Omah Kelingan, salah satu guest house andalan Desa Kelingan (Foto: Errik Irwan)

Partisipasi dalam konteks pariwisata desa bukan sekadar perebutan ruang antara masyarakat lokal dengan wisatawan, melainkan juga partisipasi wisatawan terhadap desa yang didatanginya.

 

Gerakan kembali ke desa menjadi fenomena menarik  di dunia desain dan arsitektur akhir-akhir ini. Di tengah kondisi praktik yang serbasteril dan formal, desa seakan dianggap menawarkan “ruang berkarya” baru. Ada sebuah keyakinan bahwa di desalah terdapat keragaman ilmu, juga terobosan untuk menjawab tantangan krisis saat ini. Kembali ke desa berarti membuka sebuah pintu lain ke masa depan yang lestari.

Pada Desember 2016, tepatnya di Festival Pasar Papringan ke-10, Spedagi membuat pengumuman mengejutkan, yaitu menutup Pasar Papringan sampai waktu yang tidak ditentukan. Pasar Papringan di Dusun Kelingan, Temanggung merupakan salah satu festival yang diinisiasi Spedagi, bertujuan memelihara kebun-kebun bambu, yang sekian lama menjadi ruang mati di dalam desa. Kegiatan ini juga sekaligus menjadikan kebun bambu sebagai “galeri” bagi orang-orang luar untuk mengenal lebih dekat potensi-potensi terbaik Desa Kelingan.

Pasar Papringan sempat menjadi pusat perhatian wisatawan dalam dan luar negeri. Namun seiring waktu, festival yang menjadi ikon gerakan Village Revitalization itu, mau tak mau, mulai goyah dengan pembuktian waktu. Ada yang harus ditinjau kembali terkait romantisme desa sebagai ruang alternatif, seperti yang gencar diberitakan selama ini. Dan bagaimana sebaiknya memposisikan pariwisata dalam konteks desa, apakah sebagai tujuan atau sebagai efek.

Baca juga Singgih, Kreator Radio Kayu yang Mendunia

Tak bisa dimungkiri, pertanyaan terkait motif memang menjadi pertanyaan yang tajam bagi para pelaku pariwisata desa saat ini. Pariwisata mempunyai karakter eksploitatif yang kental. Corak ini bisa kita lihat pada “pariwisata modern” yang sangat bergantung dengan kapital, dan abai dengan dinamika sosial dan keberlangsungan ekologi. Inilah yang menjadi salah satu alasan pendorong lahirnya corak-corak pariwisata baru, salah satunya adalah pariwisata desa.

Secara ideologi, pariwisata desa mempunyai penekanan pada integrasi antara pariwisata dengan kehidupan masyarakat dan lansekap desa. Pengembangan seperti ini sebenarnya jauh dari perspektif developmentalisme, yang sering kali menjadi mahzab pengembangan pariwisata arus utama. Jauh sebelum keputusan “membangun” hadir, usaha-usaha untuk mengerti kebutuhan dan apakah mungkin pariwisata hadir di sebuah desa menjadi pertanyaan utama yang harus ditaklukkan. Alasannya jelas, agar pariwisata tidak menjadi “tujuan” namun “efek”. Begitupun masyarakat desa dan desa, tidak menjadi atraksi melainkan subyek.

Dalam banyak publikasi di media, kita bisa melihat bagaimana “kembali ke desa” tak pelak menjadi semacam gerakan melawan arus dengan tujuan memulihkan keseimbangan relasi antara desa dan kota. Namun, mungkin yang kurang disadari, kompleksitas permasalahan yang ada di desa tidak sesederhana apa yang terlihat di permukaan. Penyederhanaan masalah sering kali menggiring pada pilihan yang “seakan” solutif, salah satunya dengan menghadirkan pariwisata. Padahal kenyataannya ada banyak lapis permasalahan yang tidak bisa “dikuliti” hanya oleh pekerja kreatif, yang cenderung hadir dengan semangat heroisme: ingin membantu.

