Lukisan tak lagi berdiam sebagai karya cipta dan karya rasa yang metafisik, atau seperti dalam pledoi seni lukis S.Sudjojono, yaitu jiwa tampak. Di hadapan pertarungan ekonomi, lukisan hanyalah salah satu sekrup kegiatan adu ekonomi.
Semenjak seni rupa kontemporer mengubah kritik seni menjadi kritik medan seni, maka cara pandang kita terhadap seni tak lagi sebatas perkara estetis, namun juga sosiologis. Cara melihat kita pun diperluas, dari kajian atas tahap produksi yang berkutat di antara “seniman dan karya seni”, menjadi skema berantai resepsi seni, dari hulu produksi, distribusi, hingga ke hilir konsumsi. Pada gilirannya, saling bertaruh para agen, dalam menentukan proyek masa depan “apa itu seni” (kurator dan kritikus), dan “berapa harga seni” (art dealer, galeris, dan kolektor).
Pada kesempatan kali ini, saya hanya akan membatasi perbincangan di sekitar pola distribusi dan konsumsi, juga asumsi berapa harga seni, hingga bagaimana pertanyaan tersebut menuntun saya pada semesta bernama pasar. Hemat saya ada dua macam pasar dalam medan seni rupa kontemporer, yaitu pasar wacana dan wacana pasar. Yang pertama moralitas telos (tujuan mulianya) hadir dalam bentuk bienial dengan visi edukasi, sedangkan yang kedua hadir dalam bursa yang bervisi investasi.
Baca juga Forum Kurator Muda, Upaya Pengembangan Wacana dan Regenerasi
Setegas itukah batasnya, Aminuddin Th Siregar dalam esai kuratorial “Spacing Contemporary” (Jogja Art Fair 2009) menulis sebuah kecenderungan yang anomali, yaitu “when biennials becomes art fairs and art fairs becomes biennials” atau “art fairs are the new biennials and biennials are the new art fairs”. Pertanyaannya, apakah fenomena pasar yang tak berpijak tegas tersebut mempunyai tilas awal mula yang bisa kita lacak?
Menyebut perkara pasar, mengingatkan kita pada sekumpulan tulisan kritik dari Sanento Yuliman (1941-1992), yang dengan tajam mencatat setiap inci gerak, cikal-bakal pasar seni rupa Indonesia, terutama melalui esai Boom! Ke Mana Seni Lukis Kita dan Pemiskinan Seni Lukis.
Nilai pakai dan nilai tukar
Sebelum merujuk pada kritik Yuliman, yang bergerak dari tahun 1980 hingga akhir 1990, saya akan sedikit mundur lagi ke belakang – menuju tahun 1945 hingga 1966. Tahap ini saya tempatkan sebagai tahap patronase negara (Orde Lama), saat Presiden Sukarno (1901-1970) menjadi superpatron juga superkolektor atas karya-karya seniman di masanya.
Negara melalui sosok Sukarno dan juga kepala koleksi Dullah, merintis awal sejarah seni rupa Indonesia, terutama melalui program pembelian/pengkoleksian lukisan. Agus Dermawan T, melalui esai Bung Karno Superpatronis, dalam buku Seni Rupa Indonesia: Dalam Kritik dan Esai menuturkan bagaimana karya-karya pelukis seperti Rudolf Bonnet, Walter Spies, Trubus, Thoyib, Lim Wasim, Sudjojono, Basoeki Abdullah, Henk Ngantunk, berpindah tempat dari studio ke dinding Istana Negara. Tak semuanya lunas, ada beberapa yang dibayar Bung Karno dengan cara mencicil.
Baca juga Bentang Bagak Arsitek F. Silaban
Kemudian pada 1970, saya sebut sebagai purwa’boom seni lukis. Pada konteks ini, alasan-alasan ekonomi banyak mendasari perubahan motif-motif pengkoleksian. Ganjar Gumilar menulis dalam esai Boom Seni Rupa Indonesia : Paparan Singkat (2014), bahwa pada awal dekade 1970, terjadi ledakan harga minyak dunia yang memicu laju pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan pesat. Ledakan tersebut dicatat juga oleh Hendro Wiyanto ketika Amerika mengalami resesi akibat krisis minyak dan inflasi yang luar biasa.
Sedangkan dalam perspektif global, sekitar dekade 1980-an, terjadi bom seni lukis (internasional) yang ditandai dengan ramainya pembelian karya old master dengan nominal fantastis, terutama pada balai lelang Christie’s dan Sotheby’s. Hal tersebut, kemudian memicu seni lukis menjadi lahan spekulasi finansial di tengah gejolak krisis ekonomi, harga yang didasarkan bukan lagi pada faktor intrinsik (estetika), namun lebih pada nilai-ekstrinsik (seni sebagai investasi), dari nilai pakai lukisan ke nilai tukar lukisan.
