Di samping kemahsyurannya sebagai atraksi eksotis dari pulau Madura, karapan sapi tak lepas dari sisi politis dan isu kuasa. Makna karapan sapi sebagai yang semula merupakan perayaan usai panen dan ajang pertemuan antar kerabat kemudian bergeser menjadi jalan bagi para peserta dan khususnya pemenang karapan agar dikenal publik luas, sehingga segala macam ‘urusannya’, mulai dari usaha hingga meraih kursi di pemerintahan menjadi mudah.

Pergeseran makna dari perhelatan pacuan sapi di Madura ini yang dijabarkan Suvi Wahyudianto dalam “Homo Sapirin”, pameran tunggal perdananya di  C2O Gallery, Surabaya. ‘Homo Sapirin’, yang diterjemahkannya sebagai manusia sapi, berangkat dari pengalamannya saat menekuri sawah di kampung halamannya, di mana para petani tak pernah lepas dari seekor sapi.

Bukan rahasia lagi bahwa untuk memiliki dan memelihara sapi, khususnya sapi yang akan digunakan untuk kerap (pacuan), membutuhkan dana yang cukup besar. Sapi berpostur tegap, berotot  liat, dan kulit berwarna coklat terang ini biasanya dimiliki orang  yang berkedudukan di masyarakat serta berkemampuan ekonomi lebih. “Karenanya di masyarakat Madura muncul ungkapan, ‘biaya merawat seekor sapi kerap jauh lebih mahal daripada biaya merawat seorang istri’,” kata Suvi.

Jpeg
‘Sekramen’ (kulit kepala, kaki, dan lonceng sapi) [source: Dok. Suvi Wahyudianto]

Sapi kerap inilah yang menurut Suvi menjadi perwujudan konsep harga diri orang Madura, di mana sepasang sapi kerap yang menang akan otomatis menaikkan derajat sosial pemiliknya. “Terutama jika pemiliknya seorang blater (jawara). Sebaliknya, sapi yang kalah akan membawa malo (rasa malu) sehingga seseorang akan merasa tada’ ajina (tidak berharga lagi),” jelasnya. Hal inilah yang membuat blater, tokoh jawara di Madura, kerap menggunakan karapan sapi, sabung ayam, dan sandur sebagai jalan untuk menaikkan harga diri dan mendapatkan kekuasaan atas masyarakat di daerahnya.

Soal harga diri dan kuasa inilah yang diolah mahasiswa Pendidikan Seni Rupa Universitas Negeri Surabaya tersebut bersama kurator Ayos Purwoaji dan  dosen pembimbingnya, Djuli Jati Prambudi sebelum dituangkan dalam sejumlah medium yang lekat dengan tanah kelahirannya. Dalam karya  A Los Los (Melesat),  misalnya, Suvi mengukir momen karapan sapi di atas kayu jati yang terhunus clurit sebagai ironi ambisi lelaki Madura yang terus berpacu dengan jantan, tak hanya untuk meraih kemenangan, namun juga pengakuan di tiap kemenangan tersebut. Suvi pun menggunakan medium clurit sebagai simbol kekerasan dalam sejarah berlangsungnya karapan sapi. Bentrok dan ricuh kala perhelatan tersebut tak lain dipicu kecurangan yang kerap terjadi saat para penonton bertaruh atas sapi  yang  diadu.

Dalam Sekep Se’e Kep Kep (Yang Didekap), Suvi menempatkan clurit dalam kotak dari kayu jati beralas resin yang dibuat menyerupai daging sapi, membuat senjata khas Madura ini seolah perhiasan berharga yang sekaligus menjaga ‘sapi’ yang tak kalah berharganya dalam kotak tersebut.Sementara itu, ia menampilkan kulit  kepala, kaki, dan lonceng sapi sebagai artefak karapan sapi dalam judul Sekramen. Sosok sapi sendiri hadir lebih konvensional dengan teknik monoprint khasnya dalam Manjheng.

a los los (melesat). ukiran karapan sapi diatas kayu jati, clurit. variabel dimension
‘A Los Los (Melesat)’ (ukiran karapan sapi diatas kayu jati, clurit) [Source: Dok. Suvi Wahyudianto]

Di samping karya-karya dua dan tiga dimensinya,  bersama sejumlah temannya, perupa muda ini akan menampilkan sandur di Galeri C2O. Kegiatan ‘arisan’ para blater yang diiringi lagu-lagu Madura, tabuhan gendang, saronin, dan tande’ tersebut sekaligus menjadi pembuka “Homo Sapirin” yang berlangsung pada 12-29 Februari mendatang.