Abrakadabra melengkapi daerah Mantrijeron sebagai salah satu kawasan seni di Yogyakarta lewat fasilitas menginap yang hangat dan artsy.
Berlokasi tak jauh dari Ark Galerie, Langgeng Art Foundation, dan Rumah Seni Cemeti, kehadiran homestay Abrakadabra seolah-olah didesain untuk melengkapi predikat kawasan seni yang lekat di Mantrijeron lewat wujud homestay. Meski terletak di dalam area perumahan, tidaklah sulit mencari posisi rumah penginapan ini. Dari jauh, tamu dapat segera mengenali dari keberadaan pintu mobil bercat putih ikoniknya yang ditempel ke pintu gerbang rumah.
Masuk ke dalam, mata pengunjung disambut dengan grafiti sosok perempuan karya Vivien Poly, seniman dan fotografer asal Prancis. Perempuan itu bersanding dengan kutipan penyair Ben Okri, “Magic becomes art when it has nothing to hide”. Kutipan ini, menurut sang pemilik, Jali Topan, mengilhaminya untuk menjadikan kata “abrakadabra” sebagai nama penginapannya.
Kesan artsy ini menyatu dengan suasana rumahan yang hangat, mulai dari hal-hal kecil di area teras, seperti kolam kecil, area parkir di dalam pekarangan, rak sepatu, dan pepohonan teduh di balik pagar halaman. Di atas deretan rak sepatu dan helm, terdapat papan tulis dengan sambutan selamat datang bagi tiap tamu.
Masuk ke dalam rumah, grafiti karya Vivien Poly juga menghiasi area lobi yang diisi meja-meja kayu panjang untuk sarapan atau bekerja. Di kiri-kanan area ini, terdapat empat kamar private yang didesain dengan tema masing-masing sesuai namanya: Jungle, Beach, Graffiti, dan Junkyard. Tiap kamar private dilengkapi kipas dinding, meja sudut, gantungan pakaian, dan kamar mandi dengan shower dari modifikasi ember alumunium. Tema per kamar menjadi keunikan sendiri bagi rumah ini, di tengah menjamurnya konsep recycle serta desain rustic dan vintage di banyak penginapan di Jogja.
Pengunjung yang nyaman berbagi kamar dapat menjajal kamar dormitory. Abrakadabra menyediakan dua pilihan untuk tipe kamar ini, yakni female untuk dorm khusus perempuan, dan campur. Masing-masing tempat tidur dilengkapi lampu kecil, stop kontak, kipas kecil, dan tirai. Kamar dormitory dilengkapi wastafel, WC, shower room, hingga dispenser, lengkap dengan stoples kopi dan gula yang dapat dipakai bersama.
Untuk mendapatkan kamar, para tamu bisa menyewa dengan harga cukup terjangkau. Lebih menarik lagi, Abrakadabra juga menyediakan program residensi yang cair bagi para seniman, penulis, fotografer, dan kemungkinan karya lainnya.
“Beberapa ada yang mengontak kami dulu soal residensi ini dan menawarkan proyeknya. Baru-baru ini di antaranya travel blogger dari Kroasia. Ada juga yang terkadang sudah menginap lebih dahulu di sini, lalu berniat mau memperpanjang masa menginap. Setelah ngobrol, kita tahu bahwa dia lagi ada project di sini, bisa kita barter dengan kamar gratis dan akomodasi, plus makan,” ujar Jali.
Sementara itu, backpacker umum yang ingin memperpanjang masa inap juga bisa dikenakan bebas biaya dengan sistem barter. “Sebagai gantinya, misalkan mereka cuma bisa bersih-bersih, nyapu, nggak masalah. Jam kerja yang kita kasih berdurasi enam jam, bisa dicicil tiga jam – tiga jam. Ada juga yang bisa mengurus tanaman, lalu bikin foto dan video. Ada juga yang membersihkan kolam berenang. Jadi mereka mengerjakan yang kami kerjakan. Secair itu,” lanjut Jali.
Di tengah-tengah rumah ini memang terdapat kolam renang yang dikitari dapur dan ruang lepas untuk bersantai. Di sana-sini penuh rambatan dedaunan anggur, tanaman gantung, dan tanaman yang dibonsai di dalam pot-pot batu. Area teduh ini menjadi tempat berkumpul para tamu saat sarapan, berendam, mengetik tulisan, hingga memetik gitar. Sejumlah dinding di area ini diisi dengan tulisan kesan-pesan para tamu yang pernah menginap, menjalar hingga dinding toilet umum di sudut kiri belakang rumah.
Sisi kolam renang dan ruang santai juga dihiasi grafiti hasil kolaborasi bersama seniman Yunanto. Karyanya menggambarkan sosok anak kecil bertopeng Jason Voorhees, karakter utama Friday the 13th di tengah rimbun dedaunan. Gadis kecil itu memegang selang, seolah tengah menyiram sesuatu yang tak terlihat. Di malam hari, para tamu dapat melihat sang gadis kecil rupanya sedang menyiram bayangan tanaman kokedama yang diproyeksikan dengan artistik ke dinding.
Karya ini, menurut Yunanto dan Jali, mengkritisi kondisi bagaimana sosok-sosok di tengah masyarakat yang terlihat baik saat ini rupanya tidak sesuci rupanya, sementara sosok kecil yang tampak jahat bahkan memiliki kebaikan dan kelembutan untuk menjaga yang patut bertumbuh. Banyaknya suguhan visual berupa grafiti di seluas Abrakadabra, menurut Jali, menjadi upaya untuk mewadahi gagasan street artist di Yogyakarta yang lebih sering diapresiasi di luar negeri ketimbang di Indonesia.
Di area lepas di sekitar kolam renang, para tamu penginapan bisa menikmati karya grafiti dan pemandangan hijau khas rumah anak muda, sambil menikmati sarapan yang disiapkan para staf homestay. Jika biasanya para tamu disuguhi pancake dan omelet di penginapan lain, Abrakadabra menghidangkan menu sarapan khas Indonesia, seperti nasi kuning, nasi gudeg, kue apem, kue lupis, hingga pecel. Seakan kurang akrab dengan para tamu, tidak jarang para staf juga mengajak para tamu untuk patungan belanja dan masak bersama layaknya keluarga.
“Di dapur juga tersedia buah, roti, selai. Sering juga mereka masak sendiri, dan boleh saja. Pengennya mereka merasa seperti di rumah saja,” kata Jali. Tidak heran, banyak review tamu Abrakadabra di website perjalanan menyebut kedatangan mereka adalah kunjungan yang kesekian kalinya. Selain menawarkan kenyamanan di dalam rumah, Abrakadabra juga menawarkan paket trip dan panduan wisata yang fleksibel ke banyak tempat di sekitar Jogja, seperti Borobudur dan kebun buah Mangunan. Tentunya, mereka tak lupa menyediakan paket trip ke galeri-galeri seni di kawasan Jogja.
Ulasan Berseni dan Bersantai di Abrakadabra dapat dibaca di majalah SARASVATI edisi Juli 2017