Sebuah kota – dan yang paling mutakhir ruang digital – tidak semata dibangun dari komponen-komponen fisik seperti gedung, jalanan, kabel, atau angka. Di dalamnya, bersinggungan unsur-unsur tak kasat mata, misalnya budaya, dalam kondisi yang terus berinteraksi dengan sikap menyambut kebaruan masa depan, mempertahankan masa lampau, dan menilik kebutuhan hari ini. Dalam simposium bertajuk “Interweaving History, Urban Spaces and Cultural Movement”, Ridwan Kamil, Nyoman Nuarta, dan Arief Aziz membicarakan masalah tersebut.
Simposium yang merupakan salah satu acara World Culture Forum 2016 yang digelar di Bali Nusa Dua Convention Center ini dibuka oleh video presentasi Nyoman Nuarta. Pematung asal Bali ini menyampaikan kesannya terhadap kondisi masyarakat Indonesia sekarang. Menampilkam gambar-gambar ruang seninya di Bandung, Nuart Sculpture Park, dan proses pembuatan karya monumentalnya, Garuda Wisnu Kencana, Nyoman menyinggung dominasi budaya asing hingga ketergantungan impor beras yang menjadi momok bagi kebudayaan Indonesia.
Nyoman juga menegaskan pentingnya berpegang pada tiga harmoni, yaitu Tuhan, alam, dan manusia, sebagai pijakan mengembangkan sebuah wilayah. Ini disepakati oleh Ridwan Kamil yang memaparkan situasi terkini Bandung di bawah pimpinannya. Ridwan Kamil mengatakan, “Kalau sebuah kota cuma dibangun fisiknya, bukan manusianya, sebuah kota akan jadi kota yang gagal.”
Menurut Ridwan Kamil, budaya dapat menjauhkan kota dari nasib buruk itu. “Bentuk paling kompleks dari kebudayaan adalah kota,” ujarnya lagi.
Tapi membangun kebudayaan dalam sebuah kota bukan semata memberi warna pada kertas putih. Membangun dan menjadi bagian dari kehidupan sebuah kota adalah pilihan sikap dan pilihan sikap tidak pernah datang tanpa konsekuensi. Risiko manusia kota, menurut Ridwan Kamil, adalah memberi warganya identitas anonim, serta mengajarkan untuk menerima keragaman, laju hidup yang cepat dan intens. “Namun meski kehidupan urban semakin ekstrem, kompetitif, dan berbahaya, kita juga semakin terhubung dengan orang lain di tempat berbeda,” ujarnya.
Sayangnya, mempercayai begitu saja bahwa keterhubungan antar manusia urban berarti kepedulian antar mereka, adalah suatu tindakan yang naif dan delusional. Manusia tetap menindas dan ditindas sesering air minum masuk ke kerongkongan mereka. Perkara macam begini beberapa kali melahirkan empati para penolong, beberapa kali melahirkan simpati para penonton, dan beberapa kali yang lain tidak punya efek apa-apa.
Untuk menjauhkan budaya masyarakat dari dua kemungkinan yang terakhir, ada orang-orang yang turun tangan. Arief Azi adalah salah satunya. Jengah dengan sisi negatif dunia maya, yakni isolasi diri, ia membuat sebuah platform dukungan kolektif di ranah digital bernama change.org. Di dalamnya, orang-orang saling mengajak untuk mendirikan nilai-nilai baik.
Alkisah pada 2013 silam, seorang anak lelaki but ditolak ketika hendak membuat rekening di sebuah bank. “Mereka bilang jika anak ini buta, bagaimana dia bisa layak mencontreng perjanjian di formulir yang isinya ‘Saya telah membaca dan menyetujui perjanjian ini’?”. Anak yang bernama Trian itu akhirnya membuat petisi di change.org dan mendapat lebih dari 4000 dukungan, ditambah satu permohonan maaf dari kantor pusat bank tersebut, serta satu rekening baru.
Contoh kasus Trian diyakini Arief bahwa budaya bisa diubah apabila sistem di dalamnya bisa diganti. Perubahan seperti inilah yang jadi pokok pembicaraan dalam World Culture Forum 2016. Dirjen Kebudayaan, Hilmar Farid, saat ditemui satu hari sebelumnya mengatakan bahwa forum WCF adalah jeda kolektif sejenak untuk memikirkan masalah yang tengah dihadapi. WCF kedua imi menjaring lebih dari 50 negara. Dari 10 Oktober sampai 14 Oktober 2016 di Bali Nusa Dua Convention Center, para delegasi akan mencari langkah-langkah praktis nan taktis yang bisa jadi jalan keluar persoalan. ” Yang berbeda dari WCF 2013 adalah kami berusaha mencari solusi aksi. Karenanya, saya harap akan ada pertemuan lanjutan yang membahas hasil forum kali ini lebih jauh,” kata Hilmar.