Macbeth dan Ramalan yang Fana

Perempuan berbaju merah itu mendekap hati sapi sebesar bantal kursi. Perlahan ia mundur ke sisi belakang panggung, lalu diam di tempat. Rambutnya yang hitam berponi dipotong rapi hingga bawah telinga. Sosoknya sekilas mengingatkan penonton pada boneka kokeshi, yang dalam kebudayaan Jepang menjadi simbol penghargaan atas kematian. Kematian siapa yang akan kita saksikan di atas panggung?

Itulah yang disimpan seniman pertunjukan sekaligus koreografer Melati Suryodarmo hingga akhir pementasan Tomorrow As Purposed di pembukaan Indonesian Dance Festival, Teater Jakarta, 1 November 2016. Suasana mistis yang dibangun visual perempuan berbaju merah itu ditimpali dengan kehadiran sosok-sosok berkepala tertutup secarik kain dengan iringan musik yang membangkitkan bulu kuduk.

Sosok-sosok itu berperan sebagai penduduk kerajaan Skotlandia yang dipimpin Macbeth, yang kisahnya diolah Melati ke dalam pertunjukan kali ini. Macbeth, tokoh utama dalam naskah berjudul sama karya William Shakespeare, merupakan raja lalim yang memperoleh tahtanya dengan membunuh raja Duncan.

Dorongan untuk membunuh diperolehnya setelah mendengan nujuman tiga penyihir, yang meramalkan bahwa dirinya kelak akan menjadi raja dan tak akan bisa mati dengan cara apapun. Hubungan antara hasrat akan kuasa dan kekuatan supranatural ini yang tampaknya hendak dikemukakan Melati dalam pertunjukannya. Pilihan ini menjadi menarik bagi saya, mengingat kisah yang dituliskan Shakespeare di abad 17  rupanya masih relevan dengan kondisi politik Indonesia saat ini yang tak jauh dari praktik klenik dan supranatural.

Pergulatan Macbeth dan Banquo (kiri) saat hendak menghabisi Duncan (duduk di kursi). Sosok-sosok rakyat Skotlandia (duduk di sisi Duncan) diperankan paduan suara Voca Erudita dari Universitas Negeri Sebelas Maret, Surakarta.
Pergulatan Macbeth dan Banquo (kiri) saat hendak menghabisi Duncan (duduk di kursi). Sosok-sosok rakyat Skotlandia (duduk di sisi Duncan) diperankan paduan suara Voca Erudita dari Universitas Negeri Sebelas Maret, Surakarta.

Sosok-sosok bertudung kain itu semula bergerak acak ke penjuru panggung, hingga sesosok pria yang  menyeret kursi muncul di panggung dan menduduki kursinya. Ialah Raja Duncan, pria itu, yang hadir di panggung dengan kursi sebagai simbol kuasa. Orang-orang berkepala tertutup kain itu perlahan bergerak menuju Duncan, menyerahkan mangkuk tanah liat di tangan mereka, dan duduk bersimpuh di sisi sang raja. Adegan ini seolah menggambarkan besarnya kekuasaan sang pemimpin, di mana rakyatnya patuh menyerahkan harta dan setia menjadi pengikut di sampingnya, tanpa bisa melihat keadaan negara yang sesungguhnya.

Kondisi yang tenang di panggung perlahan terusik dengan hadirnya sosok Macbeth dan Banquo, rekannya sesama jenderal di kerajaan. Keduanya yang semula berjalan beriringan lalu bergelut hingga Banquo jatuh di kaki Macbeth yang takut rencana membunuh Duncan akan dibocorkan sang rekan. Lagi-lagi, rangkaian gerak ini seolah menyentil kondisi politik negara, di mana kawan menjadi lawan.

Kuasa rupanya begitu menggoda. mungkin itulah yang dirasakan Macbeth sebagai simbol para pemimpin hari ini. Dalam monolognya ia berujar, “Nujuman kepadaku adalah kutukan pisau bermata dua, yang sebelah memberi harapan, yang sebelah memberi kutukan. Biarlah semua nujuman terjadi, biarlah semua tamat pada akhirnya.” Demikianlah kuasa tampaknya menjadikan Macbeth merasa kepalang basah, hingga membiarkan diri tenggelam dalam kekuatan supranatural yang diyakininya.

Namun sejauh apa kekuatan supranatural mampu mengubah takdir sang pemimpin? Jawabannya dituangkan Melati dalam rupa dua kubu rakyat yang terbelah di atas panggung. Yang satu berdiri dengan kepala masih tertutup, melambangkan kesetiaannya mengikuti Macbeth, yang satu lagi bergerak perlahan melintasi panggung dengan menggenggam parang di tangan kanan, mengikuti langkah pria berrompi hitam. Ialah Malcolm, anak Duncan, yang menuntut balas atas kematian sang ayah.

Setelah rakyat pengikut Malcolm berlalu, sosok-sosok bertudung  kain yang diperankan paduan suara Voca Erudita dari Surakarta itu perlahan mulai menyanyikan kidung Gregorian. Nyanyian yang kerap mengiringi misa di abad ke-16 ini diusaikan mereka dengan memecah kedua mangkuk tanah liat di tangan mereka, seolah memvisualisaikan simbol kematian sang raja haus kuasa.

Pemilihan Macbeth sebagai metafora kondisi politik Indonesia menjadi media penggambaran sekaligus kritik pada kondisi Indonesia dengan cara yang indah. Meski seandainya penonton luput dengan sisipan pesan kritik ini, tetap ada sajian pertunjukan dengan olah gerak, musik, nyanyian, dan plot kisah Macbeth yang menyisakan kesan hingga usai pementasan.