Stamboel Bintang Timur bangkrut. Para anggota kelompok tonil komedi tersebut kebingungan mencari uang untuk melanjutkan hidup. Di tengah perbincangan para anggota tonil Stamboel yang kalut namun tetap jenaka ini, tiba-tiba muncul sang juru selamat; yang menyebut dirinya Nyonya Nomor Satu.
Begitulah Agus Noor menggulirkan perkara di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 28 November 2015 dalam pementasan teater bertajuk Nyonya Nomor Satu. Setelah pembukaan panjang dengan penampilan pewara gaek Koes Hendratmo dan penyanyi legendaris Titiek Puspa, perkara ini kemudian berlanjut karena sang juru selamat (yang diperankan oleh Yu Ningsih) ternyata tak hanya berniat menyelamatkan Stamboel, namun juga tampil sebagai primadona di pementasan mereka selanjutnya. Para anggota kelompok tonil pun kebingungan.
Di satu sisi, mereka amat butuh uang dari sang Nyonya demi keberlangsungan isi kantong masing-masing. Di sisi lain, tidak satupun dari mereka menghendaki keberadaan sang Nyonya untuk menjadi nomor satu di panggung mereka. Terlebih, mereka sudah punya perempuan cantik yang didapuk sejak kecil untuk menjadi penerus ibunya sebagai primadona di pementasan Stamboel.
Dia tak lain adalah Happy, yang diperankan Happy Salma, anak dari Tarzan, yang merupakan pemilik Stamboel. Nyonya Nomor Satu pun menghendaki Susilo, yang diperankan Susilo Nugroho, bersanding di pentas dengannya sebagai aktor utama. Apa pula pasalnya sang Nyonya menyeret tangan kanan si pemilik Stamboel tersebut ke permasalahan kelompok yang hendak bangkrut ini?
Untuk disebut sebagai sebuah pementasan komedi , pementasan ke-18 Indonesia Kita garapan trio Butet Kartaredjasa, Djaduk Ferianto, dan Agus Noor ini layak disebut sebagai sebuah kesuksesan. Dengan sisipan humor politik di sana-sini, lawakan khas Srimulat berpadu dengan stand-up comedy sejak pertunjukan dibuka oleh ‘prakata’ Butet dan dilanjutkan dengan apik oleh Trio Guyonan Ala Mataraman ( disingkat menjadi GAM, dengan personel Gareng Rakasiwi, Joned, dan Wisben Antoro), Cak Lontong, dan Akbar. Gabungan kesemua pemain ini menghasilkan deretan tawa tak putus dari kursi penonton yang penuh—meski di adegan yang harusnya haru-biru.
Dibandingkan dengan alur gelak yang beruntun, penceritaan yang disajikan tampak patah di beberapa titik. Mengapa Susilo berakhir di pelaminan bersama Nyonya Nomor Satu, terasa tak sinkron dengan kisah si Nyonya yang dahulu patah hati ditinggal di terminal hingga terpaksa menjadi kupu-kupu malam karenanya.
Susilo pun diceritakan tak pernah punya hati padanya, dan bahkan berniat meracuninya hanya karena dihukum berlari 500 putaran. Alur yang patah ini ditimpali dengan selingan perangkai antar babak yang beberapa di antaranya tak senada untuk mengantar kisah di babak selanjutnya.
Kebingungan dari kursi penonton ini dapat terlewatkan dengan pemecah tawa yang terus disulut para pemain hingga akhir babak, meski kemudian klimaks ini kembali mereda dengan penutup yang panjang dari penampilan grup vokal anak-anak Duta Cinta. Meski demikian, keseluruhan tawa yang dihantarkan para pemain cukup berbekas untuk membuat para penonton menghadiahi mereka dengan tepuk tangan yang panjang atas pertunjukan yang begitu menghibur.