Pementasan "Opera Kecoa" di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki, 10 – 20 November 2016. (Foto: Jacky Rachmansyah)

Teater Koma sukses memberi hiburan yang menggelitik, sekaligus renungan tentang memanusiakan para kecoa yang terpinggirkan.

Julini si Waria rela melakukan apa saja demi Roima, kekasih hatinya. Mereka berdua kembali ke Jakarta dengan harapan bisa hidup layak meski membanting tulang.Sayangnya geliat manja dan perhatian Julini ternyata tak cukup bagi Roima, yang masih mengharapkan cinta perempuan tulen layaknya Tuminah, seorang pekerja seks komersial (PSK) yang penuh mimpi akan masa depan.

Inilah yang bisa dinikmati dari Opera Kecoa, lakon tragedi berbalut komedi yang dibawakan Teater Koma. Bercerita tentang kehidupan kaum papa di pinggiran Jakarta, yang masih membutuhkan cinta di tengah pergelutan demi sandang, pangan, dan papan. Bekerja apa saja, asal perut bisa terisi. Tak peduli meski jadi bandit, waria, atau caboyang tidur dengan lelaki orang seperti yang dilakoni Roima, Julini, dan Tuminah.

Ketiganya beserta tokoh lain melakoni perjuangan hidup yang hanya punya dua risiko, yakni jadi ada atau tersingkir di tengah kerasnya kehidupan ibukota. Melibatkan pemain seperti Bayu Dharmawan Saleh, Joind Bayuwinanda, Tuti Hartati, Ratna Riantiarno, Budi Ros, Didi Hasyim, serta Rangga Riantiarno, pementasan ini berlangsung selama tiga jam yang dibagi dalam dua babak.

Pementasan
Pementasan “Opera Kecoa” di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki, 10 – 20 November 2016. (Foto: Jacky Rachmansyah)

Ditulis oleh Nano Riantiarno, Opera Kecoa pertama kali dipentaskan Teater Koma pada 27 Juli – 11 Agustus 1985 di Graha Bakti Budaya (GBB), Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Tahun ini, lakon orang miskin yang mengundang gelak tawa tersebut kembali ditampilkan Teater Koma lewat produksi ke-146 yang juga bertempat di GBB pada 10 – 20 November 2016.

Dengan suasana panggung yang temaram, nyanyian Jula-Juli Tanpa Harapan membuka pertunjukan. Getir dan pilu yang sampai di telinga, semakin didukung dengan rupa bilik-bilik tripleks, warung kelontong, hingga rumah pelacuran. Sedangkan di sekitarnya berdiri monumen-monumen cermin kota yang beradab, bentuk kritik atas kesenjangan sosial. Gelandangan hadir di atas panggung, sambil menari dan membawakan lirik ironis perihal kehidupan yang mereka jalani dengan timpang.

Ulasan lengkap Mimpi Kaum Papa di Balik Tawa dapat dibaca di majalah SARASVATI edisi Desember 2016.