Setelah K-pop dan K-drama, kini saatnya Indonesia bersiap menerima K-art.
Hanya ada dua warna di atas kertas sepanjang empat meter itu. Hitam dan putih. Memandangnya, seakan kita berhadapan dengan batas ujung hutan bambu yang rapat. Meski cukup sederhana, lukisan berjudul Fog 4 (2010) karya seniman Korea Selatan, Moon Bong-Sun, sukses menampilkan kehandalannya mengontrol goresan kuas bertinta hitam di atas kertas putih.
Selain Moon, ada 18 seniman lainnya yang ikut serta dalam pameran bersama Window of K-Art, di Museum nasional, Jakarta, pada 3-14 Juni lalu. Pameran itu berlangsung atas kerja sama kedutaan Besar Korea Selatan dengan Korean Cultural Center Indonesia (KCCI), Symyo Gallery Korea, International Cultural Center Surabaya dan sponsor dari Museum Nasional Indonesia.
“Pameran ini diadakan untuk memperkenalkan kebudayaan dan kesenian Korea Selatan kepada masyarakat Indonesia,” Kata Sunny Sung, pemilik galeri Symyo sekaligus curator dalam pameran tersebut.
Total karya yang dipamerkan mencapai 36 karya. Tidak saja berupa lukisan, tapi juga karya fotografi, video, keramik, maupun karya instalasi. Seperti judulnya, pameran ini hanyalah ‘jendela kecil’ untuk melihat perkembangan seni rupa di Korsel. Sung bahkan menyebutnya sebagai upaya mengedukasi masyarakat seni Indonesia untuk mengenal, mempelajari, dan melihat langsung karya-karya seniman Korsel.
“Bukankah pepatah Indonesia mengatakan, tak akan sayang jika tak kenal? Dan ini merupakan salah satu cara kami mengedukasi masyarakat Indonesia pada karya-karya seniman kami,” katanya kepada Sarasvati, Selasa (10/5) lalu.
Yang menarik, hampir seluruh karya yang dipamerkan menawarkan konsep yang cukup sederhana. Ketenangan, kesejukan, dan kesunyian adalah rasa yang pertama kali muncul saat melihat karya-karya tersebut. Tak seperti karya seniman-seniman kontemporer Indonesia yang kerap mengejutkan penikmatnya baik dari sisi konsep, konten, ataupun teknik. Terkadang juga warna-warnya yang berani.
Lihat saja karya fotografi milik Kim Tai-Kyun berjudul If You Go Away (2014) yang menangkap pemandangan lepas pantai di salah satu lokasi wisata ternama di Korea Selatan. Kim sepertinya menyadari ketenangan yang muncul saat deburan-deburan halus ombak laut menghepas pantai menjelang terbitnya matahari. Di kejauhan, batas antara langit dan permukaan laut membentuk garis yang nyaris lurus sempurna. Ketenangan itulah yang ia ingin bagi dengan para pengunjung.
Adapula lukisan karya Lee Hae-Gee berjudul Rest (2014) yang menghadirkan sosok Budha. Tak seperti kebanyakan lukisan Budha umumnya, sosok suci di lukisan Lee ini selain ukurannya yang jauh lebih kecil dibandingkan besarnya kanvas yang berukuran 92 x 192 cm, posisinya yang memunggungi para pengunjung juga cukup menarik. Sepertinya, sang Budha lelah terus menerus menjadi sorotan seperti judul karya tersebut. Namun, lagi-lagi meski wajah sejuk sang Budha tak terlihat pengunjung masih bisa merasakan ketenangan yang ia sebarkan.
Satu-satunya karya yang sukses membuat para pengunjung Indonesia berdecak kagum, itupun jika mereka sabar, adalah karya video Lee Lee-Nam berjudul Early Spring – Four Seasons 2 (2010). Lee merupakan salah satu seniman kontemporer Korsel yang tengah naik daun. Karyanya yang mengkolaborasikan antara lukisan dengan teknologi digital visual memberikan pengalaman visual yang baru bagi pecinta lukisan.
Kali ini ia ‘berkolaborasi’ dengan lukisan karya seniman ternama China, Guo Xi, berjudul ‘Early Spring of 1072’. Alih-alih menghadirkan lukisan tinta berwarna hitam putih, Lee justru menghadirkan efek empat musim di lukisan yang sama. Mata pengunjung pun dimanjakan dengan hadirnya bunga-bunga berwarna cerah dan aliran air sungai berwarna biru dari balik gunung-gunung karya Guo Xi. Secara perlahan, langit di atas pengunungan mulai menggelap. Kilat petir muncul dari balik awan. Hujan deras mendera seluruh pegunungan. Saat langit kembali cerah, perlahan hijaunya pegunungan berganti warna. Kehangatan yang tadi dirasakan berganti dengan indahnya selimut putih salju yang menyelimuti seluruh permukaan pegunungan. Sensasinya benar-benar berbeda.
Menurut Sung, pameran ini adalah langkah awal upaya memperkenalkan seniman-seniman Korsel di Indonesia. Akan ada pameran-pameran lanjutan setelah ini. Ia juga berjanji untuk memperkenalkan beberapa seniman kontemporer Indonesia kepada publik seni di Korsel. Seperti yang selama ini ia bangun bersama seniman-seniman Vietnam, China, dan Mongol.
Menurutnya ini akan menjadi tantangan menarik, karena karakter pecinta seni di Korsel yang cukup tertutup pada karya-karya seniman dari Negara lain dan selera yang benar-benar berbeda. “Karya-karya seniman Indonesia cukup popular di Singapura dan Hongkong. Dan, sudah saatnya masyarakat Korea Selatan ikut melihatnya juga,” katanya.