Bakoel Koffie, Ikhtiar Melanjutkan Garis Kopi

0
10403
Bakoel Koffie dengan tata letak baru yang tanpa sekat. (Foto: Silvia Galikano)

Demi mendukung terciptanya Batavia 1930-an di Bakoel Koffie, dua bersaudara ini tak repot-repot berburu barang antik, cukup mengangkut perabotan dari rumah-rumah keluarga ayahnya yang masih menyimpan perabotan lama.

Cara orang minum kopi dibanding, katakanlah, wine, terbilang unik.Wine diminum dengan berdiri sendiri atau bersama makanan, sedangkan kopi selalu menjadi teman melakukan aktivitas, entah itu bekerja, mengobrol, main catur, atau merokok.

Sebab itulah budaya minum kopi menemukan kecocokannya ketika bertemu dengan budaya Indonesia yang suka berkumpul dan mengobrol dari yang serius sampai yang berbual-bual. Selain,tentu saja, racikan yang menghasilkan rasa yang pas di lidah.

Itu juga mengapa warung nasi milik Liauw Tek Sun di Batavia pada abad ke-19 yang kemudian menambahkan menu kopi,  beralih haluan menjadi warung kopi dan menutup warung nasinya. Generasi ke-4 Liauw Tek Sun kini melanggengkan tradisi kopi yang diciptakan kakek buyutnya itu lewat kedai kopi Bakoel Koffie.

Adalah Liauw Tek Sun, pendatang dari Guangdong, Tiongkok, bersama istrinya yang pribumi, pada 1870-an mendirikan warung nasi di daerah Molenvliet Oost (sekarang Jalan Hayam Wuruk 56-57 Jakarta Barat), di sisi timur Kanaal Molenvliet. Pada masa itu, Molenvliet merupakan jalur transportasi dari Kota Tua ke Kota Baru (Weltevreden) di bagian selatan Batavia. Rumah tinggal mereka di Jalan Kebon Jeruk, sebelah timur Jalan Hayam Wuruk.

Mencuci pakaian di sepanjang Molenvliet, Batavia. Di latar belakang tampak Tek Sun Ho. 1932. (Dok. Troppenmuseum)
Mencuci pakaian di sepanjang Molenvliet, Batavia. Di latar belakang tampak Tek Sun Ho. 1932. (Dok. Troppenmuseum)

Pasangan ini membeli kebutuhan sehari-hari seperti gula, garam dari pedagang keliling, para perempuan pribumi Priangan yang menyunggi bakul berisi dagangan. Pada suatu ketika, seorang pedagang menawarkan biji kopi segar yang baru dipetik, kepada Tek Sun. Ini tentu tak disangka-sangka,sebab biasanya kopi hanya dijual ke saudagar Belanda untuk dinikmati kalangan atas, di antaranya orang-orang Belanda.

Tek Sun mulai mengolah biji kopi menggunakan kayu bakar, menyeduhnya, dan dihidangkan kepada pelanggan sebagai minuman sesudah makan. Ternyata, kopi lebih laku dibanding nasi. Warung nasi pun ditutup dan kedai kopi pertama di Weltevreden dibuka pada 1878, diberi nama Tek Sun Ho (“ho” berarti merek) atau lengkapnya Tek Sun Ho: Eerste Weltevredensche Koffiebranderij.

Tek Sun sendiri yang meramu, menggoreng, hingga menumbuk. Para pelanggan pun meluas. Selain penduduk lokal dan Tionghoa, ada pula orang Belanda, Arab, dan Jepang. Uniknya, kopi diracik di tempat. Setiap pelanggan dapat menentukan sendiri kadar campuran kopinya (coffee blend) antara arabica dan robusta.

Baca juga Kitab Kuliner Warisan Sukarno Diterbitkan Ulang

“Setelah beberapa waktu, setiap pelanggan datang, staf Tek Sun Ho sudah tahu racikan orang tersebut. Selain itu ada juga yang berdasar harga, jadi racikan yang murah, agar dapat dinikmati semua kalangan,” ujar pendiri Bakoel Koffie Syenny Widjaja saat ditemui di Bakoel Koffie Cikini, pertengahan Agustus 2017.

