Pameran karya Ar. Soedarto, "Gonjing Miring", di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta. (Foto: Trisna Wulandari)

 

Jika hidup berjalan jauh dari mimpi sejak kecil, agaknya selalu ada jalan untuk kembali. Setidaknya itu yang ditapaki Ar. Soedarto. Lulusan Akademi Seni Rupa Nasional, Jakarta pada 1976 ini sejak remaja tahu bahwa seni adalah bagian dirinya, meski memperoleh pendidikan gambar formal saat belajar di Sekolah Teknik, Semarang.  Lepas belajar seni lukis di kampusnya, ia pernah pula menjajal perkuliahan desain arsitektur, lalu malah berganti dan lulus dengan gelar sarjana hukum 2012 kemarin.

Dari latar pendidikan yang berganti-ganti disiplin itu, Darto menetapkan dirinya di perusahaan migas. Selama 25 tahun terakhir hingga akhirnya pensiun, ia menangani desain grafis dan audio visual motion media. Namun, di sela pekerjaannya, rupanya pria kelahiran Kudus, 24 Maret 1951 ini telah merampungkan sembilan pameran lukisan tunggalnya sejak 1999. Adapun pameran tunggal kesepuluhnya, baru-baru ini dihelat di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta.

Ialah “Gonjing Miring”, tajuk yang menyertai 26 lukisannya di Gedung B GNI pada 4-16 Februari 2017. Kata “gonjing miring”, menurut kurator Puguh Warudju, diartikan untuk mewakili suatu kondisi anomali, gejala-gejala penyimpangan, deskonstruktif, atau chaos.

Ruang pamer bersekat tiga itu membagi karya-karya berwarna gelap Darto di ruas depan, dan berangsur terang ke belakang. Di dua ruas depan, pengunjung bisa meraba latar belakang tekniknya lewat dekonstruksi kapal dan alat berat dalam lukisan abstraknya. Kehadiran wujud samar ini, menurut Darto, berangkat dari kebiasaan masa kecilnya yang senang mengamati barang-barang yang bisa dituangkan ke dalam karya.

 

Pameran karya Ar. Soedarto, "Gonjing Miring", di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta. (Foto: Trisna Wulandari)
Pameran karya Ar. Soedarto, “Gonjing Miring”, di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta. (Foto: Trisna Wulandari)

Simbol-simbol modern ini bertabrakan dengan karya-karya di ruas kedua dan ketiga ruangan yang bertabur aksara Hanacaraka. Di antara puluhan huruf acak, ia menyelipkan sejumlah kutipan dari suluk yang dibacanya di balik bentuk-bentuk segitiga yang merupa gunungan. Tabrakan simbol antarzaman ini, secara sederhana baginya menjadi pengingat untuk terus maju tanpa meninggalkan kebaikan yang diajarkan leluhur.

Soal keseimbangan ini pula yang dibawanya ke dalam sejumlah karya bergaris vertikal horizontal yang mengapit rupa gunung. Di bawah gunung kelam, tersebut, tampak titik-titik serupa piksel warna-warni yang diibaratkannya sebagai buih laut. Garis-garis, gunung, dan lautan itu, baginya sebagai wujud saling silang pembelajaran manusia, dari mengambil ilmu dari Yang di Atas, untuk dituangkan pada yang sejajar, dan sebaliknya.

Sematan unsur tipografi, cara membangun bidang-bidang, tata warna untuk mengasosiasikan keruangan, dan perhitungan hue dalam karya-karya Darto membuat pengunjung dapat membaca dirinya yang tidak hanya bergerak kembali ke seni, namun juga menyelami desain. Lewat lukisan-lukisan itu pulalah agaknya sang seniman berdamai dengan gonjang-ganjing lintas ilmu dalam dirinya.