(Infrastructure, Museum, History) of Indonesian Art
Tulisan Renate Kant dan Helena Spanjaard di www.svastisarasvati.com ini seyogianya mengisi “Fine Art Round Table Discussion: Indonesian Modern Paintings, 24 Mei 2012 di Galeri Nasional, Jakarta.
Ketika saya diminta bicara pada diskusi itu saya diyakinkan penyelenggara bahwa round table discussion yang direncanakan tidak dimaksudkan secara langsung mempersoalkan isu yang beredar di jaringan media sosial, apakah sejumlah lukisan yang ditampilkan pada peresmian Third Wing Museum OHD (awal April 2012) palsu atau tidak palsu. Sedianya saya akan membuka round table discussion ini dengan mempersoalkan seni rupa modern di Indonesia dan kaitannya dengan sejarah seni rupa. Karena itu saya memperhitungkan bila presentasi saya dihubungkan dengan kontroversi sejumlah lukisan pada peresmian Third Wing Museum OHD persoalan yang akan berkembang pada round table discussion dekat dengan persoalan-persoalan yang sekarang dilontarkan Renate Kant dan Helena Spanjaard di www.svastisarasvati.com .
Namun itulah yang tidak terjadi. Forum diskusi berkembang berubah menjadi persoalan apakah lukisan-lukisan pada peresmian 3rd Wing Museum OHD palsu atau tidak. Saya dan sebagian kurator yang diundang bicara pada round table discussion merasa berada pada posisi yang salah. Melalui bisik-bisik beberapa pembicara mencoba mengkonfirmasikan perasaan mereka pada saya dan saya kemukakan, “Rasanya ini bukan forum kita.” Karena itu pandangan-pandangan yang tampil pada round table discussion (lebih mencerminkan kebingungan, termasuk pandangan saya) “tidak bunyi”.
Diskusi yang terjadi berangkat dari pendapat-pendapat floor. Pangkalnya adalah klarifikasi dr. Oei Hong Djien dan ujungnya perdebatan tentang apakah lukisan-lukisan koleksinya pada peresmian Third Wing Museum OHD, palsu atau tidak. Namun saya bisa memaklumi perkembangan diskusi ini karena pembicaraan (perdebatan) ini yang ditunggu dan diharapkan publik pengunjung diskusi.
Mengkaji kontroversi Museum OHD
Namun Sarasvati Art Management, penyelenggara round table discussion itu tidak berhenti pada diskusi 24 Mei 2012. Penurunan proceeding diskusi yang tersusun dengan cermat di www.svastisarasvati.com ternyata bisa mengundang kelanjutan diskusi ini. Di sini muncul pandangan-pandangan Renate Kant dan Helena Spanjaard yang membawa saya kembali ke ke round table discussion yang saya bayangkan, dan tidak terjadi.
Peluang itu sudah saya lihat pada tulisan Helena Spanjaard yang mengangkat persoalan infrastruktur seni rupa dan sejarah seni rupa Indonesia, yang menarik minat saya dan memang saya kembangkan pada tulisan ini. Namun saya merasa tulisan Helena belum memancing polemik karena ia mengemukakan persoalan infrastruktur seni rupa yang sudah sering sekali kita bicarakan. Di samping itu saya tidak bisa menemukan sikap Helena sebagai art historian ketika menghubungkan kedua persoalan ini dengan kontroversi yang muncul pada peresmian 3rd Wing Museum OHD (selanjutnya saya sebut kontroversi Museum OHD).
Tulisan Renate Kant dengan sangat bermakna melengkapi tulisan Helena Spanjaard. Tulisan ini membuka kemungkinan mendiskusikan infrastruktur seni rupa, sejarah seni rupa, dan, kedudukan museum pada infrastruktur ini karena memasuki berbagai rinci. Selain itu uraian Renate Kant tentang restorasi lukisan di Indonesia bisa menghubungkan persoalan infrastruktur seni rupa dengan kontroversi Museum OHD. Lukisan-lukisan yang menimbulkan kontroversi ini, diakui dr. Oei, adalah lukisan-lukisan yang menjalani restorasi (di Singapura). Pandangan-pandangan Renate membawa saya ke tulisan ini.
Dalam tulisannya Renate melihat restorasi lukisan di Indonesia hanya mengandalkan mata dan tidak menyadari pentingnya pengetahuan tentang misalnya, authenticity kerusakan (kerusakan yang tidak boleh disembunyikan), tanda-tanda bahasa lukisan yang direstorasi, kaitannya dengan perkembangan seni rupa, dan, paham/ideologi pelukisnya. Karena itu Renate mengemukakan sebenarnya tidak sulit bagi ahli restorasi yang berpengetahuan atau art historian untuk menemukan kejanggalan pada hasil restorasi seperti ini.