Tek Sun mengoperasikan toko kopi ini hingga diserahkan ke Liauw Tian Djie (Wudjan Widjaja) pada 1927 yang segera memodernkan cara menyangrai dengan menggunakan drum yang diputar mesin mobil jeep tua. Dengan bantuan peralatan semimekanik tersebut kopi yang dihasilkan menjadi lebih bagus kualitasnya, terstandar, dan produksinya dapat ditingkatkan sehingga pada 1930 dapat mengekspor bubuk kopi ke Belanda.

Pada 1938, Tek Sun Ho merayakan ulang tahun ke-60 yang diisi dengan memberikan makanan enak kepada pengunjung dan boleh minum kopi sepuasnya. Saat inilah gambaran perempuan penyunggi bakul yang jadi penentu jalur baru Liauw Tek Sun di bidang kopi mulai digunakan sebagai logo resmi kopi Tek Sun Ho.

Syenny Widjaja. (Foto: Silvia Galikano)
Syenny Widjaja. (Foto: Silvia Galikano)

Selepas G30S, ketika pemerintah mengajurkan perubahan nama Tionghoa ke nama Indonesia, nama Tek Sun Ho berubah menjadi Warung Tinggi, mengacu pada posisi toko yang memang lebih tinggi dibanding bangunan-bangunan di sekitarnya. Di belakang toko adalah sawah dan pemakaman serdadu Jepang, sedangkan di depan toko, setelah menurun jalan, ada perkampungan Arab.

Dari Wudjan Widjaja, Warung Tinggi dilanjutkan Darmawan Widjaja. Di hadapan notaris pada 8 Januari 1970, Wudjan Widjaja memberi kuasa kepada Darmawan Widjaja untuk memimpin, mengurus, dan menguasai perusahaan di bawah nama Warung Tinggi di Jalan Hayam Wuruk 56.

Di tangan Darmawan Widjaja inilah kemasan kopi yang semula dari kertas diganti ke aluminium foil agar tahan lebih lama. Pemasaran produknya sampai ke Jepang dan Timur Tengah. Perayaan ulang tahun ke-100 dibuat secara besar-besaran di Gelora Senayan, Jakarta Pusat.

Baca juga Hotel Bali Beach, Karunia Bung Karno untuk Sanur

Darmawan mengelola bisnis kopi ini bersama tiga saudaranya. Darmawan memegang bagian produksi, pembelian kopi mentah, dan penjualan. Yanti Widjaja bagian keuangan, Rudy bagian administrasi dan pemasaran, serta Suyanto bagian produksi dan penjualan eceran.

Setelah nama Warung Tinggi dipatenkan Rudy atas namanya, Darmawan melanjutkan usaha menggoreng kopi tanpa merek, dijual ke orang-orang yang sudah kenal. Produksi dijalankan di Jalan Kebon Jeruk.

“Waktu kecil, saya ikut membantu kalau ada pesanan, misal dari Arab atau Jepang, wih bisa sampai pagi kerjanya karena pakai tangan satu per satu. Anak-anaknya ikut semua,” kata Syenny.

Foto keluarga tahun 1950-an, Liauw Tek Sun duduk di tengah berdasi, Deret terdepan: Darmawan Widjaja ke-3 dari kiri pakai suspender, Rudy ke-2 dr kanan. (Dok. Syenny Widjaja)
Foto keluarga tahun 1950-an, Liauw Tek Sun duduk di tengah berdasi, Deret terdepan: Darmawan Widjaja ke-3 dari kiri pakai suspender, Rudy ke-2 dr kanan. (Dok. Syenny Widjaja)

Pada 1989, anak Darmawan Widjaja, yaitu Syenny dan Hendra Widjaja, meneruskan usaha keluarga tersebut dengan menggunakan merek Bakoel Koffie sebagai nama toko kopi mereka. Logo yang diperkenalkan adalah perempuan berkain batik menyunggi bakul bambu. Logo ini sedikit berbeda dengan logo Warung Tinggi.

