Pada lukisan mereka tidak ada jejak kusam, kumal, dan lusuh. Kekusaman dihindari sebab dapat mengikis tujuan tenang dan lengang yang hendak disuguhkan.

Sebermula adalah politik juga kekuasaan, hingga terdengar suara non-kolonial dalam didikan kolonial bernama Raden Saleh. Mendengarkannya berarti juga siap terombang-ambing di antara dua tegangan budaya, konteks, maupun politik. Pilihannya tak segera bisa menepi di dataran tepat Timur maupun Barat karena seumur hidupnya – persis seperti lukisan Kapal Dilanda Badai (1837) – Raden Saleh terus berada dalam empasan badai dahsyat. Sebuah lukisan yang menggambarkan dua buah kapal di tengah gulungan lautan, bayang kegelapan awan dan terkaman ombak raksasa, siap menghancurkan salah satu kapal.

Werner Kraus melalui esai Raden Saleh di Jerman dalam Jurnal Kebudayaan KALAM, 2004, menuliskan Raden Saleh sebagai fenomena ganjil. Di satu sisi ia berhasil membuktikan kesetaraan budaya Jawa di hadapan penguasa kolonial Belanda. Di lain pihak, kesetaraan ini dibuktikan dalam konteks Eropa bukannya di tengah budaya Jawa. Raden Saleh memang “kebanggaan ras Jawa” tetapi bukan “kebanggaan budaya Jawa”. Yang bila kita melihat rinci, dalam lukisan tersebut dirinya ingin mengungkapkan gejolak batiniah/kebudayaan yang terombang-ambing antara keinginan menghayati dan menyatakan dunia (imajinasi) ideal (apa-apa yang dilihatnya di Eropa) dan dunia nyata (alam Jawa,asal-usulnya) yang rumit dan terpecah- pecah.

Peneliti di Pusat Seni Asia Tenggara di Passau, Jerman Werner Kraus melihat perbedaan ini menimbulkan sikap yang mendua terhadap sang seniman, seorang manusia yang berlayar antara dua kultur.  Raden Saleh sendiri merasakan ketegangan sekaligus keyakinan, untuk bisa membawa Timur dan Barat sekaligus, menggabungkan alam Jawa kelahirannya, dengan nilai dan budaya Eropa. Ahli sejarah seni Jerman untuk abad ke-19, Hans Joachim Neidhardt, menganggap karya-karyanya sebagai bagian sejarah kebudayaan Eropa sekaligus Indonesia.

Orang-Ketiga dalam lukisan Penangkapan Pemimpin Jawa: Diponegoro (1857)

Seni lukis Eropa diperkenalkan ke  Indonesia oleh orang-orang Belanda, sejak mereka datang bersama serikat dagang, Verenigde Oostindische Compagnie (VOC), di awal abad ke-17, sebab di antara pegawai VOC terdapat para pelukis. Seni lukis sendiri membantu upaya serikat dagang VOC, dalam membina hubungan baik-VOC menghadiahkan kepada beberapa raja pribumi, juga pesanan mereka atas lukisan Eropa. Panorama ini menjelaskan sekali lagi bahwa apabila segala penemuan seni di Eropa sejalan dengan alur temu sains ataupun politiknya, di Indonesia seni rupa adalah “alat bantu” penjajahan, perpanjangan kolonialisme, yang berjejaring dengan tindak tipu-menipu, suap-menyuap, licik dan culas.

Maka mendudukan sejarah seni rupa modern Indonesia – an sich – hanya artistik (apolitis) jelas pembacaan asal yang membabi buta. Niat politik Raden Saleh jelas dan tegas yaitu melawan, meski objek/figur atas apa yang dilukiskannya tak gamblang bertentangan. Sebagai pelopor manusia “modern” yang terdidik, dirinya tentu mewarisi semangat pencerahan Eropa, revolusi Prancis, demokrasi, yang membentuknya menjadi pribadi anti-kolonialisme.

Pertanyannya adalah mengapa Raden Saleh seringkali didudukan dalam horison aliran romantik? Benarkah dirinya hanya bisa kita baca melalui lorong tersebut. Pada 18 Mei 1839, Raden Saleh meninggalkan Belanda menuju Jerman, Berlin, Dresden, hingga Coburg. Di kota Dresden, dirinya dianggap sebagai seorang pangeran Oriental, melukis dengan menggunakan tema Oriental dan eksotik.

