Jalan Leluhur Rumah Kopi Semarang

0
16001
rumah kopi margo rejo
Rumah Kopi di Jalan Wotgandul Barat, Semarang diperkirakan berdiri pada 1850-an. (Foto Silvia Galikano)

Keluarga ini menorehkan takdir barunya pada 1916 ketika memutuskan mencoba peruntungan di bidang kopi dengan mendirikan pabrik penyangraian kopi.

Rumah dua lantai bercat putih ini berlanggam Indis, berdiri di tengah lahan seluas 2000 meter persegi yang dikelilingi pohon tua dan tanaman perdu yang asri. Kolom-kolom art deco di lantai bawah menopang balkon yang kolomnya bergaya Tuscan dengan baluster besi, fascia kayu, dan verge board (papan berukir di ujung pertemuan dua atap).

Rumah ini beralamat di Jalan Wotgandul Barat 12, Kebonkarang, Semarang. Sekarang masuk kawasan Pecinan. Namun pada awal abad ke-20 saat pembatasan wilayah diterapkan ketat, rumah ini berada di luar Pecinan, berjarak tak sampai 100 meter di luar batas.

Baca juga Bakoel Koffie, Ikhtiar Melanjutkan Garis Kopi

Tak diketahui siapa pendiri dan kapan didirikannya, namun dari langgamnya dan ketika diurutkan silsilah ke atas, diperkirakan tahun 1850-an.

Penghuni sekarang adalah Widayat Basuki Dharmowiyono (Tan Tjoan Pie), 72 tahun yang mewarisinya dari sang ayah, Tan Liang Tjay (1907 – 1981). Basuki mengelola penyangraian kopi (coffee roastery) bernama Margo Rejo, usaha keluarga sejak kakeknya, Tan Tiong Ie (1883 – 1949). Itu sebab rumah ini dikenal masyarakat dengan sebutan Rumah Kopi.

rumah kopi margo rejo
Ruang tamu Rumah Kopi. (Foto Silvia Galikano)

Tiga generasi Tan dilahirkan di rumah eklektik ini, terakhir adalah generasi Basuki (kelahiran 8 Oktober 1945) berikut dua kakak dan satu adiknya. Sedangkan anak dan cucunya lahir di rumah sakit.

Basuki pun menciptakan budaya baru yang dia sebut “budaya Basuki”, menjadikan pintu tengah—dari tiga pintu—sebagai pintu upacara (ceremonial door). Pintu tengah ini hanya dilewati anggota keluarga untuk pertama kali memasuki rumah dan untuk keluar rumah terakhir kalinya.

Baca juga Menikmati Varian Kopi Lokal di Kota Tua

“Anggota keluarga baru, misalnya setelah menikah atau bayi yang baru lahir di klinik bersalin, begitu pertama kali dibawa pulang, lewatnya pintu ini. Lalu nanti keluarnya peti jenazah, lewat sini juga,” saat dijumpai di kediamannya di Semarang, akhir Oktober 2017.

Seperangkat kursi yang ada di tengah ruang tamu masih kursi tamu yang ada di foto lama hitam putih, hanya kain pelapisnya yang sudah diganti. Di ruang tamu itu ada perabot yang menyita perhatian, berada di pojok kiri dari pintu utama, yakni lemari altar.

Menariknya, alih-alih dengan ukiran khas Tionghoa, lemari altar ini bergaya art deco dan minim ukiran. Selainsebagai tempat mengenang dan menghormati leluhur, altar ini juga difungsikan sebagai tempat menyimpan sinci (papan arwah) tiga generasi ke atas, hingga Tan Tjien Gwan (1861 – 1914), kakek buyut Basuki.

rumah kopi margo rejo
Kong po atau lemari altar, bergaya art deco. (Foto Silvia Galikano)

Leluhur Basuki yang pertama datang ke Nusantara adalah Tan Bing atau Juragan Bing, dari Hokkian/Fujian di Tiongkok pada 1790-an.