“Saya lahir dan dibesarkan di Hayam Wuruk 56-57. Itu sebabnya saya sangat terinspirasi untuk meneruskan ‘garis kopi’ selain tahu Tek Sun Ho akan habis kalau tidak ada yang meneruskan.”

Syenny keluar dari pekerjaannya di bagian marketing Coca Cola (1997 – 2000) setelah sebelumnya di Unilever (1994 – 1997). Talentanya me-manage merek terbukti berhasil untuk tiga produk pembersih keluaran Unilever serta minuman teh dalam botol dan relaunching brand architecture minuman soda keluaran Coca Cola melalui kampanye besar-besaran, termasuk festival musik anak muda.

Baca juga Ashadi, Artisan Pisau dari Parakan

Butuh setahun bagi Syenny dan Hendra yang berlatar belakang ekonomi, menyiapkan lahirnya Bakoel Koffie, mulai dari membuat riset, proposal,  business plan, hingga meyakinkan ayah mereka.

Bakoel Koffie pertama dibuka di Jalan Barito, Jakarta Selatan, tahun 2001. Di bangunan sewaan itu proses goreng kopi dan kedai kopi berlangsung. Dari kedai pertama, Bakoel Koffie berkembang hingga delapan gerai, semua di Jakarta dan ada investor dari luar keluarga, bahkan luar negeri. Namun kini, dari delapan gerai, mengerucut tinggal dua gerai, sepenuhnya milik keluarga, yakni Bakoel Koffie Bintaro di Bintaro Sektor 7 dan Bakoel Koffie Cikini.

Bakoel Koffie di Jalan Cikini Raya 25 Jakarta Pusat yang dapat dibilang flagship store Bakoel Koffie,mulai beroperasi pada 2002. Bangunannya lantai 1 depan sudah milik keluarga besar Widjaja namun terbengkalai. Sedangkan lantai 1 belakang dan lantai 2 milik orang lain.

Jalan Raya Cikini pada sebelum tahun 2000 bukan daerah yang “dilirik” untuk membuka usaha. Toko kue Maison Benny dan toko roti Tan Ek Tjoan yang hingga 1980-an jadi langganan warga Menteng, sudah kembang kempis. Sekarang malah sudah tamat riwayatnya menyusul kemudian bangunannya dibongkar. Ditambah lagi di belakang ada Jalan Kalipasir yang melekat citra sebagai daerah kelam.

Awalnya perabotan dibawa dari rumah, seperti seperangkat kursi-meja ini dari rumah orangtua Syenny di Kebon Jeruk Jakarta Kota. (Foto: Silvia Galikano)
Awalnya perabotan dibawa dari rumah, seperti seperangkat kursi-meja ini dari rumah orangtua Syenny di Kebon Jeruk Jakarta Kota. (Foto: Silvia Galikano)

Namun Syenny melihat sesuatu yang orang lain tak bisa lihat demi menciptakan kembali Tek Sun Ho, menghadirkan kenangan Batavia tahun 1930-an. Penyandang dua gelar master dari University of Windsor di Ontario Kanada bidang Environmental Engineering dan MBA dari Monash University/IPMI itu mengatakan, “Saya harus exist di tempat yang memang kolonial. Saya tidak mungkin buka lagi di Hayam Wuruk, forget it, sudah jadi ruko juga. Bangunan ini cocok, sama persis dengan toko kakek saya waktu saya kecil.”

Mereka mengawinkan kebudayaan Nusantara, kolonial Belanda, dan Tionghoa. Itu sebab penulisannya “koffie” (bahasa Belanda untuk kopi). Logo perempuan menyunggi bakul masih digunakan, tapi dalam bentuk lain, dan mengenakan kain panjang batik bermotif ikan, hewan yang diyakini masyarakat Tionghoa membawa keberuntungan.

