Menuju pengujung tahun, Dewan Kesenian Jakarta menghelat Pameran Besar Seni Lukis Jakarta 2015 dari 24 Oktober-13 November 2015. Diselenggarakan di Galeri Cipta II dan III Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pameran ini mengambil tema “Rendering Regime ” dengan menampilkan karya dari 30 seniman Jakarta dari beragam gaya dan usia, mulai dari Andrew Delano, Guntur Wibowo, Haris Purnomo, Hauritsa, Henry Foundation, Ipong Purnomo Sidhi, Jimi Multhazam, Kemalreza Gibran, KP Hardi Danuwijoyo, Monica Hapsari, hingga Tatang Ramadhan Bouqie.
Rendering regime sendiri, menurut Leonhard Bartolomeus—kurator pameran— dapat diartikan sebagai sebuah usaha manipulatif dari pihak yang berkuasa dengan cara memperindah dan mengaburkan segala hal melalui pendekatan visual. Karena itu menurutnya, tema ini hadir untuk merangkum pembacaan atas karya-karya seni lukis di Jakarta yang menjadi cerminan sikap dan pernyataan politis seniman terhadap kondisi lingkungan sosialnya.
Di satu sisi, tema tersebut mengupayakan’rendering‘ atau penciptaan visual, gagasan artistik, dan struktur yang dilakukan seniman. Sementara itu, istilah ‘regime‘ dapat dibaca sebagai aturan , sistem, atau kondisi yang muncul dalam proses penciptaan. “Melalui tema ini, kami mencoba melihat apa yang tengah dibicarakan seniman masa kini. Sementara itu dalam konteks kegiatan artistik, istilah ini dapat dimaknai sebagai upaya pelukis untuk menciptakan karya. Pelukis, sebagai pemegang kekuasaan, memiliki kemampuan untuk melakukan manipulasi atas bentuk, ruang, warna, dan garis,” kata Barto.
Adapun sifat lukisan sebagai alat komunikasi dan dokumentasi lahir dari kenyataan bahwa seni lukis seringkali menjadi media propaganda populer yang dipengaruhi banyak banyak hal; salah satunya politik di lingkungan sekitar. Lantas bagaimana sikap dan pernyataan politis para seniman tersebut dituangkan ke atas kanvas? Guntur Wibowo dengan karyanya, Mural, memilih untuk menampilkan kondisi politik dalam simbol-simbol fauna yang kerap dibahas dalam media massa, seperti cicak, buaya, tikus, harimau, dan beo.
Sementara itu , Reza Afisina dan Iswanto Hartono menyuarakan isu politis profesi seniman dengan karya berjudul Sementara Itu, Kemalasan Kami Berbuah Karya, Edisi Terbatas. Yang kemudian Kami Tawarkan dengan Harga Tertentu, Pas, Lumrah, Terjangkau, dan Lalu Berjabat tangan, Tanpa Perlu Tawar Menawar. Bagi Kami Tawar Menawar Harga Karya Dengan Seniman Adalah Sikap Yang Tidak Bonafide dengan demikian gamblang—dalam judul karya yang ditulis ulang di atas kanvas.
Namun, masih ada karya yang menangkap isu global seperti dalam With God On Our Side. Karya Jerry Thung ini mengomposisikan para pengungsi di atas kapal kayu yang sedang sandar di dermaga. Untuk Anda yang penasaran melihat bagaimana para seniman dari rentang umur dan jam terbang yang lebar menangkap dan merespons hal-hal politis dan menonjolkan sisi politik isu di sekitarnya di atas kanvas, mungkin pameran ini layak untuk Anda kunjungi.