Seperti pepatah “banyak jalan menuju Roma”, manusia bisa mengambil banyak cara untuk sampai di tujuan. Termasuk memanfaatkan kekuatan alam mistis lewat pesugihan.
Kedekatan masyarakat Indonesia dengan dunia mistis seringkali dianggap sebagai sesuatu yang tabu namun banyak diperbincangkan. Di tanah Jawa sendiri, interaksi manusia dengan para lelembut dapat berlangsung lewat pesugihan.
Besarnya keinginan manusia untuk memiliki sesuatu secara ujug-ujug, dilabuhkan pada jalan pesugihan yang mampu memberi rejeki, wibawa, kekayaan, jabatan, maupun jodoh dalam waktu singkat, meski harga yang dibayarkan atas pesugihan adalah nyawa sekalipun.
Salah satu pesugihan yang dikenal dalam mistisme Jawa adalah pesugihan kandang bubrah, yaitu mencari kekayaan dengan tumbal diri si pelaku yang harus selalu memperbaiki rumahnya yang terus rusak dan di akhir hidup si pelaku akan menjadi tiang rumah mewahnya. Cerita pesugihan kandang bubrah ini yang kemudian diangkat oleh sutradara Garin Nugroho ke dalam karya terbarunya Setan Jawa.
Sebagai bentuk perayaan 35 tahun mencipta karya, kali ini Garin menghadirkan film bisu dalam format hitam putih yang banyak berangkat dari pengalaman masa kecilnya di Yogyakarta. Untuk menambah kesan estetika film, Garin menggaet Rahayu Supanggah untuk menampilkan iringan musik gamelan yang dipentaskan langsung bersamaan saat film diputar di Gedung Teater Jakarta di Taman Ismail Marzuki, 3 & 4 September 2016.
Mengambil latar belakang era kolonial awal abad 20, Setan Jawa mengejawantahkan era industri yang menyisakan kemiskinan yang meluas di tanah Jawa pada saat itu. Kesenjangan sosial yang dibingkai Setan Jawa, memberikan gambaran bagaimana konflik sosial dan kapital mampu mendorong manusia melalui trajektori pesugihan guna mencapai kelas yang dituju.
Berbalut kisah asmara, film bisu ini menggabungkan sinematografi dengan seni tari untuk menyampaikan pesan melalui gerak tubuh.
*Ulasan lengkap Estetika Mistisme Pesugihan dapat dibaca di majalah Sarasvati edisi Oktober