Baik Renate Kant maupun Helena Spanjaard berpendapat gejala restorasi seperti itu terjadi karena restorasi di Indonesia lebih banyak merupakan persoalan art market. Seperti kita ketahui, di lingkungan art market pengetahuan mendalam tentang lukisan yang dibeli tidak penting. Pada tulisannya Renate menguraikan pengalamannya mengamati lukisan-lukisan yang menjalani restorasi di art market di Indonesia. Ia menemukan antara lain gejala beautification pada proses restorasi yang bertujuan membuat lukisan-lukisan yang direstorasi menjadi lebih menarik untuk dibeli.
Sebagai ahli restoratsi profesional Renate kaget. Ia menulis, “My heart has been bleeding over the years due to the further loss of material to study and the irreversible material destruction of paintings throughout the country.” Restorasi seperti ini bisa dengan segera menghilangkan authenticity sesuatu lukisan bersejarah dan menghancurkan nilai-nilainya. Lukisan seperti ini sebenarnya sudah tidak layak lagi dikoleksi.
Lukisan-lukisan yang menimbulkan kontroversi Museum OHD tidak bisa menghindar dari gejala restorasi seperti itu. Sangat mungkin lukisan-lukisan ini menjalani proses restorasi yang tidak peduli pada pengetahuan latar belakang yang sudah saya sebutkan. Gejalanya kebetulan cukup jelas. Dengan hanya melihat reprodukisnya pada katalog pameran, sejumlah lukisan Soedjojono dan Soedibio, dalam pengamatan saya sudah tidak layak [lagi] dibahas sebagai lukisan Soedjojono atau Soedibio, apalagi diteliti lebih jauh untuk menemukan apakah historically significant.
Mestinya Helena Spanjaard yang cukup mengenal tanda-tanda bahasa pada lukisan-lukisan Soedjojono (paling tidak) bisa melihat gejala itu. Karena itu saya bertanya-tanya mengapa ia dalam tulisannya, menunda penilaian dan menunggu sampai “infrastruktur seni rupa Indonesia”—yang dinilainya rapuh— membuktikan dulu [melalui penelitian] apakah lukisan-lukisan ini palsu. Saya sungguh-sungguh tidak melihat relevansinya. Bagi saya sudah tidak penting lagi apakah lukisan-lukisan ini palsu atau tidak; apakah lukisan-lukisan yang menjalani restorasi ini tadinya lukisan palsu atau bukan.
Namun persoalan itu seyogianya tetap dilihat sebagai persoalan museum bukan sebagai persoalan lukisan palsu. Awalnya harus dilihat sebagai upaya Museum OHD menegaskan perannya pada perkembangan seni rupa Indonesia. Persoalan dibalik upaya yang kebetulan mengalami “kecelakaan” ini tetap berkaitan dengan percaturan nilai-nilai yang standar-standarnya terletak pada mekanisme infrastruktur seni rupa. Dalam hal ini masalah authenticity yang berdampak pada pembacaan nilai-nilai.
Tidak banyak museum di Indonesia yang representatif untuk dikaitkan dengan persoalan infrastruktur seni rupa. Dalam pengamatan saya: Galeri Nasional di Jakarta, Museum Seni Rupa dan Keramik di kota-tua Jakarta, Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (di mana terdapat koleksi Dewan Kesenian Jakarta), dan, Museum OHD (satu-satunya private museum pada deretan ini).
Koleksi museum-museum itu diketahui publik karena bisa diakses atau karena sudah dimunculkan melalui publikasi. Karena itu persoalan yang timbul pada museum-museum ini menjadi persoalan publik (masyarakat). Namun keterlibatan masyarakat ini harus memperhitungkan perbedaan private museum dengan public museum yang dibiayai masyarakat. Karena itu gagasan membuat petisi yang pernah muncul pada kontroversi Museum OHD terasa janggal.
Namun persoalan museum itu yang tidak muncul. Seperti kita ketahui kontroversi Museum OHD sepenuhnya berkembang menjadi hingar-bingar lukisan palsu yang lebih layak dilihat sebagai persoalan ekonomi & bisnis atau kriminalitas daripada persoalan seni rupa. Dalam pengamatan saya, isu-isu yang muncul pada kontroversi ini tidak menyodorkan apa-apa pada perkembangan seni rupa kita, bahkan cenderung kontra-produktif.
Isu terburuk adalah beredarnya omong-kosong yang menyebutkan bahwa 60 % koleksi Museum OHD adalah lukisan palsu (dari mana angka ini ?). Saya pernah mengunjungi museum OHD dan menyaksikan banyak karya pada museum ini layak dikaji apakah historically significant. Pada kunjungan ini saya kemukakan kepada dr. Oei bahwa lukisan Soedjojono Memperhatikan Suatu Poster (1956)—ikut dipamerkan pada peresmian 3rd Wing Museum OHD—dalam pengamatan saya karya bersejarah yang langka walau belum selesai dan tidak bertanda-tangan. Lukisan ini kaya dengan bahan pembacaan sejarah.
