober 2017.