Dari seberang jalan, Museum Modern and Contemporary Art in Nusantara (MACAN) tampak mencolok dengan stiker polkadot kuning dan hitam besar yang menutup sebagian besar kaca bangunan. Di bawahnya, terbentang spanduk besar YAYOI KUSAMA: LIFE IS THE HEART OF A RAINBOW, penanda pameran Yayoi Kusama belum berakhir. Semenjak dibuka pada Mei lalu, pameran ini telah menyedot perhatian publik. Berbagai macam swafoto dengan karya-karya Yayoi Kusama tersebar luas di media sosial, menjadikan karya atraktif sekaligus riskan terhadap kerusakan. Namun yang menarik adalah bukan persoalan karya, tapi bagaimana Museum MACAN mampu menghadirkan pameran-pameran berkelas internasional?
Sebelum dibuka secara resmi bagi umum, Museum MACAN mengadakan serangkaian preview “First Sight” sejak Agustus 2017. Ruang-ruang galeri yang masih kosong diisi dengan performance art dari seniman dalam dan luar negeri seperti FX Harsono, Tisna Sanjaya, Melati Suryodarmo, Agung Kurniawan, Arahmaiani, Duto Hardono, Mella Jaarsma, Reza Afisina, Yin Xiuzhen, Xu Zhen, Heman Chong, dan Justin Shoulder. Selain itu, juga ditampilkan beberapa koleksi Museum MACAN dari seniman internasional seperti Yayoi Kusama hingga Alexander Calder.
Hal tersebut semakin menguatkan identitas Museum MACAN sebagai museum seni kontemporer. Pada November 2017, pameran inagurasi “Art Turns. World Turns” menandakan museum ini resmi dibuka bagi publik. Sebagai pameran perdana, “Art Turns. World Turns” menampilkan koleksi pribadi sang founder, Haryanto Adikoesoemo yang disusun berdasarkan runtutan perkembangan aliran seni rupa seiring dengan perubahan dunia. Mulai dari romantisme Raden Saleh, realisme Sudjojono, hingga dekonstruksi bentuk Nashar. Selain itu ada pula karya De Kooning, Rothko, Karel Appel, Ai Weiwei, Jeff Koons dan Damien Hirst.
Baca juga Dua Pameran Rayakan 100 Tahun Hendra Gunawan
Pada Mei 2018, Museum MACAN mengusung seniman avant-garde Jepang ternama Yayoi Kusama untuk pameran keduanya. Pameran berjudul YAYOI KUSAMA: LIFE IS THE HEART OF A RAINBOW ini, telah berhasil menyedot perhatian khalayak. Beragam swafoto di depan karya Yayoi lalu lalang di media sosial. Untuk menghadirkan karya seni Yayoi yang menghipnotis, Museum MACAN pun tak segan memboyong karya-karya monumental Yayoi ke Jakarta. Narcissus Garden, The Spirits of the Pumpkins Descended into the Heavens, The Obliteration Room, dan seri Infinity Mirrors menjadi karya wajib yang dipamerkan. Di samping itu, dihadirkan pula serangkaian karya lama dan terbaru Yayoi, seperti seri Infinity Nets dan Life is the Heart of a Rainbow yang menjadi judul pameran. Sebagian besar karya yang dipamerkan merupakan pinjaman dari museum, galeri, dan kolektor: Chiba City Museum of Art, Ota Fine Art, Yayoi Kusama Museum, dsb.
Selama pameran berlangsung, Museum MACAN tidak pernah sepi kunjungan, terlebih lagi dengan adanya program edukasi khusus anak. Aaron Seeto selaku direktur Museum MACAN menyebutkan bahwa selama 3 bulan terakhir pengunjung Museum Macan berjumlah sekitar 1030 orang.
Baca juga Judul Venice Biennale 2019 Tuai Kontroversi
Menampilkan karya yang statusnya pinjaman, tentunya bukan perkara enteng. Berbagai prosedur dan persyaratan mesti dilengkapi. Mulai dari persyaratan administratif seperti pemenuhan prosedur museum dari ICOM (The International Council of Museum), perencanaan pameran, catatan hygrothermograph (suhu dan kelembapan), asuransi, keamanan, dan fasilitas museum.
Mengacu pada ICOM, museum yang baik harus mempunyai perencanaan efektif, manajemen sumber daya, penelitian, koleksi perawatan, pemasaran, merchandising, desain, program publik, publikasi, sponsorship, serta fasilitas dan teknologi terkini.
“Area Museum MACAN sekitar 5,000 m2 dengan luas gallery 2,500 m2. Museum ini didukung dengan fasilitas konservasi-restorasi dan IT. Semuanya memang dikelola secara profesional,” jelas Direktur Museum Macan Aaron Seeto.
Selain IT dan fasilitas konservasi-restorasi, museum harus memenuhi standar dalam hal suhu ruangan. Suhu ruangan yang ideal untuk karya seni berkisar 70—75° F, suhu ini akan berubah menyesuaikan musim tambahan. Adapun Museum MACAN memiliki suhu rata-rata 70° F. Tidak heran jika di dalam museum banyak yang mengeluh kedinginan.
Dari segi pameran, koleksi tentunya tidak dipamerkan begitu saja. Setiap karya seni wajib dilengkapi dengan asuransi yang harga preminya setara dengan nilai karya seni. Transportasi mengangkut karya juga menggunakan sistem keamanan dan keselamatan tinggi. Sekali lagi, proses ini wajib menyertakan asuransi tersendiri. Sedangkan di Indonesia belum tersedia secara khusus asuransi karya seni.
Baca juga Karya Delapan Seniman Yogyakarta Hadir di Jeonbuk
Kesadaran terhadap perlakuan karya seni yang ideal (state of the art) memang telah diterapkan lama oleh Haryanto Adikoesoemo. Ia pun tidak ragu untuk merogoh kocek dalam-dalam untuk merawat berbagai macam koleksinya. Hal sama pun dilakukan untuk museum barunya ini:
“Saya kepengen Indonesia punya museum kayak di Eropa, yang orang bisa nyaman melihat karya seni. Jadi, saya invest lah pada fasilitas dan teknologi terbaru” tutur Haryanto pada Selasa lalu (24/7).
Ia juga menuturkan bahwa besar harapannya untuk melihat museum seni berkembang di sini serta dikelola secara baik nan professional.
“Sebenarnya, saya ada program untuk mengirim atau pertukaran program manajerial seni, kurator, dan konservator. Tapi sampai sekarang belum terlaksana, susah banget nyarinya.”
Kehadiran Museum MACAN memang memberikan pandangan segar tentang bagaimana museum seni yang ideal mengingat pengetahuan tentang seni dan pengelolaannya masih sangat minim. Namun tidak berarti masa depan seni turut menjadi suram.
“Ketika sore hari, di sini (Museum MACAN) sebanyak 3-4% nya adalah anak-anak, sedangkan di luar negeri pengunjung museum di sore hari kebanyakannya adalah orang-orang tua. Jadi, saya pikir seni di Indonesia bakal memiliki masa depan cerah” ungkap Aaron Seeto.