Namun terjadinya pembelokan itu bisa dimaklumi. Pangkalnya adalah restorasi lukisan di Indonesia yang tidak didasarkan etika restorasi membuat batas di antara restorasi lukisan dengan pemalsuan lukisan menjadi tipis. Tulisan Helena Spanjaard dan Renate Kant bisa menerobos lingkaran persoalan itu. Kendati tidak bisa menghindar dari isu lukisan palsu yang beredar, tulisan-tulisan mereka tidak terperangkap pada persoalan ini. Baik Helena mau pun Renate melihat kontroversi Museum OHD berpangkal pada rapuhnya infrastruktur seni rupa di Indonesia.
Saya perlu mencatat secara khusus pandangan Helena Spanjaard yang melihat kerapuhan infrastruktur itu bukan cuma persoalan kita “ke dalam” (masalah restorasi karya bersejarah, standar-standar, policy museum, percaturan nilai-nilai). Kerapuhan ini punya dampak “ke luar.” Tanpa infrastruktur ini, Helena khawatir seni rupa Indonesia akan menjadi “misteri” khususnya di forum dunia.
Tulisan saya selanjutnya menanggapi pandangan-pandangan Helena dan Renate yang berkaitan dengan persoalan infrastruktur seni rupa. Saya tidak berhenti pada, “kita perlu menegakkan infrastruktur seni rupa !” Saya cenderung mendiskusikan pandangan-pandangan Helena dan Renate dengan lebih jauh menyuruk ke persoalan-persoalan; Apa sebenarnya infrastrukur dan sejarah seni rupa dan apa dasar-dasar keduanya yang perlu kita pikirkan. Mengapa sampai kini sejarah seni rupa kita sulit dituliskan dan bagaimana kedudukan sejarah seni rupa pada perkembangan pemikiran sekarang ini.
Infrastruktur seni rupa, sejarah seni rupa
Baik Helena maupun Renate melihat sejarah seni rupa dan museum adalah pilar-pilar infrastruktur seni rupa. Di sini sejarah seni rupa dan museum adalah institusi yang menentukan nilai-nilai bersejarah pada karya-karya seni rupa. Pada mulanya melalui penulisan sejarah seni rupa yang melakukan seleksi melalui kanon-kanon sejarah seni rupa (standar-standar untuk menentukan apakah sesuatu karya historically significant). Museum adalah sarana di mana karya-karya bersejarah disimpan. Karena museum terbuka untuk umum masyarakat bisa melihat (mengapresiasi) karya-karya besar yang dihimpun sejarah seni rupa.
Harus saya akui kepercyaan pada infrastruktur semacam itu masih luas diyakini sampai kini. Khususnya di Eropa dan Amerika di masa infrastruktur seperti ini sudah menjadi kukuh dan nyaris tidak bisa digoyahkan. Namun harus saya kemukakan juga bahwa kepercayaan ini sudah santer dikritik pemikiran baru sejak 1980an. Berkaitan dengan perkembangan seni rupa dunia, pemikiran kritis ini mempertanyakan pula, apakah infrastruktur seni rupa dengan model yang berkembang di Eropa, Amerika Serikat bisa (masuk akal) diterapkan di luar Eropa, Amerika Serikat ?
Dalam pergolakan pemikiran itu muncul persoalan apakah hanya ada satu sejarah seni rupa dunia, bagaimana mengintegrasikan catatan perkembangan di berbagai bagian dunia ke sejarah seni rupa dunia, benarkah kanon-kanon sejarah seni rupa (muncul pada perkembangan seni rupa di Eropa dan Amerika Serikat) bisa diterapkan pada penulisan sejarah seni rupa di kawasan lain ?
Karena itu, persoalan tidak adanya sejarah seni rupa Indonesia yang dikeluhakan Helena dan Renate tidak spesifik Indonesia. Tidak ada juga sejarah seni rupa Singapura, sejarah seni rupa Malaysia, sejarah seni rupa China atau Korea, misalnya. Kendati ada banyak publikasi yang menguraikan sesuatu perkembangan seni rupa di luar Eropa, Amerika Serikat, tidak ada dari penulisan yang sesungguhnya bisa disebut sebagai “art history”.
Helena Spanjaard menyebutkan dalam tulisannya bahwa pendidikan sejarawan seni rupa muncul di perguruan tinggi Eropa pada Abad ke 19. Memang ini awalnya sejarah seni rupa dikaitkan dengan kajian empirik dan dikukuhkan sebagai disilpin ilmu. Namun tanda Abad ke 19 ini sama sekali bukan awal teori sejarah seni rupa. Pemikiran tentang sejarah seni rupa lahir pada 1550 di perguruan seni rupa di Florence, Italia melalui pemikiran Giorgio Vasari— beberapa saat setelah Leonardo da Vinci meninggal, sementara Michaelangelo masih aktif.