Dalam buku Pemikiran Karl Marx (1999), Franz Magnis Suseno menerangkan mengenai konsepsi teori nilai pekerjaan, di antaranya yaitu nilai pakai dan nilai tukar. Nilai pakai adalah ketika sebuah barang diukur dari kegunaannya untuk memenuhi kebutuhan tertentu dan bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Sedangkan nilai tukar merupakan kondisi barang yang diperjualbelikan dalam sistem pasar, berbentuk uang, artinya sebuah barang akan dijual kembali, begitu seterusnya – dalam tujuan memperoleh laba.
Lukisan tak lagi berdiam sebagai karya cipta dan karya rasa yang metafisik, atau seperti dalam pledoi seni lukis S.Sudjojono, yaitu jiwa tampak. Di hadapan pertarungan ekonomi, lukisan hanyalah salah satu sekrup kegiatan adu ekonomi. Siregar menilai, bahwa pasar sejatinya akan sulit diprediksi, satu hal yang pasti/konstan atas pasar adalah soal harga karya seninya yang bisa cepat turun dan cepat naik.
Dalam suasana yang penuh ketidakpastian tersebut, kolektor menjadi profesi yang seakan menjanjikan. Meski kita tetap/masih bisa membedakan saat seseorang yang memang meluangkan waktu dan materialnya untuk menangkap ruh spritual seni lukis, atau yang sekedar menguji peluang laba.
Surat kabar Suara Karya, yang terbit di tanggal 27 Januari 1983, menurunkan sebuah berita berjudul Harga Lukisan Sampai Jutaan Rupiah, Tengkulak Pun Muncul, untuk membedakan fenomena antara kolektor murni dan kolektor tengkulak. Kolektor murni sendiri adalah kecintaan seseorang yang berkorban demi sebuah lukisan bernilai, dan ia tak menjual lukisan lagi. Sedangkan kolektor tengkulak berusaha berdagang lukisan dengan harga jutaan, dengan modal sekecil-kecilnya dan mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.
Di tahun 2011, Kuss Indarto menulis sebuah esai yang berjudul Antara Kolektor dan Kolekdol, untuk (kembali) membedakan dua jenis kolektor. Kolekdol dalam maksud Kuss, menjelaskan kolektor yang sesudah meng-kolek lalu ngedol (menjual).
Baca juga Lintas Batas Peran Kolektor dan Kurator
Hingga datang gelombang Boom Seni Lukis II yang merentang dari tahun 1980, 1987, 1989 hingga 1990, yang dalam catatan Yuliman disebabkan pertumbuhan ekonomi nasional. Kemunculan kelas menengah baru yang lebih makmur dan modern, serta munculnya kebutuhan untuk lukisan. Ideologi Orde Baru yang dicirikan dengan stabilitas ekonominya, memberi kesempatan bagi para partikelir untuk mengembangkan usaha, terutama adalah golongan kelas atas, yang mayoritas pedagang Tionghoa.
Orde Baru-pun meletakkan mereka sebagai golongan perantara, sebagai elite ekonomi yang menguasai mayoritas pusaran kapital dan jejaring perdagangan. Orde Baru, yang memberikan keleluasaan segelintir orang untuk memperhebat kekayaan dirinya, juga memonopoli seluruh lini budaya agar satu paham politik. Yakni bahwa karya seni yang baik adalah karya yang tak peduli/acuh realitas, sebagai oposisi dari keyakinan non-komunis/non-sosialis dan segala hal yang mengandung ajaran Marxist, Leninis, Maois.
Adagiumnya, semakin tidak politis semakin baik. Pada buku Strategi Kebudayaan (1978), Ali Moertopo menulis “Dalam konteks kesenian, Orde Baru membutuhkan jenis praktik kesenian yang tidak kritis pada pemerintah, dan yang tak mencampuri urusan politik, singkatnya-yang sibuk sendiri.”
Karya dengan kecenderungan abstrak formalis-lah yang akhirnya diserap pasar. Seniman-seniman yang diserap tersebut cenderung seniman modernis senior, seperti Ahmad Sadali, Srihadi Soedarsono, Sunaryo, dan A.D. Pirous, mengedepankan karya-karya antirepresentasi, non-naratif, dan mangkir dari hiruk-pikuk di luar bidang datar kanvas.
Melalui esai Medan Seni Rupa Kontemporer Global, dalam buku Kurasi dan Kuasa (2015), Agung Hujatnikajennong menerangkan mengenai kuasa modernisme, yang sedari awal melakukan pemiskinan terhadap bentuk-bentuk seni di luar konsepsi Greenbergian (mengacu pada kritikus Clement Greenberg dalam artikelnya, Modernist Painting, 1965), sebab hanya mengutamakan model kerja abstraksi ketimbang muatan naratif, historis, ataupun politis dalam seni lukis.
