Bayangkan bila para koruptor di Indonesia mengaku kalau dirinya korupsi. Sang anak dan istri mungkin akan panik karena memikirkan keruntuhan masa depan mereka pasca pengakuan tersebut. Atau, akan panik karena baru tahu bahwa selama ini dinafkahi dari hasil korupsi. Bisa jadi.
Di pentas teranyar Indonesia Kita, lakon “Koruptor Pamit Pensiun” menghadirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi bila seorang koruptor jujur mengakui sepak terjang busuknya.
Pengakuan sang koruptor itu dikuak di panggung Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki Jakarta, tanggal 20-21 Oktober 2017. Butet Kartaredjasa, yang melakoni sang koruptor, dengan tenang mengaku di depan anak, istri, TNI, penegak hukum, dan tim dokternya, bahwa dirinya selama ini adalah seorang koruptor. Lelah bersembunyi terus menerus, sementara prestasi korupsinya tak kunjung terendus masyarakat, Butet berniat pensiun dini sebagai koruptor.
Baca juga Membaca Refleksi Gayatri: Reinkarnasi di Era Indonesia Modern
Langkah Butet kontan membuat geger hadirin di pertemuan tersebut. Sang anak tak terima selama ini disenangkan dengan uang haram. Di sisi lain, sang istri lebih merisaukan kemungkinan suaminya masuk penjara. Sementara itu, para penegak hukum menjadi kebingungan, karena bila semua koruptor—sebagai penjahat kelas kakap—menjadi jujur dan dihukum semestinya, bisa-bisa terjadi kekosongan kekuasaan.
Kritik sosial dan politik bertaburan sejak babak pertama dimulai. Untuk memuluskan jalan pensiun Butet dengan tenang tanpa menikmati bui, muncul alternatif untuk bertukar identitas dengan seorang kawan lama. Dialah Cak Kartolo, maestro ludruk, didapuk memerankan tokoh seorang pelawak yang tengah menjalani masa pensiunnya di Panti Pensiunan. Tidak tanggung-tanggung, para aparat hukum langsung yang mendatanginya. Dengan segepok uang, mereka mengiming-imingi Cak Kartolo agar mau menjalani proses hukum dan dibui sebagai Butet.
Konflik batin “desakan keluarga” juga dimunculkan dalam babak tersebut. Iming-iming untuk membahagiakan keluarga dengan uang menjadi bayang-bayang yang mulai menguatkan keputusan sang teman untuk membantu Butet. Situasi terjepit ini membuat Cak Kartolo mulai tergoda untuk mengorbankan hari-hari tenang di panti pensiunan bersama teman main caturnya.
Sejumlah adegan “Koruptor Pamit Pensiun” juga mengisahkan bagaimana keterangan dokter jauh lebih berkuasa dari hukum di Indonesia. Kejahatan terstruktur ini disketsa dalam babak saat aparat yang mengantar Cak Kartolo ke dokter. Di sana, mereka berupaya memuluskan pemrosesan Kartolo ke pidana lewat surat keterangan sehat wal afiat yang dikeluarkan dokter.
Saat mereka datang, rumah sakit tampak amat sepi. Cak Lontong dan Akbar, yang memerankan dokter, tengah mengeluhkan pemasukan keduanya yang menipis, hingga harus berjualan pulsa elektrik dan telor asin sebagai penghasilan sampingan. Untuk memuluskan pertukaran posisi Butet dan Cak Kartolo, sang dokter rencananya akan dilibatkan untuk melakukan operasi tukar identitas dengan tindakan medis. Apakah ini yang dimaksud dengan sang koruptor dengan pamit pensiun?
Baca juga Toko Roti Retro Terus Dirindu
Seperti khas produksi Indonesia Kita, pentas kedua puluh enamnya ini membalurkan komedi yang kental di tiap babak. Tahun ini, kolaborasi dengan maestro ludruk Cak Kartolo dan kawan-kawan menggenapkan unsur komedi tersebut dengan gaya Suroboyoan, yang meski bertaburan bahasa Jawa di sana-sini, mampu memecah gelak penonton lewat logat dan gerak.
Motor komedi di lakon ini lengkap dengan kehadiran Cak Lontong, Akbar, Marwoto, dan Trio GAM, yang rutin mengulirkan tawa penonton di tiap pementasan Indonesia Kita. Tebalnya porsi humor di lakon “Koruptor Pamit Pensiun” hingga akhir pertunjukan mengisyaratkan ironi masa depan politik dan penegakan hukum di Indonesia.