Sejarah seni rupa itu muncul sebagai bagian dari kajian koleksi para bangsawan dan saudagar kaya di Italia pada Abad ke 16. Namun jangan mengira bahwa mereka ini adalah kolektor-kolektor pertama di dunia dan mereka hanya mengoleksi karya-karya Abad ke 16. Tradisi mengoleksi karya seni [rupa] sudah muncul di kalangan Senator, Konsul , Quaestor dan kalangan kaya pada zaman (Republik) Romawi sejak kurang lebih 50 SM. Pada Abad ke 16, koleksi ini—yang survived—dikuasai saudagar-saudagar kaya Eropa (khususnya Italia) yang dikenal sebagai kolektor dan patron kegiatan seni rupa.
Justru himpunan koleksi selama 16 abad itu yang memunculkan gagasan tentang sejarah seni rupa. Setelah mengkaji koleksi ini Giorgio Vasari membangun kesimpulan bahwa perkembangan seni rupa Abad ke 16 (High Renaissance) merupakan puncak kematangan perkembangan seni rupa sejak Zaman Romawi yang dipengaruhi kebudayaan Yunani (sekitar tahun 1 Masehi). Pada Abad Tengah (Zaman Gothik, sekitar tahun 10 Masehi), perkembangan seni rupa ini mengalami kemerosotan.
Dalam pemikiran tentang sejarah seni rupa itu GiorgioVasari membuat periodisasi yang berhubungan secara linier dan menunjukkan perkembangan. Inilah kanon pertama penulisan sejarah seni rupa yang masih berpengaruh sampai sekarang (sesuatu karya ditetapkan historically significant bila berada pada perkembangan linier dan bisa menunjukkan kemajuan) —Vasari menurunkan beberapa kanon. Sesudah Vasari pemikiran tentang art history berlanjut dan memunculkan banyak kanon-kanon sejarah seni rupa yang tidak selalu sejalan dan sepaham. Dari percaturan pemikiran tentang kanon-kanon ini lahir berbagai model penulisan sejarah seni rupa di Eropa dan Amerika Serikat.
Uraian tentang awal teori sejarah seni rupa itu menunjukkan disiplin art history berkaitan dengan koleksi museum yang dihimpun selama 20 abad . Uraian Renate Kant tentang perkembangan teknologi konservasi dan restorasi berkaitan dengan koleksi masif 20 abad itu. Mudah dipahami teknologi konservasi dan restorasi ini—yang telah berkembang menjadi sangat canggih—diperlukan untuk memelihara, mengorganisasikan, mendata, dan meneliti koleksi yang dihimpun selama 20 abad. Tanpa teknologi konservasi dan restorasi canggih koleksi ini akan menghadapi khaos dan bahkan kehancuran. Namun teknologi itu bukan cuma perangkat teknis yang diperlukan untuk penelitian sejarah seni rupa.
Saya tidak tahu persis apa yang dimaksudkan Renate dengan technical art history (pada judul tulisannya) karena tidak diuraikan. Namun dalam pemahaman saya berdasarkan pengetahuan sejarah seni rupa, saya melihat technical art history (mempertahankan istilah yang digunakan Renate) sebagai pengetahuan yang terintegrasi ke art history. Pada pengetahuan ini bisa ditemukan berbagai tanda-tanda rumit pada karya-karya seni yang menunjuk rinci-rinci art history. Misalnya pengetahuan tentang pentingnya warna abu-abu pada lukisan [realistik] Naturalisme Inggris dalam membedakan gambaran langit empat musim, dan, hilangnya warna abu-abu pada lukisan [realistik] Romantisisme untuk membangun suasana muram—keduanya berkembangan pada Abad ke 19.
Sampai awal Abad ke 20 (perkembangan seni rupa modern) koleksi yang dihimpun selama 20 Abad itu didominasi lukisan. Ada juga patung dan prints (muncul pada perkembangan High Renaissance di Utara, Abad ke 17) namun dalam jumlah jauh lebih sedikit. Ini sebabnya mengapa technical art history sebagai pengetahuan nyaris identik dengan pengetahuan tentang seni lukis (tersirat juga pada tulisan Renate).
Kenyataan itu membuat lukisan menjadi utama pada teori sejarah seni rupa. Lukisan-lukisan diyakini sebagai artefak sejarah yang amung (satu-satunya), tidak bisa diulang atau diperbanyak, dan, merupakan benda auhthentic yang bisa menunjukkan ruang dan waktu yang spesifik (spatiotemporally objects). Karena itu authenticity lukisan-lukisan bersejarah “dijaga ketat” dan inilah dasar perkembangan teknologi konservasi dan restorasi.
Kejanggalan seni rupa dunia (baca: world art)
Dari genealogi infrastrutur seni rupa di Eropa, Amerika Serikat di atas bisa kita lihat bahwa pada awalnya adalah koleksi karya-karya sen rupa. Dari sini muncul museum, sejarah seni rupa, dan infrastruktur seni rupa. Karena itu model infrastruktur yang berkembang di Eropa, Amerika Serikat tidak bisa dilepaskan dari koleksi yang dihimpun selama 20 abad. Kini koleksi ini tersebar di museum-museum di Eropa, dan museum-museum di Amerika Serikat dalam jumlah lebih sedikit.
