Sore hari di Ubud saat gerimis mulai mulai turun di awal bulan Agustus 2009. Dari kamar tidur saya di Villa Sanggingan, Ubud, Bali, saya melihat Arie Smit duduk di teras kecil di depan kamarnya. Rasa gembira yang tidak terkira berada dalam satu pekarangan dengan pelopor aliran young artist ini. Sejak kecil, saya hanya melihat lukisan-lukisan Smit di museum dan dalam buku dan majalah.
Ayah saya mengenalkan lukisan Smit ketika saya masih duduk di sekolah dasar. Saat kami mengunjungi Museum Seni Neka, Ubud di awal tahun 80-an, beliau memberikan contoh bagaimana seorang seniman seperti Arie Smit memberikan warna-warna yang luar biasa pada lukisannya, bahkan untuk melukiskan pemandangan di malam hari sekalipun. “Arie Smit mempunyai dunianya sendiri di Bali. Tempat di mana semua yang berada di dalamnya memancarkan segala keindahan warna,” ujar Ayah saya. Ucapan ini yang terus saya ingat saat mengenang Smit.
Saya selalu menyempatkan mengunjungi Museum Neka setiap berkunjung di Ubud. Menikmati banyak lukisan, terutama lukisan Smit bukan lagi suatu kesukaan belaka. Lebih dalam lagi, lukisan pria kelahiran 15 April 1916 tersebut menjadi pengingat saya akan tempat-tempat yang indah di pulau Bali, pengingat akan almarhum Ayah yang dahulu membuka mata saya akan dunia seni rupa, dan juga penjaga inspirasi saya sebagai seorang seniman.
Suteja Neka mempertemukan saya dengan Smit sore itu. Beliau memperkenalkan saya sebagai seniman muda. Kami duduk bertiga di teras depan kamar Smit dan berbincang-bincang sesaat untuk membuat janji bertemu pada keesokan harinya. Semalaman saya terus berpikir tentang pertanyaan apa dan cerita apa yang bisa saya sampaikan kepada Smit. Tiba-tiba saya menjadi sangat cemas. Sampai pada akhirnya, saya bisa duduk bersama dengannya pada jam sepuluh pagi.
Smit menanyakan tentang apa yang membuat saya ingin bertemu dengannya. Dengan jujur saya bercerita bahwa pada saat saya masih kanak-kanak, Ayah saya selalu menjadikan lukisan-lukisan pengajar seni grafis dan litografi di Institut Teknologi Bandung tahun 1951 ini sebagai salah satu contoh karya seni terbaik. Saya banyak belajar menggambar dengan dengan pengaruh lukisan Smit saat duduk di bangku sekolah dasar.
Dari situ, Smit kemudian bercerita awal mula ia memilih desa Penestanan, Ubud untuk tinggal setelah berpindah-pindah tempat kediaman di beberapa kota di Bali, akhirnya ia memilih menetap di desa Penestanan, Ubud. “Saya memilih untuk menetap di Penestanan karena saat itu belum ada pelukis di Penestanan,” kata Smit. Dengan latar belakang pendidikan seni untuk anak-anak yang didalaminya di Bandung, seniman bernama asli Adrianus Wilhelmus Smit ini mencoba mengajarkan seni lukis pada anak-anak di Penestanan yang kemudian berkembang menjadi kelompok Young Artists dengan nama ‘aliran’ serupa.
“Karena anak-anak desa itu belum banyak melihat lukisan dan juga belum pernah belajar melukis, mereka masih serupa tabula rasa, seperti kanvas yang masih kosong. Pengetahuan dan persepsi akan seni belum terbentuk pada jiwa anak-anak tersebut. Jadi lebih mudah untuk mengajarkan mereka,” kata Smit.
Anak-anak diajak Smit berkeliling desa, melihat apa yang ada di sekitarnya. Mereka dibebaskan memilih objek yang ingin dilukiskan; belajar mempercayai mata mereka untuk menangkap detil dari kehidupan sehari-hari. Smit berpikir, mengenal dekat dan mengamati apa yang ada di sekitar kita adalah salah satu hal yang paling penting dalam menciptakan identitas dalam karya seni.
Kelompok Young Artists yang terdiri dari beberapa anak didik Arie Smit berhasil berpameran di Bali hingga ke luar negeri, bisa berjualan lukisan mereka sendiri, serta mendirikan galeri-galeri kecil di sekitar Ubud. Karena itu pula, Ubud menjadi pusat kesenian di Bali. Dari niat sederhananya untuk mengajari anak-anak tentang seni, Smit juga telah banyak membantu perkembangan seni rupa dan perekonomian Ubud.
Menginjak umur 90-an, Smit tidak kuat lagi berdiri di depan kanvas besar untuk melukis. Tenaganya pun tak lagi kuat untuk bekerja lagi di studio lukisnya yang berada di atas lembah sungai Ayung, satu kompleks dengan Villa Sanggingan. Pertemuan dan percakapan saya dengan seorang “guru” yang sesungguhnya membuat saya begitu terinspirasi akan hidup menjadi seniman yang sesungguhnya—untuk berbagi.
Sejak pertemuan di 2009 itu, saya selalu mengunjungi kembali Smit setiap tahun sampai pada akhir tahun 2015. Di masa-masa ini, saya menyaksikan bagaimana eratnya persahabatan Suteja Neka dengan Smit. Selama puluhan tahun mereka bekerja sama, berkawan baik, dan saling menghormati satu sama lain. Bahkan sampai di masa-masa akhir hidup Smit, setiap pagi Suteja Neka selalu menyempatkan diri untuk mengunjunginya walau hanya untuk mengucap selamat pagi dan membawakan pisang kesukaan Smit untuk sarapan.
Pada 23 Maret 2016, hanya beberapa minggu sebelum ia menginjak umur yang ke-100 tahun, Smit berpulang. Ia meninggalkan banyak pelajaran bagi dunia seni rupa di Indonesia, terutama di pulau dewata. Warisan yang besar itulah yang agaknya harus kita ingatkan kepada generasi yang akan datang. Selamat jalan, Maestro.
*Ari Bayuaji – seniman Indonesia, tinggal di Montreal, Kanada