Kata ini terdengar sepele: garis. Tapi nyatanya, pameran bertajuk “Invisible Force” mengangkat persoalan ini menjadi tema yang menarik.
Pameran yang berlangsung dari 13 Februari – 13 Maret 2016 di Langit Artspace ini menampilkan karya-karya seniman lintas generasi yang dianggap masih meyakini kekuatan garis, yaitu Bambang Heras, Bob “Sick” Yudhita Agung, Farhan Siki, Gusmen Heriadi, Hanafi, Iabadiou Piko, I Gusti Nengah Nurata, Ivan Sagita, Jeihan Sukmantoro, Lugas Syllabus, Nasirun, Oky Rey Montha, Ong Hariwahyu, Pande Ketut Taman, Sudarisman, S Teddy Dharmawan, Samuel Indratma, Sunardi ST, Toto Juharto, Ugo Untoro, Yunizar, Yustoni Valuntero.
Menurut A. Anzieb, kurator pameran, garis adalah hal penting dalam proses berkarya seorang seniman. “Menangkap objek ke imaji si seniman dan memindahkannya ke gambar secara spontan memberi ‘pengalaman’ yang berbeda, karena garis spontan ini memiliki dorongan emosi dan pikiran untuk si senimannya sendiri,” ujarnya.
Gagasan ini lahir dari amatan Anzieb atas seniman kontemporer yang dianggapnya semakin tidak mementingkan garis dan bergantung pada teknologi. Ia menceritakan perbandingan bagaimana dahulu seniman-seniman masih sering berkeliaran untuk membuat karya langsung di tempat objek berada. Sekarang, para seniman kerap hanya mendatangi tempat lalu merekamnya dengan foto. “Nggak apa-apa sih, tapi ada hal penting yang dilupakan. Garis spontan itu yang membuat karya jadi ada ruhnya.”
Tidak hanya pertimbangan generasi, seniman-seniman yang terlibat dalam pameran ini juga mengusung gaya yang berbeda-beda, dari yang realis sampai yang abstrak pun ada. Untuk hal ini, Anzieb menegaskan bahwa memang garis ada di dalam gaya apa pun. Garis dalam karya abstrak tentu berbeda dengan garis dalam karya realis. Namun, keduanya tetap tidak lepas dari garis itu sendiri. Pameran ini mencoba menunjukkan kekuatan garis yang sering terpendam itu.
Ulasan lengkap pameran ini ditulis oleh Bayu Whardana dan bisa dibaca di majalah Sarasvati edisi Februari 2016.