Pustanto, Napas Baru Konservasi dan Dokumentasi Galeri Nasional

0
2867
Pustanto (kiri) menggantikan Tubagus 'Andre' Sukmana (kanan) sebagai Kepala Galeri Indonesia (dok: GNI)

Di bawah kepemimpinan Tubagus “Andre” Sukmana (2005-2018), Galeri Nasional Indonesia (GNI) berhasil mendekatkan karya-karya maestro ke masyarakat lewat cara pameran temporer keliling ke 20-an kota di luar Jakarta dan di luar Jawa sejak 2006. Pameran temporer itu sekaligus mengangkat karya perupa daerah dengan cara disandingkan dengan karya para maestro.

Capaian itu akan digenapi oleh Kepala GNI  yang baru, Pustanto, dengan meningkatkan sarana dan prasarana galeri agar sesuai dengan standar internasional. Konkritnya, Pustanto, yang berlatar belakang konservator karya seni, akan mengembangkan gedung GNI menjadi lebih representatif, ruang pamernya mumpuni, dan manajamennya menjadi lebih baik.

Pustanto pernah mengikuti pendidikan kilat dan kesempatan magang di Artlab Australia, sebuah badan konservasi dan restorasi lukisan, tekstil, cat air, peta, drawing, buku, foto, patung dan artefak di Adelaide, Australia pada 1999. Saat itu dia baru saja terpilih sebagai Kasubdit Pameran Galeri Nasional Indonesia dan mengambil kesempatan untuk belajar konservasi enam bulan lamanya.

Meski singkat, pendidikan tersebut membuat Pustanto dipercaya sebagai Konservator Benda-benda Seni Budaya Koleksi Istana Kepresidenan Republik Indonesia selama satu dekade, 2004-2014. Selain itu, ia pernah menjadi konservator untuk koleksi Museum Le Mayeur di Denpasar, Bali. Saat ini, Pustanto juga salah satu konservator koleksi Galeri Nasional, Jakarta.

Baca juga Merawat Masa Lalu lewat Konservasi Lukisan

Selain menjadi konservator barang seni, pria kelahiran 20 Mei 1966 tersebut juga dikenal memiliki kemampuan manajemen seni rupa yang baik. Ia acapkali menjadi narasumber dan dosen tamu di beberapa perguruan tinggi seni di Indonesia. Pengalaman, kemampuan, dan kepeduliannya pada pemeliharaan karya dan manajemen kemudian mempengaruhi visi personal Pustanto sebagai pejabat GNI.

Di samping faktor pelaku dan produk seni, berkali-kali ia menegaskan tentang pentingnya meningkatkan kualitas sarana dan prasarana untuk menciptakan ekosistem seni rupa yang baik. Menurutnya, sarana dan prasarana bangunan serta equipment menjadi acuan dalam rangka pencitraan, koneksi, konsistensi, dan standarisasi. “Visi saya, Galeri Nasional akan leading sebagai galeri di ASEAN, bersaing dengan Singapura dan Malaysia,” sebutnya.

“Dari segi kreator itu kita nomor satu. Tempat lain (luar negeri) kan banyak bawa seniman dari sini. Tapi mengapa kok tidak lebih sering di sini saja? Setelah dipelajari, sarana dan prasarana kita mungkin diragukan. Maka kita akan kejar itu, supaya punya sarana dan prasarana berstandar internasional,” tambahnya.

Sebelum menjadi Ka GNI, Pustanto menjabat sebagai Kasubdit Seni Rupa Direktorat Kesenian (Sumber: Facebook Bambang Wijanarko)
Sebelum menjadi Ka GNI, Pustanto menjabat sebagai Kasubdit Seni Rupa Direktorat Kesenian (Sumber: Facebook Bambang Wijanarko)

Menurut Pustanto ada beberapa faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi kualitas karya, sehingga diperlukan perhatian khusus untuk menjaga koleksi seperti milik Galeri Nasional.

Pertama, karya-karya seniman Indonesia memang memiliki nilai, namun masih kurang dari segi kesadaran material. Sebagai contoh, Pustanto membandingkan karya Raden Saleh dan Basoeki Abdullah. Meski lukisan Raden Saleh lebih dulu dibuat, secara fisik lukisan tersebut lebih baik kualitasnya dibanding lukisan Basoeki Abdullah dikarenakan kesadaran penggunaan material dan hal teknis oleh Raden Saleh ketika di Eropa.

“Indonesia kan memang terkenal kreatif, bagus secara visual. Tetapi kadang tidak memperhatikan materialnya, apa saja bisa dijadikan material lukis. Yang uring-uringan kan kolektor.”

Selain kesadaran material, pengambil kebijakan juga memiliki pengaruh terhadap nilai dan kualitas karya. Yang jamak terjadi adalah tidak sesuainya biaya pemeliharaan lukisan dengan nilai jual lukisan tersebut. “Misal ada lukisan harga 50 miliar sedangkan harga gedung kantor misalnya 30 miliar, namun biaya perawatan lebih banyak untuk gedung dibanding lukisan. Itu tentu tidak masuk akal kan?” ujarnya.

Faktor eksternal lain adalah standar suhu ruang pamer. Galeri Nasional yang disebut Pustanto sebagai pintu gerbang seni rupa Indonesia, diharapkan akan menjadi sarana yang lebih baik dari segi standar suhu supaya lukisan tidak memuai dan menyusut yang menyebabkan keretakan cat.

Baca juga Studio Konservasi dan Restorasi Seni di Singapura dan Indonesia

Ke depannya, Pustanto berharap Galeri Nasional akan terus mengembangkan kualitas dan jumlah koleksinya, serta menjadi lembaga dokumentasi yang memetakan sejarah seni rupa secara jelas bagi khalayak luas.

Ia juga berusaha untuk mewadahi semua aliran seni dari berbagai daerah di Indonesia yang membawa ciri khas, konsep, dan wacana yang berbeda. Keberagaman dilihat Pustanto sebagai daya tarik untuk membangun diskusi serta kritik.

Lebih jauh, besar keinginan Pustanto untuk menumbuhkan kesadaran seniman tentang pentingnya ilmu manajemen di era seperti ini. Ia tidak ingin seniman menjadi korban karena tidak memperhatikan berbagai aspek mulai dari proses produksi hingga apresiasi.

Untuk melihat bagaimana kinerja seorang Pustanto, tentunya masih butuh waktu. Baru menjabat empat bulan sejak 2 Februari 2018, cerita yang akan ditorehkannya patut kita tunggu, khususnya dalam “merombak” tubuh Galeri Nasional sesuai visi yang dia rencanakan.

“Ujung-ujungnya ya meningkatkan sarana dan prasana itu, untuk membuat orang nyaman dan koleksi nyaman.”