Artefak menjadi bukti jelajah waktu yang bahkan berusia ribuan tahun. Beruntung, Indonesia menjadi salah satu negara dengan sejumlah penemuan artefak yang kondisinya masih baik. Salah satunya yang masih menjadi perbincangan di kalangan para ahli dan pecinta peninggalan bersejarah, yakni situs Gunung Padang.
Sebuah situs megalitkum yang berada di puncak pegunungan, tepatnya di Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur – Jawa Barat. Lokasi dapat dicapai 20 km dari persimpangan kota kecamatan Warung Kondang, di jalan antara Kota Kabupaten Cianjur dan Sukabumi. Luas kompleks bangunan kurang lebih 900 m², pada ketinggian 885 mdpl. Diperkirakan luas areal situs ini berkisar 3 ha, menjadikannya sebagai kompleks punden berundak terbesar di Asia Tenggara. Informasi fenomenal inilah yang membawa pengunjung beramai-ramai datang ke situs ini.
Sejumlah pengunjung bisa menuju lokasi dengan mobil atau bus. Sebab telah tersedia akses jalan yang memadai berikut lokasi parkir. Ada juga pengunjung yang datang dengan naik sepeda (biking) dan jalan kaki (trekking). Pemandangan hijau dari rimbunnya kebun teh dan pegunungan yang masih diselimuti kabut tipis membuat suasana perjalanan menuju situs Gunung Padang sangat—sangat menyenangkan.
Baca juga Barus, Sebuah Jejak Siar Islam
Menurut Drs. Lutfi Yondri MHum dari Balai Arkeologi Bandung, yang menemani kami berkunjung kala itu, diketahui bahwa situs batu tersebut diperkirakan berumur 2.000 tahun sebelum masehi. Hal ini berdasarkan penelitian batuan yang ditemukan di sana. Namun sejumlah pakar arkeologi masih terus melakukan penelitian untuk mengungkap keutuhan riwayat situs zaman batu tua ini. Sebab, masih ada perdebatan di antara para ahli peneliti tentang waktu pembuatan, latar belakang masyarakat, dan konstruksi awal situs yang kini hanya berupa serakan bebatuan tua.
Terlepas dari kontroversi riwayat Gunung Padang, berkunjung ke situs sejarah akan selalu membawa kita kepada imaji dimensi masa lampau yang luar biasa. Kita seperti berada di sebuah padang di zaman batu, zaman nenek moyang kita. Sebuah gambar grafis perkiraan rekonstruksi bangunan situs Gunung Padang yang diperlihatkan kepada kami menunjukkan adanya kemiripan dengan bangunan yang ada di situs Machu Picchu, Peru. Ini benar-benar menarik minat setiap orang untuk membuktikannya.
Untuk menuju punden berundak yang memiliki 5 teras tersebut, kita diberi dua jalur pendakian. Yakni dengan tangga batu yang merupakan tangga asli hasil penggalian, atau tangga semen. Biasanya pengunjung disarankan untuk mendaki dengan tangga semen yang baru dibuat 2011 lalu karena lebih landai dan aman. Namun saat penulis berkunjung ke situs tersebut, kami diberi kesempatan merasakan sensasi melangkah di tangga batu seperti di zaman lampau yang seyogianya ditutup untuk pengunjung umum. Wah, sempat ngos-ngosan menaiki tangga batu yang agak labil dengan ketinggian lebih kurang 1 km. Kamipun disarankan untuk melangkah lebih santai agar pernafasan bisa lebih stabil hingga puncak teratas terutama bagi pengunjung yang jarang beraktifitas fisik mendaki.
Baca juga Menaksir Partisipasi Dalam Pariwisata Desa
Saat tiba di Teras 1, perasaan lelah terbayarkan dengan pemandangan luar biasa yang dijumpai. Kami berada di puncak bukit. Hamparan bebatuan terhampar unik di tanah berundak. Di kanan dan kiri, deretan gunung dan pepohonan asri sangat memanjakan mata. Mengikuti naluri untuk menjelajahi setiap senti situs itu, pengunjung antusias untuk menjejakkan kaki mulai dari Teras 1 hingga Teras 5, yang berada di puncak tertinggi. Decak kagum pun terlontar terutama ketika mengetahui fakta-fakta penelitian yang ditemukan di situs ini. Bahwa situs Gunung Padang termasuk bangunan dengan teknologi yang maju pada zamannya.
Salah satu bukti bahwa Situs Gunung Padang ini dibangun dengan teknologi yang sudah sangat tinggi adalah temuan semen purba yang digunakan sebagai perekat dan isian batu. Semen purba ini merupakan campuran dari tanah liat, besi, dan silika. Dari hasil temuan menunjukkan bahwa semen yang digunakan untuk merekatkan batu-batuan di situs mengandung kadar besi hingga 45%. Padahal temuan-temuan semen purba sebelumnya biasanya hanya mengandung semen dengan kadar berkisar 3-4%.
Atas dasar inilah sebagian peneliti menduga bahwa peradaban pada masa situs ini dibangun sudah sangat maju, mereka sudah mengetahui unsur besi yang dapat digunakan untuk merekatkan batu. Selain itu juga mereka sudah mengenal teknologi yang canggih di masanya karena sudah bisa melakukan pencampuran besi dengan bahan lainnya.
Baca juga Sebuah Refleksi dari Kompleksitas Jiwa David Gheron Tretiakoff
Situs berbentuk punden berundak ini sangat diyakini oleh para ahli menghadap ke arah Gunung Gede yang menjulang gagah di depannya. Nenek moyang kita yang masih menganut animisme mempercayai bahwa roh leluhur bersemayan di tempat-tempat tinggi. Oleh sebab itu, mereka membangun punden berundak di puncak gunung untuk menghormati nenek moyang. Sejak awal pengunjung sudah diminta untuk berbicara sopan dan menghormati lingkungan sekitar, agar tidak melakukan hal-hal yang bisa merusak situs, terutama membuang sampah sembarangan. Situs ini terlihat terjaga dengan baik. Hanya saja, membludaknya pengunjung memerlukan adanya pengawasan yang lebih baik agar tidak terjadi kerusakan.
Kekayaan sejarah ini sangat berharga. Penelitian komprehensif guna menuntaskan fakta terkait situs Gunung Padang perlu dukungan penuh pemerintah dengan melibatkan para pakar, agar segala misteri menjadi fakta yang bisa dipertanggungjawabkan. Selain menjadi objek wisata, situs ini bisa menjadi kunci rantai penemuan bersejarah lain yang sebelumnya masih belum terpecahkan.