Di luar Eropa dan Amerika Serikat tidak ada representasi koleksi yang terhimpun selama 20 Abad itu. Kenyataan ini membuat sejarah seni rupa (sebagai disiplin ilmu) yang dipelajari di luar Eropa, Amerika Serikat kehilangan aktualitas. Pengenalannya terbatas pada pemahaman teoretis berdasarkan buku-buku dan bukan dari pertemuan aktual dengan karya-karya asli di museum. Dengan cara ini mustahil sejarah seni rupa bisa sesungguhnya dipahami. Pertanyaannya (teoretis) apakah pemahaman sejarah seni rupa seperti ini bisa digunakan sebagai basis infrastruktur seni rupa ?
Namun museum-museum dibangun juga di luar Eropa, Amerika Serikat (di Jepang pertumbuhannya pernah mencapai 200 dalam setahun). Masuk akal bila museum-museum ini mengoleksi karya-karya lokal yang menunjukkan perkembangan seni rupa lokal. Di samping ada juga upaya mengakuisisi karya-karya bersejarah pada perkembangan seni rupa di Eropa, Amerika Serikat melalui balai-balai lelang—dilakukan sejumlah private museum di Jepang dan Korea.
Gejala pada museum-museum lokal itu kembali memunculkan masalah. Nama perupa-perupa penting yang karya-karyanya masuk museum-museum lokal tidak ada pada sejarah seni rupa dunia. Kita boleh menganggap Soedjojono, Affandi, Hendra Gunawan seniman-seniman penting, namun kita harus menghadapi kenyataan bahwa nama-nama mereka tidak dikenal pada perkembangan seni rupa dunia. Di sini kita menghadapi kejanggalan kanon-kanon sejarah seni rupa yang diyakini berlaku bagi penulisan seni rupa di seluruh dunia.
Penulisan sejarah seni rupa sejak Giorgio Vasari sampai Edward Lucie-Smith, menerapkan kanon yang sudah saya sebutkan di atas (sesuatu karya ditetapkan historically significant bila berada pada perkembangan linier dan bisa menunjukkan kemajuan). Dalam praktek diterapkan dengan cara mengamati “pengaruh”, atau, “penentangan” pada perkembangan linier (post hoc, ergo propter hoc). Kanon yang dimunculkan Giorgio Vasari pada 1550 ini tidak cuma mendasari sejarah seni rupa. Kanon ini mempengaruhi juga perkembangan seni rupa. Karena itu hampir semua perupa penting pada perkembangan seni rupa di Eropa, Amerika Serikat (sampai perkembangan seni rupa modern, 1960) tercatat “menaiki punggung” pendahulunya. Sinkronisasi ini membuat penulisan sejarah seni rupa (di Eropa, Amerika Serikat) menjadi lebih mudah.
“Tradisi naik punggung” itu sulit ditemukan di luar Eropa, Amerika Serikat, bisa terlihat , misalnya pada perkembangan seni rupa di Indonesia. Gejala melukis secara ekspresionistis pada perkembangan seni rupa Indonesia tidak bisa dilihat sebagai “ekspresionisme” yang menentang kecenderungan sebelumnya dan ditentang perkembangan selanjutnya. Kecenderungan ini harus dilihat sebagai genre yaitu kecenderungan yang tidak pernah hilang sejak dulu (awal abad ke 20) sampai sekarang (perkembangan seni rupa kontemporer).
Sama halnya dengan melukis secara realistik yang dari dulu sampai sekarang bertumpu pada kepekaan perseptif (tendensi melihat realitas dari sisi material secara lengkap). Para pelukis realistik kita tidak mengenal perkembangan (linier) seni lukis realistik selama tiga abad (dari High Renaissance pada abad ke-16 sampai Realisme Gustav Courbet pada Abad ke-19) yang direkam art history dan berbagai rincinya yang rumit bisa ditemukan pada technical art history. Catatan: Raden Saleh harus dikecualikan dalam hal ini.
Kenyataan itu menunjukkan mengapa sejarah seni rupa Indonesia tidak bisa dituliskan berdasarkan kanon-kanon pada disiplin art history, dan, mengapa perkembangan seni rupa di Indonesia sulit dipahami art historian di forum dunia. Helena Spanjaard tahu betul persoalan ini. Di Belanda ia harus menjalani proses sulit untuk mendapat persetujuan menulis thesis doktoral yang mengkaji perkembangan seni rupa Indonesia berdasarkan disiplin art history. Para peneliti sebelum Helena menulis thesis doktoral tentang seni rupa Indonesia berdasarkan pendekatan antropologis.
