Jika umumnya program pemberian bantuan untuk ranah pendidikan menyasar (maha) siswa-siswi, maka kali ini sebuah pameran diinisiasi untuk membantu guru-guru sekolah dasar. Pameran ini sesungguhnya tak begitu saja muncul, melainkan berangkat dari sebuah gerakan yang bernama Bantu Guru Belajar Lagi. Gerakan ini dimulai oleh generasi muda yang ingin berkontribusi secara nyata dalam meningkatkan kualitas pendidikan, melalui peningkatan kompetensi guru.
Pameran yang diberi tajuk sama dengan nama gerakannya, “Bantu Guru Belajar Lagi”, dihelat untuk mengumpulkan donasi yang akan digunakan untuk memberi pembekalan kepada 50 guru di tiga sekolah dasar di kawasan Sumur Batu, Bantar Gebang, Bekasi. Pameran yang menggandeng ilustrator Rukmunal Hakim dan fotografer Rendha Rais, berlangsung pada 19-29 Juli 2017 di Jakarta Creative Hub, Tanah Abang, Jakarta.
Bermula dari obrolan ringan pertemanan antara penyanyi pop Tulus dengan Farli Sukanto, seorang pengajar muda sekaligus kawan baik yang dikenal sejak masa kuliah, ide ini akhirnya muncul. Proses penggalangan dana dimulai pada Mei 2017.
Dua seniman yang terlibat, masing-masing telah bekerja dengan Tulus. Hakim beberapa kali menjadi visual consultant untuk proyek video musik Tulus yang berkolaborasi dengan Melati Suryodarmo dan Papermoon Puppet Theatre, sedangkan Rendha adalah fotografer panggung yang sering mengabadikan penampilan Tulus. Menurut Farli, pendekatan di ranah seni dilakukan guna mencapai khalayak yang lebih luas dan melibatkan banyak pihak.
“Dengan kerja sama bareng seniman, kami ingin menunjukan bahwa profesi apa pun di luar sana semuanya bisa berkontribusi ke pendidikan. Karena membangun pendidikan harus dilakukan bersama-sama,” ujarnya.
Pameran ini menampilkan empat karya ilustrasi dan empat karya fotografi, yang merespons keadaan sekolah yang terletak di sekitar pembuangan akhir tersebut. Hakim dan Rendha beberapa kali melakukan kunjungan dan turut serta berbincang dengan guru-guru perihal harapan menjadi tenaga pengajar.
Empat karya Hakim yang diberi tajuk Seri Berdaya, salah satunya merupakan karya kolase yang berupa sambungan potongan catatan harapan guru dan ditimpa oleh gambar-gambar kaki seakan menyiratkan peran guru yang menjadi tumpuan ilmu dan pendidikan. Sedangkan di karya lainnya, Hakim menggambar pola tangan yang memegang kapur, yang juga menjadi logo gerakan Bantu Guru Belajar Lagi.
Rendha juga menampilkan empat karya, dua foto berwarna dan dua foto hitam putih. Belajar Untuk Berubah misalnya, menampilkan seorang siswi dalam seragam pramuka yang tersenyum di depan tumpukan sampah yang menggunung. Menjadi sebuah paradoks yang menyentil.
Sebagai sebuah pameran yang bertujuan sosial, perhelatan semacam ini dirasa bisa menumbuhkan rasa kepedulian kepada dunia pendidikan yang tak melulu dari segi fasilitas infrastruktur. Eksekusi yang menarik dari dua seniman dan keterlibatan sosok yang populer di masyarakat juga dirasa mampu menjadi magnet tersendiri. Semoga saja proyek berkelanjutan semacam ini akan terus dibuat, sehingga pengunjung yang datang tak hanya melihat estetika karya, namun juga memiliki rasa peduli pada masa depan pendidikan.