Dalam benak Antonio Sebastian Sinaga, beriman kepada Tuhan kini tak lebih dari sebuah identitas belaka. Tak ada lagi rasa kedamaian dan gairah saat menyebut nama-NYA. Jika demikian masihkah wujud Tuhan dibutuhkan?
Tumbuh dalam keluarga taat beragama, Antonio akrab dengan berbagai aktivitas keagamaan. Kisah-kisah religi yang tertuang dalam berbagai penggambaran dan bentuk, melekat erat di benaknya. Kisah-kisah yang sama kini menjadi sumber inspirasinya dalam berkarya. Setidaknya dalam dua tahun terakhir, seperti yang diakuinya.
Minggu lalu, 27 Oktober 2013, untuk pertama kali Antonio menggelar pameran tunggal usai lulus dari Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Institut Teknologi Bandung (ITB) setahun lalu. Mengangkat tema In Absentia atau dalam bahasa berarti ketidakhadiran, Antonio menampilkan 14 karya fotografi dan tujuh karya seni instalasi menggunakan kaca patri, bercerita tentang salah satu peristiwa penting dalam sejarah perkembangan agama Kristen di dunia pada abad ke-6, yakni 14 Pemberhentian Jalan Salib.
Uniknya, Antonio justru menghilangkan sosok penting di peristiwa itu dalam karya-karyanya. Ia mendorong para penikmat karyanya untuk kembali mencari ‘makna’ penting dari sosok agung Tuhan yang ia rasakan mulai memudar. Dengan sengaja ia memancing munculnya suatu keganjilan dengan harapan akan merangsang mereka yang melihat karyanya kembali mencari nilai keagungan yang pernah hidup sebelumnya.
“Menyaksikan berbagai penggambaran peristiwa keagamaan, alih-alih Antonio merasa tercerahkan, ia justru merasa kosong dan hampa. Pengalaman dan perasaan itu ia ingin bagi melalui karya-karyanya,”jabar Rifandy Priatna, kurator dalam pameran yang digelar di Roemah Seni Sarasvati (RSS) Bandung hingga 12 November 2013.
Ia sadar bahwa memilih tema religi sebagai sumber kreatifitasnya, tampak sangat berbeda dengan pakem yang selama ini dianut rekan-rekannya sesama seniman muda. Namun, perbedaan itu pulalah yang akhirnya menarik perhatian Rifandy untuk memilihnya sebagai salah satu dari enam seniman muda yang berkesempatan untuk berpameran solo dengan tema Menembus Batas dalam rangkaian kegiatan Bandung Contemporary 2013. Seniman lainnya adalah Ardiansyah Arif Fadilla; Bonggal Jordan Hutagalung; Taufik Setiawan; Mirfak Prabowo, dan Nurrachmat Widyasena.
“Mereka terpilih karena mampu menampilkan kejujuran dalam karya-karyanya. Mampu merelasikan pengalaman, pengetahuan, dan pemikiran mereka ke dalam satu bentuk karya,”ujar Rifandy. “Khusus Antonio, ia sudah menyadari ke arah mana karya-karyanya akan dikembangkan. Ini yang tak semua seniman muda miliki”.
Agar tema religi tersebut dapat diterima dengan baik oleh penikmat seni tanpa meninggalkan kesan konvensional dan memicu kontroversi, Antonio menghadirkan sosok para figur dalam karya fotografinya dengan kecenderungan gaya berpakaian serta bahasa visual yang sangat menggambarkan masa kini.
Alih-alih menggunakan jubah panjang dengan perawakan wajah yang ditutupi janggut dan rambut panjang – selayaknya yang digambarkan selama ini – Antonio menghadirkan para figur dengan jaket kulit hitam, celana jins, sepatu sniker ataupun bergaun pendek dengan sepatu hak tinggi. Penggambaran itu sekaligus menggambarkan bagaimana konsumerisme kini lebih diimani ketimbang sang Maha Kuasa.
“Antonio hidup di dunia yang kultur visualnya berkembang dengan sangat pesat hingga mempengaruhi gaya hidup manusianya. Konsumerisme di kemas sedemikian rupa melalui berbagai media hingga mampu memberikan kesan serta nilai keagungannya tersendiri,”jabar Rifandy.
Pameran Tunggal Vs Seniman Muda
Pengadaan program pameran tunggal dalam rangkaian Bandung Contemporary ternyata memiliki tujuannya sendiri. Seperti yang selama ini dipahami para pelaku seni di Indonesia, bahwa pameran tunggal adalah hak bagi para seniman yang telah memiliki pengalaman belasan hingga puluhan pameran bersama. Mereka yang baru saja menanggalkan atributnya sebagai mahasiswa Fakultas Seni Rupa, tak memiliki hak yang sama.
“Pameran tunggal bagi para seniman muda ini ditujukan untuk meruntuhkan pemahaman umum bahwa pameran tunggal adalah sebuah prestasi karya yang sudah akhir, pasti dan harus selalu menampilkan sesuatu yang baru,”kata Rifandy.
Menurutnya, pemahaman itu tak sepenuhnya dapat diterima karena pameran tunggal tak jauh berbeda dengan pameran bersama. Ia adalah wadah bagi seorang seniman untuk bereksperimen dan berekspresi. Menurutnya, hal terpenting adalah bagaimana karya-karya yang dipamerkan bisa menampilkan berbagai kemungkinan pembacaan dan berdialog dengan pengunjung.
Pameran tunggal juga menjadi cara termudah bagi pecinta seni rupa untuk melihat sejauh mana seorang seniman berkembang. Akan sangat sulit jika ‘membacanya’ hanya dengan melihat satu hingga tiga karya yang ditampilkan bersama-sama dengan seniman lain.
“Seniman beserta karyanya muncul dan gugur di saat bersamaan melalui berbagai pameran dan perhelatan yang serba besar dan singkat. Kita tak lagi memiliki waktu untuk menelaah dan mencerna karya berbagai hal yang ditawarkan secara bersamaan,”kata Rifky.
Terlepas dari berbagai polemik seputar pameran tunggal, penulis menilai hal yang harus disadari para stakeholder di dunia seni rupa terutama galeri, kolektor, dan badan lelang adalah memberikan peluang kepada para seniman muda yang belum memiliki portfolio panjang untuk menunjukkan pemikiran, kreativitas, dan dedikasinya pada seni rupa Indonesia.