Tidak adanya kesepakatan pemahaman tentang sejarah seni rupa seperti terlihat pada contoh-contoh di atas menunjukkan kejanggalan seni rupa dunia. Sepanjang pengetahuan saya tidak ada publikasi yang mengkaji sudah berapa lama kejanggalan ini membayangi pengertian “world art” dan menggantung sebagai persoalan tidak selesai. Kejanggalan ini mulai menampilkan tanda-tandanya ketika modernism meng-claim museum dan sejarah seni rupa sebagai dasar perkembangan seni rupa dunia pada dekade 1960. Masih diperlukan dua dekade sebelum kejanggalan ini disadari.
Ketika pemikiran post-modern mengeritik claim modernisme itu pada dekade 1980 baru muncul kesadaran bahwa museum, sejarah seni rupa, dan infrastruktur yang diyakini modernisme berkaitan hanya dengan perkembangan seni rupa di Eropa, Amerika Serikat. Pada kritisisme ini, koleksi 20 Abad yang saya uraikan di atas, disoroti dengan tajam.
Dalam tulisannya “Re: Post”, Hal Foster menyebut koleksi itu sebagai koleksi para bangsawan Eropa yang mencerminkan cita rasa mereka. Karena itu Hal Foster sangsi apakah art history—yang lahir dari koleksi ini—sesungguhnya mencerminkan perkembangan masyarakat. Bertumpu pada pemikiran seperti ini, pada tulisan “Re: Post” Hal Foster menyatakan bahwa museum (di Eropa, Amerika Serikat) dan art history sama sekali bukan basis perkembangan seni rupa dunia (Art After Modernism, Rethinking Representation, 1984).
Ketika koleksi 20 Abad itu dikritik, kenyataan dominannya lukisan pada koleksi ini, kena bidas. Di sini technical art history yang rumit dilihat sebagai ilmu spesifik seni lukis yang belum tentu ada kaitannya dengan nilai-nilai masyarakat. “Great works” yang dirayakan pengetahuan ini cuma “art-historically” significant dan bukan historically significant atau culturally significant. Kritisisme ini mempengaruhi pemahaman sejarah seni rupa selanjutnya, bahkan dirasakan pada pengajaran art history. Gejala ini bisa ditemukan pada tulisan Renate Kant yang tampil sebagai keluhan, “[…] as we know from Europe and USA since the ‘80’s, there has been no lesson in learning the language to discuss a painting’s state and condition by collecting evidence in a comprehensive manner.”
Kritisisme itu pula yang mendasari gejala meninggalkan seni lukis pada perkembangan seni rupa kontemporer. Dasarnya adalah analisis yang melihat pelukis (harus dilihat khusus pada perkembangan seni rupa di Eropa, Amerika Serikat) tidak lagi menampilkan ungkapan. Kekayaan wacana seni lukis membuat mereka hanya mengutak-atik idiom-idiom yang ditemukan art historian dan menampilkannya sebagai ungkapan. Dalam tulisan bertajuk, “Presence” Jean François Lyotard mengemukakan, “The art of presence is dying. The art of deferring presence is growing. If painting were really in search of presence above everything else, it would be on its deathbed.” (The Langguage of Art History, 1991).
(Infrastruktur, museum, sejarah) seni rupa Indonesia
Kejanggalan seni rupa dunia dan perubahan-perubahan pada perkembangan seni rupa dunia yang saya kemukakan di atas, selayaknya menjadi pertimbangan kita untuk membayangkan infrastruktur seni rupa di tanah air, di mana terlibat persoalan museum dan penulisan sejarah seni rupa. Kita tidak bisa lagi berhenti pada pemahaman tentang infrastruktur seni rupa di mana sejarah seni rupa dan museum diyakini sebagai pilar-pilarnya. Kita perlu menimbang berbagai perubahan persepsi dan pemahaman tentang art dan art making pada perkembangan seni rupa dunia. Beberapa di antaranya perlu dikaji.
Kritik pada esoterisme yang membayangi perkembangan seni rupa sampai dekade 1970,
memunculkan kepercayaan pada kontekstualisme yang menghubungkan ungkapan pada karya seni rupa dengan perkembangan masyarakat. Kecenderungan ini ternyata sudah sulit ditemukan pada perkembangan seni rupa di Eropa, Amerika Serikat. Namun kepercayaan ini yang justru memunculkan sejumlah perupa kita di forum seni rupa kontemporer dunia pada dekade 1990 karena karya-karya mereka political. Karya-karya ini dibaca sebagai karya-karya kontekstual.
Paralel dengan munculnya kepercayaan itu muncul juga kepercayaan bahwa art-making muncul dari komunikasi perupa dengan publiknya dan karena itu bertumpu pada kebudayaan. Pada kepercayaan ini (dikenal sebagai institutional theory of art) muncul istilah “dunia seni rupa” (artworld) yang membawa tanda-tanda perubahan pada pemaham infrastruktur seni rupa.