Sedangkan keturunan Tan Bing yang pertama menghuni rumah ini adalah Tan Ing Tjong (1837 – 1899, cicit Tan Bing), seorang pemegang pacht garam dan opium pada akhir abad ke-19. Sebelum dimiliki Tan Ing Tjong, menurut Basuki, rumah ini adalah milik kerabat Tan Ing Tjong yang juga pemilik pacht namun merugi sehingga menjual rumahnya untuk menutup kerugian.

Baca juga Suwe Ora Jamu, Amsal Syukur Penyeimbang Hidup

Generasi kedua yang mendiami rumah ini adalah Tan Tjien Gwan, dan diteruskan Tan Tiong Ie, juga pemegang pacht garam. Nahas, Tiong Ie, yang tak lain kakek Basuki, merugi besar hingga keuangannya morat-marit dan terjerat utang.

Alexander Claver dalam Dutch Commerce and Chinese Merchants in Java: Colonial Relationships in Trade and Finance, 1800-1942 (2014) yang merupakan disertasinya di Vrije Universiteit, Belanda, menuliskan, setelah berhasil membayar kembali utang-utang berkat bantuan teman-teman dan kerabat, Tiong Ie memboyong keluarganya ke Cimahi, kota di sebelah barat Bandung, untuk memulai hidup baru.

Basuki Dharmowiyono, rumah kopi margo rejo
Basuki Dharmowiyono. (Foto: Silvia Galikano)

Awalnya dia membuka toko roti kecil – sebagaimana hobi istrinya membuat roti – dan berbisnis kayu, yang membuatnya bisa bernapas longgar walau bukan sukses besar.

Margo Redjo berdiri

Keluarga ini menorehkan takdir barunya pada 1916 ketika memutuskan mencoba peruntungan di bidang kopi dengan mendirikan pabrik penyangraian kopi Eerste Bandoengsche Electrische Koffiebranderij “Margo-Redjo” di Cimahi. Margo Redjo, bahasa Jawa yang berarti “jalan kemakmuran”, menjual bubuk kopi ke pedagang grosir dan eceran.

“Tidak tahu persisnya mengapa Cimahi yang dipilih sebagai tempat usaha, bukan Semarang. Kemungkinan karena gagal di pacht garam, Cimahi tempat pelarian saja,” kata Basuki.

Baca juga Omerta dan Cerita Bohong tentang Kopi

Sewaktu perusahaan belum lama berjalan, Tong Ie pulang ke Semarang pada 1925 dan melanjutkan Margo Redjo di Semarang. Alat-alat produksi yang saat itu masih sederhana, dibawa pindah ke Semarang, termasuk alat sangrai besar model pertama yang berbentuk bulat berbahan bakar kayu (versi lebih modern pada 1930-an menggunakan bahan bakar gas).

Kala itu, ibunda Tong Ie, Goei Joe Nio, masih hidup dan tinggal di Semarang. Ada kemungkinan dia dipanggil pulang ibunya.

Sempat Tiong Ie membuka pabrik es juga di Semarang, tapi karena tak memberi banyak keuntungan, dia berfokus pada Margo Redjo.

rumah kopi margo rejo
Duduk depan Tan Tiong Ie dan istri, Kwee Sik Yang. Belakang adalah anak-anak mereka (ki-ka) Tan Liang Hoo, Tan Liang Tjay dan Tan Sioe Nio. (Dok. Widjajanti Dharmowijono)

Ruang belakang rumah Jalan Wotgandul Barat jadi tempat produksi baru kopi Margo Redjo yang segera mendapat sambutan pasar. Karyawannya terus bertambah sampai-sampai perlu sirine sebagai penanda dimulai dan berakhirnya waktu istirahat.

Bangunan di tenggara rumah utama menjadi kantor dan rumah tinggal Tan Liang Hoo, putera sulung Tan Tiong Ie, yang juga aktif mengelola Margo Redjo.

Meski dimulai dari awal lagi, tak sulit bagi Margo Redjo merebut pasar kopi mengingat belum adanya saingan di segmentasi yang sama. Claver menuliskan bahwa kunci sukses perusahaan itu adalah strategi pemasaran yang cerdas, yang dikendalikan dengan keras oleh Tan Liang Hoo.