Baca juga OLVEH Flagship Kedua Tampilkan Tiga Talenta Kreatif

Paradigma seperti ini juga dimiliki arsitek, yang memang dalam praktik profesinya sering kali memposisikan diri sebagai problem solver, aktor kunci yang harus menyelesaikan masalah. Problema yang muncul akibat cara pandang seperti ini cukup fatal ketika ia tidak diikuti oleh relasi yang baik dengan akarnya, yaitu warga desa yang dilayani. Berakhirnya festival Pasar Papringan di Kelingan, akibat resisitensi dari warga desanya sendiri menjadi pengingat betapa tidak gampang untuk terjun dan berpraktik bersama komunitas.

Ada sebuah fenomena menarik di kalangan arsitek, di mana pariwisata dan arsitektur menjadi teman karib dengan relasi saling menguntungkan. Rencana strategis Kementrian Pariwisata, dengan 10 destinasi wisata prioritasnya, juga mendorong sebuah program turunan, yaitu program homestay.

Pasar Papringan didirikan di lahan bambu seluas 2.500 meter persegi. Pasar ini buka disetiap Minggu Wage dan Pon saja, mulai pukul 6 pagi sampai 12 siang. (esapena.wordpress com)
Pasar Papringan didirikan di lahan bambu seluas 2.500 meter persegi. Pasar ini buka disetiap Minggu Wage dan Pon saja, mulai pukul 6 pagi sampai 12 siang. (esapena.wordpress com)

Program ini sebenarnya mempunyai perspektif kemandirian. Warga lokal diajak membuka diri untuk menerima wisatawan dengan harapan akan terjadi interaksi yang baik di antara keduanya. UU no. 10 tahun 2009 tentang kepariwisataan juga mensyaratkan adanya kualitas inovasi dalam pengembangan program pariwisata alternative, seperti pariwisata desa. Tujuannya agar program nantinya bisa berkembang secara mandiri dan tidak bergantung pada insentif pemerintah semata. Namun dalam realita lapangan, inovasi hanya faktor sekunder yang menentukan keberhasilan, ada lapis-lapis sosial di dalam desa yang saling mengait, yang membuat pariwisata desa pun harus disikapi perlahan dan berhati-hati. Dan kesabaran semacam ini yang sering kali tidak dimiliki oleh pelaku dan pemangku kekuasaan.

Banyak ahli perencanaan pariwisata yang mengungkapkan pentingnya membuka ruang partisipasi dalam pengembangan pariwisata desa.  Konsep desa wisata secara prinsip tak berbeda jauh dengan community-based tourism yang berperan mendorong keberlangsungan atraksi bersamaan dengan pemberdayaan agen-agen pariwisata lokal yang ada di dalam masyarakat. Selain dimiliki dan dikelola masyarakat desa, profit dari pariwisata juga akan diserap masyarakat desa sendiri dan digunakan untuk kesejahteraan bersama.

Hal ini sebenarnya erat kaitannya dengan isu sustainability. Masyarakat desa didorong untuk berpartisipasi aktif mulai dari hulu hingga hilir dari keseluruhan rantai industri pariwisata desa. Ketika ini terjadi, pariwisata desa menjadi bagian dari kepentingan warga lokal, dan mereka tetap menjadi tuan rumah di desanya sendiri. Inilah yang disebut pariwisata sebagai “efek” bukan “tujuan”.

Baca juga Karya Arsitektur IAWS Dipamerkan di Roemah Seni Sarasvati

Dalam arsitektur sendiri, konsep partisipatori telah cukup lama dikenal dan bisa diamati jejaknya, terutama dalam isu perumahan dan urban. Dorongan akan hadirnya ruang partisipasi menjadi isu yang cukup panas di kalangan praktisi, mengingat arsitektur telah lama dituduh menjadi biang kerok hadirnya pembangunan yang tidak berkeadilan sosial.