Teori itu melihat infrastruktur alam pemahaman modernisme memunculkan otoritas yang menentukan nilai-nilai seni rupa dan nilai-nilai masyarakat [modern]. Otoritas ini (dijuluki modernism as institution) bahkan mencoba mengendalikan perkembangan seni rupa [dunia]. Masyarakat [dunia] pada infrastruktur seperti ini adalah kelompok pasif yang harus “mengapresiasi” fatwa-fatwa otoritas (apresiasi: meningkatkan diri untuk bisa memahami fatwa-fatwa). Pada pengertian “dunia seni rupa” posisi masyarakat ini diubah.
Masyarakat dalam “dunia seni rupa” tidak lagi berada pada posisi pasif yang harus mengapresiasi nilai-nilai yang ditentukan otoritas. Masayarakat menjadi kelompok aktif. Melalui komunikasi perupa-publik masyarakat ikut menentukan nilai-nilai, yang dalam hal ini adalah nilai-nilai budaya. Budaya di sini (pandangan baru) adalah a set of practices yang memunculkan percaturan makna dan nilai-nilai; terjadi karena kesamaan persepsi, kesamaan pemahaman dan kesamaan intuisi. Bukan lagi a set of things (kepercayaan lama) yaitu atefak-artefak yang menunjukkan puncak-puncak kebudayaan.
Perubahan persepsi tentang infrastruktur itu memunculkan museum-museum dengan konsep baru. Museum-museum ini mengutamakan program daripada koleksi dan melalui program ini mencoba menjalankan fungsi mediasi di antara perupa dan publik dalam penentuan nilai-nilai (berbagai keutamaan pada masyarakat). Perubahan persepsi ini membangkitkan pula penentangan otoritas “dari dalam”. Pada akhir dekade 1980 sejumlah kurator museum di Amerika Serikat keluar dan meninggalkan pekerjaan mereka di museum-museum. Mereka kemudian menyebut diri independent curators.
Perubahan lain yang perlu kita amati dengan cermat adalah gejala mengganti istilah “world art” dengan istilah “global art.” Pada dekade 1980-1990 penggunaan istilah “global art” dekat dengan slogan “global-local “ yang menunjukkan munculnya kesadaran tentang adanya perbedaan di tengah penyeragaman dunia (discourse of difference).
Penggunaan istilah “global art” menemukan dasarnya setelah globalisasi terjadi (muncul sesudah Perang Dingin berakhir pada1989). Reposisi kekuatan-kekuatan ekonomi dunia yang terjadi bersama globalisasi membuat arus informasi tentang segala hal datang dari segala arah menuju segala arah. Arus infrormasi ini membuat penggunaan istilah “global art” menemukan kenyataan-kenyataan (di luar Eropa, Amerika Serikat) yang dulu diabaikan pada pembentukan konsep “world art”. Di sini penggantian istilah “world art” dengan istilah “global art” menemukan alasannya yang mendasar.
Ketika upaya memahami fenomena global art muncul sekitar 2005 persoalan itu terangkat ke tingkat pemikiran. Tidak ada sama sekali tendensi pada upaya ini melihat global art sebagai re-definisi world art di dunia pemikiran. Upaya memahami fenomena global art yang diprakarsai sejumlah sejarawan seni rupa ini, mencoba menghimpun data (kenyataan, fenomena, persoalan) di sekitar global art sebagai gejala. Menghadap masalah perbedaan-perbedaan, upaya ini cenderung melibatkan pemikiran di kawasan yang dulu diabaikan dalam pengkonsepan world art untuk menjelaskan sendiri kenyataan yang sejak lama tidak dipahami di Eropa, Amerika Serikat.
Pada upaya memahami fenomena global art itu, sejarah seni rupa memunculkan pemikiran baru—mungkin sekali menjadi paradigma sejarah seni rupa di masa mendatang. Awalnya adalah perjalanan keliling sejarawan seni rupa James Elkins ke berbagai bagian dunia di mana ia menemukan, bahwa sejarah seni rupa ternyata dikenal di seluruh dunia. Namun ia menemukan, sejarah seni rupa dipahami, diterapkan dan diajarkan secara berbeda. Bila dikembalikan ke persoalan sejarah seni rupa yang sudah kita bahas di atas, gejala ini menunjukkan kepercayaan pada art history sebagai disiplin ilmu, namun sekaligus keraguan bahwa disiplin ilmu ini bisa diterapkan tanpa modifikasi.
Menghadapi kenyataan itu James Elkins (teoretis) menggugurkan kepercayaan yang menggantung sejak lama karena mengandung berbagai kejanggalan: hanya ada satu sejarah seni rupa untuk merekam seluruh perkembangan seni rupa dunia. Sebagai gantinya—inilah pemikiran baru sejarah seni rupa—ia melihat kemungkinan sejarah seni rupa menjadi global dicipline atau global enterprise untuk menemukan sejarah seni rupa yang berbeda-beda (baca: sejarah seni rupa lokal). Tentang ini James Elkins menulis, “[….]art history would not be global because it would be several enterprises that happen to share a name—either that the current diffusion of Western models of art history would be weakening and melting into many local practices.” (Is Art History Global ? 2007).