Raden Saleh banyak menghirup semangat seni lukis Romantik dari Horace Vernet atau Delacroix, yaitu perburuan dan alam, yang memiliki aura misterius serta liar, seperti misalnya Perburuan Banteng di Jawa, dan Berburu Rusa, 1846. Menurut kritikus senirupa Sanento Yuliman, Raden Saleh yang selama 22 tahun mengembara di Belanda, Jerman, Australia, Italia dan Prancis, hidup di kalangan aristokratik. Lukisannya memperlihatkan pengaruh romantisisme Eropa, terutama kecenderungannya kepada gerak, drama dan kehidupan binatang liar.

Dalam buku Sejarah Estetika: Era Klasik sampai Kontemporer, 2016, Martin Suryajaya menerangkan lanskap romantik sebagai proyek menyerang idealisasi nalar yang diunggulkan para pendukung pencerahan, dan menggantikannya dengan daya-daya irasional perasaan manusia. Beberapa aspek yang mendukung suasana yang melatari estetika zaman romantik adalah kembalinya pendekatan yang lebih bercorak rohaniah seperti abad pertengahan, penemuan individualitas, dan kecenderungan ke arah utopia.

Namun – bagi saya Raden Saleh adalah figur yang berlapis dan kompleks. Dengan situasi pertukaran antara dirinya yang berdarah si terjajah dididik lukis oleh si penjajah selama bertahun-tahun, secara laten – Raden Saleh menyimpan itikad pertentangan – dan seni lukis yang dipelajarinya menjadi alat-tiru teknik yang memperkarakan penjajahan.

Kompleksitas ini – jelas terekam dalam lukisan Historisches Tableau: Die Gefangennahmen Des Javanischen Hauptling Diepo Negoro (Lukisan Bersejarah: Penangkapan Pemimipin Jawa, Dipanagera) 1857 – yang merespons lukisan – Nicolas Pieneman The Submission Of Dipo Negoro To General Kock, di tahun 1835, 22 tahun sebelumnya.

Seni lukis menjadi politik-meniru tak utuh untuk melawan. Pada lukisan Raden Saleh kita dapat melihat muka depan gedung Residen yang dibalik, bendera Belanda yang hilang, gestikulasi Pangeran Diponegoro yang memberontak (tak-tunduk) daripada menyerah pasrah seperti dalam lukisan Pieneman, tubuh tentara Belanda menjadi tampak cebol, dan dalam kerumunan rakyat, beberapa orang tampak berwajah Raden Saleh, menegaskan sikap dan pembelaan politiknya, sebagai orang ketiga dalam lukisan terhadap Pangeran Diponegoro. Perubahan judul lukisan juga menyimpan kualitas semantik yang politis, dari kata “Penyerahan” (Pieneman) yang bermakna kepatuhan/tunduk/taat, menjadi “Penangkapan” yang berarti membekuk yang melawan.

Sudjojono,
Sudjojono, “Markas Laskar Rakyat di Bekas Gudang Beras Cikampek”. (galeri-nasional.or id)

Nationailiteit dan sepilihan kisah tentang Jiwa dan Bentuk

Latar sosial, ruang, waktu, yang kebetulan berada dalam gesekan perpindahan kolonialisme Belanda kepada pendudukan Jepang, hingga akhirnya proses kemerdekaan dan pascakemerdekaan adalah pemandangan politik yang mendorong dan merongorong Sudjojono untuk melukis. Sebuah cara melatih ruang-dalam/jiwanya untuk tetap jujur dan ada dalam tegangan konteks.

Kondisi ini lalu khas menjadi dialektika klasik antara isi dan bentuk, yang dalam aksen kritisnya berujung pada pertentangan “seni untuk rakyat” dan “seni untuk seni”, meski dalam amatan saya, Sudjojono mengimani “seni yang setia pada situasi”. “Rakyat” menjadi kategori praktisnya ketika akhirnya dia memilih bergabung bersama PERSAGI dan menjadi salah satu staf politik di PKI (Partai Komunis Indonesia). Dalam artian lain isi pada Sudjojono adalah “jiwa”, bahwa lukisan adalah jiwa yang tampak, juga berarti isi yang menampakan diri dalam bentuk lukisan. Ujaran terkenalnya “Kebenaran dulu baru Kebagoesan” menegaskan sekali lagi pemihakannya atas yang nyata dan yang benar-benar terjadi.