Baca juga Selangkah dari Sekolah, Resto Pun Ramah di Kantong

Dia punya ketertarikan besar pada produksi dan teknik pemasaran serta selalu mengikuti informasi mutakhir dunia dengan membeli majalah serta buku-buku terkait. Dia juga punya ide kreatif dan original untuk pemasaran dan kampanye kehumasan.

Strategi itu di antaranya Margo Redjo memproduksi beragam kualitas kopi dengan merek dan harga berbeda-beda.Tjap Grobak Idjo adalah yang paling murah, sementara Tjap Margo Redjo yang paling mahal. Di antara keduanya ada Tjap Pisau, Tjap Orang-Matjoel, Koffie Sentoso, Koffie Mirama, dan Koffie Sari Roso.

Margo Redjo juga membedakan kemasan untuk pedagang grosir dan untuk pelanggan perorangan. Pedagang eceran juga bisa memesan label khusus dengan merek mereka sendiri, strategi yang saat itu belum umum dipraktikkan.

Jaringan distribusi Margo Redjo berkembang baik. Selain mencapai Singapura, Makassar, dan Lampung, khusus di Jawa, merek ini masuk sampai tempat-tempat terpencil.

rumah kopi margo rejo
Kwitansi pembayaran jasa renovasi Van Oyen (Dok. Basuki Dharmowiyono)

Margo Redjo juga tak segan-segan menghabiskan banyak waktu dan usaha untuk mengiklankan produknya yang berberbeda-beda di koran-koran, ikut pameran, memberi bonus, serta mengadakan lomba-lomba berhadiah. Tan Liang Hoo sendirilah yang jadi copy writer sekaligus desainer untuk iklan, flyer, dan poster Margo Redjo.

Tan Tiong Ie masuk dalam Orang-orang Tionghoa (1935) yang memuat daftar orang Tionghoa terkaya di Jawa. Dia disebut sebagai pengusaha Tionghoa pertama yang mengekspor kopi ke negara lain dengan jumlah ekspor mencapai satu juta kilogram kopi setiap tahun. Margo Redjo menjadi perusahaan sangrai kopi terbesar di Jawa yang mempekerjakan puluhan pekerja.

Baca juga Menikmati Secangkir Kopi dari Si Ahli Seduh

Tan Tiong Ie akhirnya mampu mengirim Tan Liang Hoo kuliah hukum di Leiden, di salah satu universitas paling bergengsi di Belanda.

Sentuhan art deco

Di tengah masa jaya inilah, pada 1927, rumah mengalami renovasi, antara lain penambahan luas teras dari 10×2 meter menjadi 10×4 meter. Empat kolom di lantai bawah, yang sebelumnya sejajar dengan kolom di lantai atas, dimajukan. Bentuk kolom teras bawah pun diubah sesuai zaman, dari bergaya Tuscan menjadi art deco.

Renovasi dipercayakan kepada arsitek terkenal masa itu, Liem Bwan Tjie (LBT, 1891-1966), arsitek modern pertama yang berpendidikan Belanda dari kalangan Tionghoa-Indonesia. LBT banyak mengerjakan rumah mewah masyarakat Tionghoa di Semarang.

Tiong Ie juga memesan lemari altar, menggantikan lemari altar lama bergaya Tionghoa yang diberikan ke tetangga seberang rumah, sekarang jadi kedai kopi bernama Stasiun Kopi.

van oyen
Arsitek , J. Th. van Oyen (1893-1944). (Dok. colonialarchitecture (1)

Pembuat lemari altar art deco ini tidak main-main, J. Th. van Oyen (1893-1944), arsitek Belanda ternama yang membangun Gereja Gereformeerd (1918) di Semarang, Gereja Santa Theresia (pembangunan 1933-1934) di Jakarta, dan  Gereja Katedral Randusari di Semarang (pembangunan 1936-1937). Kekhasan karyanya adalah menggabungkan unsur budaya dan agama.

Di tengah-tengah lemari altar diukir karakter Mandarin yang berarti “Dapat mengikuti jejak leluhur”. Di kanan dan kiri altar dipasang papan bertuliskan karakter Mandarin, yang jika diartikan, “Walau lumut berukuran kecil, bermanfaat pula” dan “Sebaik-baiknya punya anak berkecukupan, lebih baik lagi kalau anak itu pandai.”