Saya tidak tahu apakah Helena Spanjaard dan Renate Kant memperhitungkan berbagai perubahan yang saya uraikan di atas. Namun tulisan-tulisan mereka tetap relevan untuk kita persoalkan. Pandangan mereka yang sepenuhnya benar : seni rupa yang kita persoalkan—yang karya-karyanya dikoleksi, yang infrastrukturnya kita persoalkan, yang memunculkan kontroversi Museum OHD—adalah bagian dari seni rupa dunia. Seni rupa yang muncul pada awal Abad ke-20 “melalui Soedjojono” ini, tidak bisa dilepaskan dari tradisi art-making.
Persoalan yang perlu kita sadari adalah, sebagai bagian seni rupa dunia, seni rupa kita pernah diabaikan di masa lalu. Tidak diperhitungkan dan tidak dipahami sehingga terkesan bukan bagian perkembangan seni rupa dunia, atau, bagian seni rupa dunia yang misterius. Sekarang persoalan ini relatif sudah selesai. Pemikiran tentang seni rupa dunia sudah berubah walau mungkin tidak segera tercermin pada kenyataan. Dilihat dari pemikiran baru ini perkembangan seni rupa kita Ok.
Soal infrastruktur, secara kebetulan infrastruktur seni rupa kita sudah mengutamakan program. Karena itu infrastruktur ini tidak bisa mengabaikan galeri-galeri, yang dalam kenyataan menjadi penyelenggara utama pameran-pameran. Pengantar kuratorial yang ditampilkan pada katolog-katalog pameran (banyak di antaranya sudah menyerupai buku) mengambil peran mediasi seniman-publik. Dampak mekanisme infrastruktur ini sudah bisa dicatat. Sepengetahuan saya sudah ada kelompok kolektor yang mulai menghimpun pengetahuan seni rupa untuk membahas karya-karya melalui diskusi maupun jaringan media sosial. Gejala bergesernya topik pembicaraan di kalangan kolektor ini (biasanya kolektor hanya mempersoalkan isu art market) merupakan tanda-tanda awal percaturan nilai-nilai. Kolektor dalam kelompok ini selayaknya diamati sebagai artworld public.
Bahkan Galeri Nasional, Jakarta lebih menonjolkan program pameran, sementara koleksinya masih terbatas untuk dinilai karena tidak ada alokasi dana untuk mengakuisisi karya-karya, dan, belum ada sama sekali kesadaran pada pemerintah tentang perlunya membentuk state collection (koleksi negara) di Galeri Nasional. Akhir tahun lalu Mon Décor Gallery, Jakarta mengembangkan diri dengan meresmikan Art: 1 New Museum (museum tanpa koleksi). Orientasinya, program pameran perupa-perupa yang sudah disepakati menandai perkembangan seni rupa Indonesia. Kalau saya tidak salah menafsirkan perbincangan saya dengan dr. Oei dua tahun lalu, pembangunan Third Wing Museum OHD di pusat kota Magelang dimaksudkan untuk menampilkan program pameran Museum OHD yang tidak ada sebelumnya.
Sekarang sudah tidak ada lagi keraguan untuk menuliskan sejarah seni rupa Indonesia. Sebagai local practice of art history (mengikuti istilah James Elkins) terbuka peluang untuk menentukan kanon-kanon (spesifik) untuki penulisan sejarah seni rupa ini. Sejak sekitar 10 tahun lalu, pengkajian sejarah seni rupa berdasarkan disiplin sejarah seni rupa “secara murni” sudah menyusut. Muncul kemudian kecenderungan mencampurkan disiplin art history dengan berbagai disiplin lain dan memunculkan interdisciplinary approach. Melalui pendakatan ini terbuka peluang bagi kita untuk menghubungkan penulisan sejarah seni rupa Indonesia dengan pemikiran-pemikiran dari berbagai disiplin lain. Kendati masih pada lingkaran yang terbatas, upaya menemukan canonic norms untuk penulisan sejarah seni rupa Indonesia, sudah dimulai.
Selaku penutup saya ingin menegaskan, tulisan saya yang kritis tidak berbeda secara diametral dengan tulisan-tulisan Helena Spanjaard dan Renate Kant. Sejak awal saya membuat tulisan ini, sejujurnya saya menghargai pandangan-pandangan mereka yang muncul dari niat baik dan kecintaan pada seni rupa Indonesia. Ada kesamaan pada pandangan-pandangan yang kendati berbeda posisi ini yaitu keinginan menekankan perlunya penggalian makna dan nilai-nilai pada karya-karya perupa Indonesia agar seni rupa Indonesia dipahami dan dihargai di forum dunia; Di forum diskusi di Indonesia yang masih didominasi isu pasar, membangkitkan kesadaran bahwa makna dan nilai-nilai ini yang mendasari nilai nominal karya-karya. Bukan sebaliknya.