Aktif sejak 2016, World’s End Gallery berdiri sebagai salah satu ruang alternatif seni kontemporer di Kota Kembang, Bandung. Berkeinginan untuk menjadi wadah ekspresi artistik, ruang ini berupaya memberi dukungan kepada seniman beserta komunitasnya dari yang telah mapan hingga yang bersifat eksperimental, serta dari yang populer hingga menyentuh ceruk pasar. Salah satu yang didukung adalah Elfandiary Deniharza, lewat pameran tunggal bertajuk “Deadline Drama” terhitung 22 Juli – 8 September 2017 yang bertempat di World’s End Gallery, Bandung.
Sebagai seorang ilustrator, Elfandiary seringkali dilanda kesibukan yang menyita waktunya. Padahal ia memahami betul bahwa kesempatannya untuk berkarya bisa dimulai dari waktu yang berkualitas. Sayangnya, dinamika industri yang digelutinya di dunia kerja terasa begitu ketat dan akhirnya membuatnya mencetuskan ide tentang “Deadline Drama”, sebuah pameran tunggal yang berangkat dari rutinitasnya sehari-hari sebagai ilustrator.
Deadline atau tenggat waktu, seringkali mengaduk-aduk emosi dan terasa menegangkan. Namun bagai pisau bermata dua, deadline membawa Elfan—sapaan Elfandiary, pada keterkungkungan sekaligus menemukan celah kebebasan. Padatnya pekerjaan komersil yang ia hadapi malah memunculkan keinginan untuk iseng menggambar secara singkat dan mudah sebagai peredam stres. Sebuah lahan yang potensial untuk terus digali.
“Karena kesibukan sebagai pekerja, aku iseng membuat sesuatu yang juga kugunakan sebagai media untuk mencari ide. Dari gambar yang iseng kubuat, lama-lama bereksplorasi dan dibuat lebih memiliki konten,” ujar lulusan Desain Komunikasi Visual, Institut Teknologi Nasional ini.
Lama kelamaan, Erfan mencoba mencari waktu luang untuk menuangkan gagasan personal di tengah aktivitas membuat ilustrasi untuk proyek komersial. Pengaruhnya ada banyak, mulai dari suasana hati, lanskap kota, pengalaman personal, foto, lagu, dan aktivitas pengamatan. Lewat karya, ia menemukan kebebasan untuk berekspresi di tengah hiruk pikuk pekerjaan.
Pada pameran tunggal perdananya, Elfan menampilkan sembilan karya berupa drawing, mural, dan instalasi. Salah satunya bertajuk Enigma, menceritakan pengalaman Elfan ketika menghadapi pekerjaan yang bagai benang kusut: tidak tahu bagaimana mengurainya.
Karya ini pertama kali dibuat secara digital di tahun 2016, namun kini dibuat kembali secara manual menggunakan tinta dan screentone di atas kertas fabriano. Di dalamnya terdapat sesosok pria yang mewakili Elfan sendiri, memegang untaian benang yang terhampar pada area bidang dan luas. Sosok itu tampak bingung, tak tahu harus mulai dari mana untuk merapikannya.