Dalam bidang pariwisata, memang konsep partisipatoris terbilang baru dan sulit untuk diterima karena adanya dorongan untuk “segera menghasilkan” yang membuat ruang-ruang partisipasi hanya dibuka bagi aktor-aktor di lingkaran elit. Besarnya kepentingan para pelaku telah membuat pemberatan kearah “pembangunan” menjadi ketergesaan dalam memberi solusi yang mencerabutnya dari akar.

Ketika berbicara mengenai partisipasi dalam konteks pariwisata desa, kita tidak lagi sekadar berbicara mengenai perebutan ruang antara masyarakat lokal dengan wisatawan, melainkan juga partisipasi wisatawan terhadap desa yang didatanginya. Proses kontak yang bertahap, kesetaraan, juga ruang dialog yang baik, diharapkan mampu menggugah wisatawan agar berangsur-angsur memiliki ekspektasi yang berbeda, baik dalam hal bagaimana melihat produk-produk budaya di sebuah desa hingga lahirnya inisiatif untuk melebur dan menciptakan pengetahuan bersama dengan masyarakat setempat.

Baca juga Budaya Sanur dalam Desain Tetirah Kontemporer

Sebuah contoh yang cukup menarik dilakukan Yayasan Lontar di Bali Utara yang membuka kesempatan pemuda dan pemudi di luar Bali untuk belajar membaca dan menulis lontar. Penelitian ini dilakukan dengan hidup bersama warga desa yang dipilih untuk menjadi tuan rumah. Selain belajar budaya asli Bali, para peserta juga diorong untuk melakukan studi budaya langsung dengan terjun ke masyarakat.

Salah satu terobosan yang mereka lakukan adalah mempertemukan hulu dan hilir melalui sebuah festival kopi. Para petani diberi kesempatan untuk bertemu langsung dengan konsumen utama mereka, yaitu barista dan seniman kopi. Cara ini tak biasa, mengingat kopi Bali selama ini sangat tergantung dengan retailer besar yang langsung melempar kopi ke pasar ekspor. Para petani yang tadinya hanya berfikir untuk menjual kopi secara mentah, dimungkinkan untuk melihat celah lain dalam mengemas kopi sebagai “produk” sehingga nilai jualnya menjadi lebih tinggi.

Para peserta program lontar ini tinggal dan bergaul dengan warga Desa selama lebih dari tiga bulan, dan selama proses itu, terjadi produksi pengetahuan bersama yang cukup gayut. Secara kasat mata, memang tidak terlihat perubahan fisik desa yang kentara, namun dalam hal kemandirian, ada satu tahapan baru yang terjadi di dalam komunitas warga desa. Jika ini terus digalakkan dan diperbesar spektrumnya, kita mungkin akan melihat sebuah lansekap pariwisata baru yang lebih berkelanjutan di masa depan.

Baca juga Bali Hotel dan Singgahnya Negarawan Dunia

Kasus desa wisata Kelingan bukan kasus pertama dan satu-satunya. Gejala yang sama juga terlihat pada banyak kasus pariwisata desa yang tidak matang. Walau begitu, ada banyak cara dalam melihat kasus penutupan Pasar Papringan dan kemandekan dalam gerakan pariwisata di desa. Dalam hal partisipasi mungkin bisa dikatakan belum ideal, namun ada hal-hal yang harus diapresiasi, misalnya niat baik para kaum terpelajar untuk kembali dan membangun desa.

Kuncinya tetap pada sejauh mana partisipasi dan diseminasi pengetahuan bisa terjadi sehingga desa tetap mandiri, walau tokoh dan semarak publikasi telah berakhir. Pariwisata desa seharusnya ‘dari dan untuk warga desa’, bukan pihak lain. Ketika kembali ke desa benar-benar berangkat dari kebutuhan yang nyata, di sanalah ia menjadi sesuatu yang menawarkan terobosan, bukan gimmick untuk menjual desa.

Artikel Menaksir Partisipasi dalam Pariwisata Desa dimuat di majalah SARASVATI edisi September 2017.