Gelora Samudra Putra Sang Fajar (2016) karya Abay D. Subarna terpasang di tentangan pintu utama ruang pamer Gedung A Galeri Nasional Indonesia. Lukisan berukuran 200×150 cm itu menampilkan laut luas bergelombang, kapal dengan lambung bertuliskan “Djadajat” melayarinya, dan sorot matahari sore.
Namun titik perhatian lukisan Abay bukanlah pemandangan alam, melainkan pada tulisan yang terpampang “membelah” laut. Begini kutipannya:
“…. Tuhan memberi kepada kita satu tanah-air kepulauan. Hanya djika kepribadian kita seirama dengan sifat tanah-air kita itulah, maka kita dapat mendjadi satu Bangsa jang Besar.”
Tulisan itu berasal dari tulisan tangan Presiden Sukarno berjudul “Kepada Anak-Buah Djadajat” yang dibuat di atas kapal “Djadajat” pada 4 November 1958. Masih dalam bentuk tulisan tangan Bung Karno pula kalimat itu ditorehkan di lukisan.
Gelora Samudra Putra Sang Fajar bersama karya 120 seniman lukis, gambar, patung, video art, dan instalasi dipamerkan dalam “Nautika Rasa” di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta pada 13-25 September 2016.
Peserta pameran ini terdiri dari alumni dan pengajar Bale Seni Barli, Bandung; anggota Ikatan Wanita Pelukis Indonesia, serta seniman undangan khusus. Untuk menyebut beberapa adalah Abdurahman Abro, Bunawijaya, Cecilia D. Kristiari, Dahlia Sardjono, Galuh Taji Malela, dan Nakis Barli. Nakis Barli adalah istri Barli Sasmitawinata (1921-2007) dan kini jadi Pemimpin Bale Seni Barli di Kota Baru Parahyangan, Bandung.
Abay D. Subarna, yang lulusan Seni Rupa ITB tahun 1969, menemukan tulisan “Kepada Anak-Buah Dadjajat” ketika dia mengenal orang Natuna yang menyimpan arsip tulisan Bung Karno. Abay kemudian memilih satu tulisan yang menurutnya menunjukkan besarnya perhatian Bung Karno pada kelautan.
Pada masa pemerintahan Sukarno, kapal “Djadajat” digunakan sebagai kapal patroli mengawasi perairan Indonesia. Dan kalimat itu, menurut Abay, semacam surat wasiat kepada ABK “Djadajat” bahwa niat dan semangat seperti lautlah yang membuat Indonesia besar.
“Kata Sukarno, ‘anak kecil pun tahu bagaimana menghubungkan Sabang sampai Merauke, yaitu melalui laut,’” ujar kurator pameran Rizki A. Zaelani saat pembukaan pameran, 13 September 2016.
Karya Rendra Santana, Eksploitasi (2016), menggambarkan nelayan membawa ikan tangkapan bukan ke darat, melainkan ke laut.
Eksploitasi adalah metafora atas ketamakan manusia yang mengangkut semua isi laut ke darat. Padahal apa yang sudah diambil dari laut ke darat tak dapat lagi dikembalikan ke laut. Kerusakan laut tak dapat diperbaiki, kecuali menjaganya tetap lestari.
Pameran “Nautika Rasa” menghubungkan dua pokok, yakni tentang nautika (nautical) yang berarti hal yang terhubung dengan laut, dan soal perasaan (feeling). Pameran ini hendak menyusuri luasnya lautan perasaan melalui tema-tema pemandangan, keadaan, bahkan persoalan bahari melalui cermin dimensi perasaan para seniman.
Berbagai imaji bahari tersebut tampak sebagai bentuk-bentuk yang langsung bisa dikenali (bersifat ikonik), juga bisa dinyatakan tersirat sebagai inspirasi gagasan.
Dalam sambutan sebelum pameran dibuka, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti bahkan mengingatkan kesadaran kita akan kejayaan bahari memprihatinkan, nyaris seperti tikus mati di lumbung padi.
“Kalau anak menggambar pemandangan Indonesia pasti gunung, sawah, pohon kelapa, gubuk. Pasalnya itulah yang tertanam di kepala kita. Seharusnya lagu nenek moyangku orang pelaut diubah liriknya jadi aku seorang pelaut,’” ujar Susi.
Upaya yang sedikit ekstrem pun sah-sah saja demi menjaga kekayaan laut kita, kata Susi, terlebih Indonesia bukan negara ekspansif. “Untuk menjaga laut kita, kekayaan sumber laut kita sendiri, dibolehkan untuk sedikit posesif.”