Indonesia kembali ramaikan Frankfurt Book Fair (FBF) 2016 di Frankfurt, Jerman, 18-23 Oktober 2016.
Ratusan buku Indonesia akan dipamerkan dalam tiga venue. Di stand Nasional yang luasnya 200 meter persegi akan dipamerkan 300 buku. Di stand Buku Anak, seluas 20 meter persegi, akan dipajang 40-50 buku. Juga di Agora, tenda khusus berukuran 50 meter persegi yang dibangun untuk Indonesia.
Tim Kurator Independen yang memilih dan menentukan buku apa saja yang akan dipamerkan. Selanjutnya akan dilakukan jual dan beli hak cipta (copyrights), baik yang langsung dilakukan co-exhibitor maupun oleh literary agent.
Sejumlah penulis juga akan hadir di gelaran FBF 2016, di antaranya Laksmi Pamuntjak, Eka Kurniawan, dan Seno Gumira Ajidarma. Laksmi adalah penulis yang memenangkan LiBeraturpreis tahun ini, penghargaan dari Jerman yang disponsori FBF untuk novelnya, Amba.
Eka adalah penulis novel yang masuk dalam nominasi The Man Booker International Prize 2016 untuk bukunya Lelaki Harimau (Man Tiger) dan mendapat penghargaan FT/OppenheimerFunds Emerging Voices untuk kategori fiksi. Cerpen Seno bertajuk Saksi Mata pernah memperoleh Dinny O’Hearn Prize for Literary, 1997.
Selain agenda tersebut, Indonesia di FBF 2016 juga menampilkan budaya dan seni, termasuk program Happy Hour, yakni acara santai di stand Indonesia tempat para co-exhibitor Indonesia berbincang-bincang dengan relasi penerbit internasional mengenai peluang kerja sama bisnis. Bara Pattiradjawane akan menghidangkan soto dalam program “A Spoonful of Indonesian Warmth”.
Ketua Komite Buku Nasional Laura Prinsloo saat jumpa wartawan di Kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kamis, 29 September 2016, berujar manfaat mengikuti pameran di luar negeri adalah menghidupkan perbukuan di dalam negeri. Penerbit tertolong dengan adanya yang membeli hak cipta.
“Dari hanya 60 judul penjualan hak cipta ke luar negeri pada 2014, memasuki 2016, Indonesia telah berhasil menjual seratusan hak cipta. Tahun ini saja 33 judul. Ini tak lepas dari keikutsertaan Indonesia dalam FBF sebagai tamu kehormatan (guest of honor) FBF 2015,” ujar Laura.
Komite Buku Nasional (KBN) RI dibentuk pada 2016 di bawah Kemendikbud dan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) untuk mempromosikan dan melisensikan hak cipta karya Indonesia (licensing rights).
Anggota KBN Goenawan Mohamad dalam kesempatan serupa menjelaskan Indonesia masih terlambat dalam urusan penerjemahan buku dari bahasa Indonesia ke bahasa asing.
Target proyek penerjemahan buku belum tercapai. Dari 300 judul yang ditargetkan, baru 40-an judul yang sudah diterjemahkan. Salah satu penyebabnya adalah mencari penerjemah penutur asli (native speaker) bahasa yang dituju yang, menurutnya, sangat sedikit yang paham kekayaan khazanah bahasa Indonesia.
“Kita belum bisa mengalahkan Brasil, Turki, dan Tiongkok; walau dalam hal lain, misalnya desain, dapat mengimbangi Selandia Baru,” ujar Goenawan. “Kita terlambat tapi lebih baik daripada tidak sama sekali. Tidak mudah, tapi bisa dilakukan.”
Minat baca Indonesia tergolong buruk, berada di peringkat ke-60 dari 61 negara berdasarkan studi Central Connecticut State University pada Maret 2016. Namun kualitas penulisan, terutama di bidang sastra, menurut Goenawan, membaik.
Gerakan literasi di Indonesia juga memberi kabar baik seiring bertambahnya kota, selain Jakarta, yang mengadakan literary festival, seperti Makassar dan Padang.
“Semoga ini disusul dengan meningkatnya minat baca. Kalau tidak membaca buku, tidak hanya jadi bodoh tapi juga mudah disesatkan,” kata Goenawan.