Tradisi kue peranakan juga diangkat lewat menu Kue 3 Nyonya, yakni sepiring berisi tiga jenis kue peranakan yang dapat dipilih jenisnya, seperti makpan, moci, dan kue angku.

Baca juga Pernah Azan Berkumandang Sayup di Musajik Usang

Demi mendukung terciptanya Batavia 1930-an, dua bersaudara ini tak repot-repot berburu barang antik, cukup mengangkut perabotan dari rumah-rumah keluarga ayahnya yang masih menyimpan perabotan lama. “Satu set kursi ini dari rumah saya,” Syenny menepuk rusuk kursi kayu yang sedang dia duduki.

Walau persiapan sudah matang, ternyata perjalanan Bakoel Koffie Cikini di awal masa buka sama sekali tidak mudah. Enam bulan pertama nyaris tak ada tamu datang. Syenny menyebut kerjanya di kedai waktu itu “nepokin lalat”.

Menu Kue 3 Nyonya juga pada awalnya tidak laku sehingga harus “dibuang” (praktiknya dibagi-bagikan) tiap hari. Tapi dia tetap menyediakan menu itu dan yakin bakal laris walau tak tahu kapan karena memang tradisinya minum kopi Tek Sun Ho adalah berpasangan dengan kudapan Kue Nyonya. Baru 10 tahun kemudian Bakoel Koffie Cikini dikenal dan mendapat banyak pelanggan.

Kue 3 Nyonya. (Foto: Silvia Galikano)
Kue 3 Nyonya. (Foto: Silvia Galikano)

“Seperti seniman saja.Kalau ‘mikir lukisannya bakal laku atau tidak, dia tidak akan jadi seniman terkenal. Stop thinking, you believe. Yakin akan berhasil, maka akan berhasil asal dikerjakan sepenuh hati, Tuhan akan beri jalan.”

Ini yang unik. Setelah 15 tahun beroperasi dan kini kafenya tak pernah sepi, Syenny menyebut tak tahu berapa penghasilan Bakoel Koffie, berapa ton bji kopi terjual tiap bulan, berapa cangkir yang terjual tiap hari, dan seterusnya. Syenny bahkan tidak menerima gaji dan menyebut dirinya “labour of love”. Pasalnya, begitu mulai menghitung, saat itulah dia akan kehilangan jiwa dalam menjalankan bisnis karena semua berdasar keuntungan.

“Saya membuat keputusan itu secara sadar. Prinsip saya, gaji karyawan harus bagus. Karyawan yang tadinya kurus, kami sediakan vitamin. Tempo hari ada staf saya yang motornya dicuri. Ya sudah, pinjamkan uang, dia kembalikan dengan mencicil. Itulah soulThat’s what Bakoel Koffie is all about.”

Bisa jadi prinsip-prinsip itulah yang tak dapat dicuri orang lain yang ingin meniru konsep kafenya. Juga, sejak 2004, dia menyalakan lilin setiap malam, berdoa dan meminta berkat dari ayah dan leluhur.

Baca juga Langgam Eklektik Hotel Trio Solo

Untuk ke depan, Syenny berencana memajukan penjualan kopi bubuk, bukan menambah kafe sebagaimana dugaan banyak orang, dengan menyasar kelompok menengah ke atas. Sekarang kopi bubuk Bakoel Koffie sudah ada di Ranch Market dan di website Bakoel Koffie.

Demi menjaga kesegaran, proses menggoreng kopi dilakukan lima hari sekali di Bintaro Sektor 3, dan Syenny tetap turun menggoreng kopi. Untuk penyimpanan biji kopi sudah ada gudang di Kecamatan Gunung Sindur, Bogor seluas 500 meter persegi.Generasi ke-5 untuk melanjutkan usaha Bakoel Koffie juga sudah disiapkan, Tirta Pratama Teguh, puteranya yang kini tengah kuliah, sejak kecil sudah diajak ke tempat produksi.

Artikel Bakoel Koffie, Ikhtiar Melanjutkan Garis Kopi dimuat di majalah SARASVATI edisi September 2017