Dari kwitansi berangka tahun 1927, sebetulnya Van Oyen juga terlibat dalam renovasi rumah dan pabrik Margo Rejo, namun tidak diketahui apa lagi yang dikerjakan Van Oyen selain membuat lemari altar. Serta apakah Van Oyen dan LBT bekerja pada waktu bersamaan ataukah berselang beberapa tahun.

Baca juga Secangkir Kopi untuk Pesta Boneka #5

Setelah Belanda angkat kaki dan Jepang belum mendarat, kondisi keamanan tak stabil. Tan Tiong Ie memutuskan mengganti daun jendela yang sebelumnya adalah kaca patri, menjadi kayu. Daun pintu yang dari kaca patri pun ditambah daun pintu kayu sebagai pelindung, sehingga masing-masing pintu punya dua pasang daun pintu, membuka ke luar dan membuka ke dalam. Keberadaan jendela kaca patri saat ini tak diketahui.

rumah kopi margo rejo
Ruang produksi kopi menempati bangunan membujur di barat rumah utama. (Foto Silvia Galikano)

Suasana yang tak tenang ini juga menyebabkan tak setiap hari karyawan Margo Redjo bisa datang yang berakibat perusahaan tak bisa setiap hari berproduksi. Usaha kopi Margo Redjo pun mulai turun.

Ketika perang usai dan Indonesia merdeka, Margo Redjo kesulitan mengembalikan posisinya ke keadaan semula. Pesaing sudah menggantikan posisi lowong yang dulu ditinggalkan.

Re-branding Margo Rejo

Basuki Dharmowiyono melanjutkan Margo Rejo sekaligus Rumah Kopi warisan ayahnya selulus kuliah di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro tahun 1975. Dia belajar sendiri teknik sangrai, bukan dari ayahnya. “Ayah banyak mengarahkan saya untuk kuliah hukum, bukan mengarahkan ke kopi,” ujarnya.

Baca juga Urun Hysteria pada Kota

Margo Rejo belum kembali ke kejayaannya di awal abad ke-20, malah sejak 1990-an Basuki nombok tiap bulan agar produksi berjalan terus. “Saya punya keterikatan emosional dengan Margo Rejo, tidak mungkin saya tutup. Syukurlah sekarang trennya naik,” kata Basuki.

rumah kopi margo rejo
Mesin panggang kopi. (Foto Silvia Galikano)

Ruang produksi lama sekarang jadi gudang. Ruang produksi sekaligus penjualan biji kopi sekarang ada di bangunan sayap barat. Di sinilah biji kopi mentah dari berbagai daerah di Indonesia diolah dan dipanggang untuk kemudian dipasarkan dalam bentuk biji. Kafe-kafe yang kini menjamur di Semarang tak sedikit mendapat pasokan biji kopi dari Margo Rejo. Sering juga coffee cupping diadakan di sini.

Berbeda dengan ayah dan kakeknya yang menjual bubuk kopi, mulai 2017 Basuki hanya menjual biji kopi, dengan alasan usia biji kopi lebih panjang dibanding bubuk kopi. Bubuk kopi hanya tahan delapan jam setelah digiling, setelah itu aromanya menurun tajam, dan sehari kemudian rasanya sudah berbeda. Sedangkan biji kopi tahan delapan hari setelah disangrai, setelah itu aromanya menurun, namun landai.

Baca juga Diplomasi Seni Franziska Fennert

Selain itu, Basuki ingin mengikuti zaman, bahwa kini pengetahuan tentang kopi sudah dipunyai masyarakat yang lebih luas dibanding dahulu. Kedai kopi yang menjamur hingga kota-kota kecil, umumnya dikelola anak muda, pengunjungnya juga anak muda, dan mereka umumnya tahu bagaimana kopi berkualitas.

“Jadi sekarang paradigma Margo Rejo bukan lagi perusahaan yang menjual kopi bubuk, melainkan perusahaan sangrai kopi yang menjual biji kopi,” ujar Basuki.penutup_small

rumah kopi margo rejo
Silsilah keluarga Basuki Dharmowiyono