Abdullah Surio Subroto (1878-1941), Mas Pirngadi (1865-1936) dan Wakidi (1889-1979) adalah sejumlah nama seniman lukis yang justru enggan menemui apa-apa yang bergerak di aras politik / pergolakan situasi, mereka lebih senang pergi/ melarikan diri ke pemandangan alam.

Para pelukis tersebut (yang sebagian besar berada di kota: Jakarta, Jogja, Bandung, Medan) seringkali meninggalkan tempat berdiamnya dan pergi menuju alam bebas; gunung, pantai, bukit, ngarai. Mereka berdiam dan berlama-lama di depan hamparan objek, menekuni dan sublim.

Kerja para pelukis tersebut bukan kerja menyimpan dan mengendapkan kondisi objek di luar dirinya. Bukan “produksi jiwa” dalam perspektif Sudjojono, tetapi lebih banyak merupakan kerja melebihkan ataupun mengurangi apa yang terjadi di hadapan mata. Persepsi yang ada di luar diletakkan kembali ke dalam kanvas, dengan sudah dibimbing oleh motif lukis yang memperindah.

Pada lukisan mereka tidak ada jejak kusam, kumal, dan lusuh. Kekusaman dihindari sebab dapat mengikis tujuan tenang dan lengang yang hendak disuguhkan. Di titik ini ada keganjilan yang dipetakan oleh Sanento Yuliman dalam tulisannya, yang berasal dari kerja pelebihan dan pembuangan elemen objek, yaitu “menghilangkan jejak peradaban modern (tiang listrik, bangunan pabrik), memindahkan pohon, semak-semak, menyusun ulang kondisi objek lukisan”.

Situasi pertentangan ini lalu tiba di akhir 1950/1960, sebuah dasawarsa genting pertentangan kubu Amerika dan kubu Soviet/Poros-Jakarta-Peking. Di tengah-tengah situasi tersebut, juru bicara seni, yang seringkali memproduseri pameran-pameran di Museum Of Modern Art (MOMA) Amerika Clement Greenberg berujar, baginya bidang kanvas yang dua dimensional merupakan syarat sekaligus batas seninya, karena itu tidak seharusnya pelukis menciptakan ilusi kedalaman – melalui teknik lukis perspektif – sebab berarti mengkhianati kekhasan wahana dari bidang datar seni lukis itu sediri.

Apa yang dia dukung dan usung adalah formalisme seni bergenre Abstrak Ekspresionis dengan senjatanya yang bernama Jackson Pollock. Tak ada narasi, tak ada riuh situasi, tak ada gelegak konteks. Semuanya berdiam dalam semesta datar lukisan, dan kita harus percaya bahwa lukisan adalah lukisan dan kenyataan adalah kenyataan, tak ada proyeksi sambungnya.

Eva Cockroft, dalam jurnal Art Forum, 1974, menulis artikel berjudul Abstract Expressionism, Weapon Of The Cold War. Abstrak-Ekspresionis disebut berhasil menciptakan gerakan seni baru. Sumbangan bagi suatu fenomena politik, yakni perceraian antara seni dan politik yang dengan sempurna melayani kepentingan Amerika Serikat dalam Perang Dingin (blok Amerika- blok Soviet). Maka jelas hubungan kesejarahan dari Raden Saleh, Sudjojono, hingga formalisme Greenberg adalah terus menerus semesta percakapan antara Indonesia dan di luar Indonesia, yang juga berlilitan dengan kepentingan apapun yang dititipkan padanya.

Pada kasus Raden Saleh, bagaimana Barat mendidik namun juga Timur melakukan resistensi atasnya. Pada Sudjojono, bagaimana teknik seni rupa modern awal Barat adalah proses mendialogkan teknik dan kenyataan objektif – yang dalam bahasanya disebut “kebenaran”. Padanya “jiwa” tak lagi jiwa yang otonom dan bebas nilai. Dirinya meradikalisasi jiwa menjadi “jiwa yang politis”.

Maka memperingati 72 tahun Indonesia, meskipun bentangan seni di Indonesia jauh lebih tua daripada bangunan kemerdekaan bangsanya, saya lebih memilih membaca sejarah politik seni modern di Indonesia daripada sejarah seni modern, meski hanya melalui lensa kecil bernama seni lukis. Karena bagi saya, seni selalu adalah tautan kepentingan dan konflik argumentasi atas apa-apa yang diwariskan oleh kekuasaan.

Artikel DUA ABAD POLITIK SENI DI INDONESIA dimuat di majalah SARASVATI edisi September 2017