Implikasi politis dari formulasi yang dipancang oleh Greenberg, terutama melalui Museum Of Modern Art America (MoMA) adalah memarjinalkan seni realisme sosial dengan muatan politik, sekaligus membersihkan paham komunisme di Amerika.
Apa yang dipancangkan di abad tersebut adalah bersibuk dengan seni, asing dari situasi faktual dan penjualan terang-terangan produk-produk seni. Pergerakannya jelas, meninggi secara estetis, menyempit secara ideologi. Yuliman menilai korban ekonomi dari situasi tersebut adalah segala macam eksperimen dari para avant-gardist Gerakan Seni Rupa Baru, tidak bisa diserap/diterima pasar.
Baca juga Tukang Mebel, Sang Klien, dan Mahakarya De Stijl
Yuliman mengkritiknya sebagai “jalan pemiskinan”, yaitu pemiskinan tema (cenderung hanya memberikan rasa aman, sehat, nyaman, lucu, tenteram, stabil, lembut, riang), pemiskinan medium (cat minyak dan arkrilik), dan pemiskinan bentuk (tertib rupa, kepaduan, keutuhan, kebulatan, yang dalam istilah psikologinya “gestalt yang baik”). Bagi Yuliman, mustahil hadir lukisan yang menggambarkan derita rakyat jelata di situasi tersebut.
Pasar dan bangkrutnya kritik seni
Ketika Soeharto turun tahta, arus utama seni rupa sosial politik yang bergolak subur mulai dari tahun 1965 hingga 1998-pun meredup. Seiring dengan tumbangnya Orde Baru dan lahirnya kecenderungan seni rupa kontemporer pasca-Reformasi, atau oleh apa yang disebut-sebut Jim Supangkat dalam Biennale IX Jakarta (BIX), dipayungi oleh konsepsi posmodernisme. Lalu, apakah tumbangnya kekuasan sentralisasi Soeharto memperbaiki rezim transaksi karya seni?
Kemeresotan ekonomi negara saat itu menyebabkan pengalihan investasi ke sektor global dan salah satunya adalah karya seni/lukisan. Pasca-Reformasi, perkembangan ekonomi semakin liberal, mendorong peluang ekonomi di bidang seni rupa.
Hujatnikajennong menyitir tulisan Charlotte Bydler dalam Global Art World Inc (2004), di mana dirinya menganggap bahwa kapitalisme adalah sistem ekonomi yang pertama kali mendunia, yang mampu menghubungkan kepentingan orang-orang dari berbagai kawasan dan benua yang berbeda-beda. Menjadikan seni rupa kontemporer sebagai bagian dari kerajaan dunia, yang tak terikat pada sistem kebangsaan, bahkan anti-nasional. Siregar mengurai, “Tak sulit untuk mengatakan bahwa watak seni rupa kontemporer adalah pasar”.
Baca juga Urusan Identitas yang Belum Usai
Ketidakseimbangan antara perkembangan dunia wacana seni rupa dan dunia pasar seni rupa terjadi, yang memang berpremiskan azas ekonomi, bukan edukasi. Melalui tesis Danuh Tyas Pradipta yang berjudul Kajian Boom Seni Rupa Dalam Medan Seni Rupa Kontemporer Indonesia (2014) ketika statistik produksi pameran seni rupa kontemporer bergerak gesit, namun tidak diiringi dengan produksi kritik seni rupa yang kuat. Jikapun ada, hanya berbentuk kritik populer dalam surat kabar atau majalah, sehingga tradisi kritik seni yang ketat dan mendalam belum banyak muncul, yang berdampak kuat pada penilaian seni rupa kontemporer.
Salah satu ujung tombak wacana seni rupa adalah kritik seni, dan dengan profesi kritikus seni. Eddy Soetriyono menilai awal kebangkrutan kritik seni adalah karena sejumlah kritikus menjadi sibuk mempromosikan pelukis laris, dengan mengambil peran sebagai kurator, penulis katalog, maupun monografi.
Di masa pasar seni rupa kontemporer, Mikke Susanto seakan juga meneruskan amatan Soetriyono, menulis penyebab bangkrutnya kritik seni adalah akibat menjamurnya profesi kurator, yang “dibarengi” secara beriringan. Penyusutan penulisan kritik seni rupa dan profesi kritikus, berbanding terbalik dengan semakin terlihatnya peran kurator, pengusaha galeri, kolektor, dan art dealer. Berkaca dari dua amatan tersebut, maka terkadang pencanggihan medan seni, tak selalu menghasilkan wacana atau ideologi yang juga canggih.
Riyadhus Shalihin, Kurator, Peneliti, Seniman
Esai Pasar Raya Dunia Investasi dimuat di majalah SARASVATI edisi Oktober 2017