Kembang sayap sineas tanah air tidak hanya terbentang di dalam negeri, namun juga merambah ke dunia internasional. Hal inilah yang dibahas dalam jumpa pers dan juga diskusi “Road to Cannes Film Festival” yang bertempat di Auditorium Institut Francais Indonesia (IFI) Jakarta.
Pertemuan tanggal 27 April 2016 tersebut dihadiri oleh sineas Mouly Surya dan Wregas Bhanuteja yang berkesempatan untuk terlibat dalam Cannes Film Festival 2016 di Perancis, 13-21 Mei 2016 mendatang. Pada saat yang bersamaan, juga turut hadir Direktur IFI Marc Piton, sutradara Garin Nugroho, produser Rama Adi & Fauzan Zidni, produser Willawati, dan aktris Marsha Timothy.
Mouly Surya, merupakan seorang sutradara berbakat Indonesia yang pernah meraih Piala Citra melalui film Fiksi, tahun 2008 lalu. Selain itu, Mouly juga menembus kancah perfilman luar negri, Sundance Film Festival 2013 lewat karya What They Don’t Talk About When They Talk About Love.
Berbicara tentang pergerakan karya Mouly, kini sang sutradara kelahiran tahun 1980 tersebut sedang menggarap film Marlina The Murderer in Four Acts yang lolos seleksi L’Atelier Cinefondation Cannes Film Festival 2016. L’Atelier Cinefondation merupakan salah satu program Cannes Film Festival yang mempertemukan 15 sineas terpilih dengan mitra produksi, agen promosi dan distributor internasional, yang dibentuk sejak tahun 2005. Sehingga, lewat Cannes Film Festival 2016 inilah akan membantu berjalannya proses kekaryaan Mouly dalam merampungkan Marlina The Murderer in Four Acts yang nantinya akan dibintangi oleh aktris Marsha Timothy sebagai Marlina, yang juga hadir di Auditorium IFI.
Cerita film ditulis oleh Garin Nugroho, yang menceritakan kisah perempuan Sumba bernama Marlina, seorang janda berusia 35 tahun yang berupaya melepaskan diri dari kawanan perampok lewat berbagai cara yang berujung pembunuhan dengan memenggal kepala dari pimpinan kawanan perampok tersebut. Marlina memutuskan untuk membawa lari kepala sang pimpinan perampok dalam sebuah kisah perjalanan. Ide cerita kisah Marlina tersebut berdasarkan pada pengalaman yang ditemui Garin di Pulau Sumba mengenai kebiasaan masyarakat setempat yang seringkali melakukan pemenggalan kepala sebagai bentuk ungkapan balas dendam.
Selain lolos ke dalam Cannes Film Festival, film yang digarap oleh Cinesurya Pictures dan Kaninga Pictures tersebut sebelumnya juga telah masuk seleksi Asian Project Market di Busan International Film Festival 2015 dan terpilih sebagai salah satu penerima Next Masters Support Program dalam ajang Talents Tokyo 2015. “Setelah terseleksi dalam beberapa project market serupa di Asia, project market milik Cannes ini akan menjadi pertama kalinya saya mempresentasikan project saya di Eropa. Saya antusias untuk mengeksplorasi kemungkinan baru L’Atellier untuk bekerja sama dengan produser-produser Eropa dan nantinya akan membuka peluang distribusi di Eropa,” ungkap Mouly Surya.
Keberhasilan Mouly sebagai sutradara, tidak berjalan sendirian. Hal tersebut juga diikuti oleh seorang sineas muda asal Yogyakarta, Wregas Bhanuteja. Tumbuh dan besar di Yogyakarta, Wregas memutuskan untuk melanjutkan pendidikan perguruan tinggi di ibukota dan lulus dari Institut Kesenian Jakarta. Semangat berkarya yang dimiliki sineas muda kelahiran 20 Oktober 1992, sudah dimiliki sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Hingga saat ini, Wregas telah menghasilkan beberapa karya film pendek antara lain Senyawa (2012), Lembusura (2014), dan karya terbarunya Prenjak/ In The Year of Monkey (2016).
Lewat karya terbarunya, Wregas mencapai salah satu impian untuk menembus dunia perfilman internasional. Alhasil, program La Semaine de la Critique (Critic’s Week) Cannes Film Festival berhasil ditembus Prenjak/In The Year of Monkey dalam kategori film pendek. Berceritakan tentang kehidupan seorang perempuan bernama Diah, yang sangat membutuhkan uang dalam waktu cepat dan berinisiatif untuk menjual korek api kepada Jarwo.
Film pendek ini menjadi menarik, manakala Diah mengambil cara yang tak biasa saat menjual korek api, yaitu pertukaran satu batang korek api seharga sepuluh ribu rupiah dengan memperlihatkan salah satu bagian tubuhnya kepada Jarwo. Terinspirasi dari perbincangan tentang penjual korek serupa pada 2 tahun silam bersama rekan-rekan di Yogyakarta, film yang digarap Wregas bersama dengan Studio Batu, juga mengambil setting di Yogyakarta.
Kegemaran Wregas sendiri dalam menggunakan lokasi di Yogyakarta dikarenakan kedekatannya dengan tanah tersebut sejak kecil. Sehingga Wregas lebih memilih untuk membuat karya yang merespon isu maupun fenomena yang terjadi di tanah kelahirannya tersebut. Setelah berpartisipasi dalam Cannes Film Festival, kedepannya Wregas berharap dapat memperluas kemampuan sebagai sutradara dan menjajal dunia film panjang.