Membutuhkan waktu 11 jam untuk mengangkat 16 modul karya Teguh Ostenrik dari pinggir pantai hingga ke peletakan di tengah laut.
Membutuhkan waktu 11 jam untuk mengangkat 16 modul karya Teguh Ostenrik dari pinggir pantai hingga ke peletakan di tengah laut.

Tak ingin karyanya sekedar hiasan dinding, seniman Teguh Ostenrik mengembangkan proyek seninya untuk tujuan yang lebih besar. Penyelamatan terumbu karang.

Pada 24 Mei 2014, beronggok-onggok besi tua penuh karat ditancapkan ke dasar laut Senggigi di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Jaraknya kira-kira 100 meter dari pinggir pantai Senggigi. Ada delapan penyelam yang sibuk bolak balik berenang memindahkan onggokan besi itu dari pinggir pantai hingga ke tengah laut. Tepatnya 16 kali berenang bolak balik. Salah satunya adalah seniman ternama Indonesia yang handal mengolah besi-besi tua menjadi karya seni, Teguh Ostenrik.

Ya, tumpukan besi itu adalah karya instalasi seni Teguh yang dinamakan Domus Sepiae atau rumah cumi-cumi. Bagian dari proyek seni Teguh saat menjalankan residensi di Qunci Villas, Senggigi. Awalnya, sang pemilik hotel mengundangnya untuk menetap selama beberapa pekan sembari membuat karya yang terinspirasi dari lingkungan sekita hotel. Nantinya, karya tersebut akan menjadi koleksi tetap hotel. Teguh menolak. Ia enggan karyanya hanya menjadi dekorasi dinding hotel.

“Karya saya harus memberi efek lebih bukan hanya pemanis dinding atau ruangan hotel. Bisa memberi kembali kepada bumi pertiwi dan membuka pintu nafkah orang lain,” ujar Teguh kepada Sarasvati.

Saat menentukan karya apa yang akan dibuat, Teguh teringat pada keindahan bawah laut Senggigi yang pernah ia lihat 30 tahun lalu namun kini hilang.  Beragam bentuk dan warna terumbu karang yang bagaikan hutan tropis di bawah laut kini tak ada bedanya dengan gurun sahara. Potongan-potongan terumbu karang berwarna putih berserakan menyelimuti seluruh dasar pantai Senggigi.

Dari keprihatinan itu Teguh terinspirasi membuat proyek seni bertajuk ARTificial Reef Park. Poinnya sederhana yakni mengembalikan fungsi dan kondisi alam melalui seni. “Restoring the nature through art,” begitulah kata Teguh. Ia cukup percaya ide itu bisa direalisasikan karena sebelumnya pada 2000, Yos Amerta – Presiden Gabungan Usaha Wisata Bahari dan Tirta Indonesia (GAHAWISRI) – pernah mengajaknya melakukan proyek serupa. Namun urung terlaksana karena kendala dana.

Luas seluruh karya mencapai 9 x 7 meter, terdiri dari 16 modul dengan berat mencapai 3.2 ton.
Luas seluruh karya mencapai 9 x 7 meter, terdiri dari 16 modul dengan berat mencapai 3.2 ton.

Kali ini, Teguh beruntung. Mimpinya disambut oleh Lombok Hotel Association (LHA) yang bersedia mendanai. Tak lama setelahnya, dukungan datang dari Gili Eco Trust yang memperkenalkan Teguh pada teknologi Biorock, teknologi yang cukup dikenal dalam upaya penyelamatan terumbu karang penemuan seorang ilmuwan ahli kelautan asal Jerman, Prof. Wolf Hartmut Hilbertz pada 1974.  Teknologi itu memastikan instalasi seni Teguh benar-benar berfungsi menjadi media tumbuh yang tepat bagi terumbu karang. Bahkan, prosesnya bisa empat kali lebih cepat dari cara alami.

Perbedaannya, besi-besi karya Teguh berfungsi layaknya katode yang dialiri arus listrik bertegangan rendah yang bersumber dari lempengan panel sel surya yang mengapung di atas instalasi. Panel sel surya itu disumbangkan oleh perusahaan Contained Energy. Tidak perlu khawatir dengan tegangan listrik pada besi-besi karya Teguh. Begitu rendah tegangannya hingga tak membahayakan ikan-ikan ataupun penyelam yang berenang di sekitarnya.

Mengapa perlu dialiri listrik? Koordinator Gili Eco Trust, Delphine Robbe, menjelaskan saat pipa-pipa besi yang dialiri listrik bertemu dengan air laut maka terjadilah proses elektrolisis yang memecahkan unsur air laut menjadi gas hidrogen dan oksigen. Proses ini kemudian memicu munculnya lapisan kapur yang terdiri dari unsur kalsium karbonat dan magnesium hidroksida di permukaan besi. Kedua unsur itu penting untuk mendukung kebutuhan awal terumbu karang yang baru tumbuh untuk melekat di permukaan besi. Biasanya, proses itu dilakukan sendiri oleh ‘kuncup-kuncup’ terumbu karang.

***

Proyek seni ini dipersiapkan selama enam bulan sejak Februari 2014. Sebagai proyek pioneer dimulai dari pantai Senggigi. Kedepan,  Teguh berharap proyek percontohan ini dilanjutkan pihak-pihak lain hingga seluruh terumbu karang di perairan laut Lombok dapat diselamatkan. Menggunakan besi bekas bukanlah hal baru dalam karier berseni Teguh. Ia sudah mulai bereksperimen menggunakan besi-besi bekas sejak mengikuti program residensi di Wawasan Open University, di Penang, Malaysia pada 2007. Sementara, untuk teknik mengelas, membengkokkan, dan menyambung besi ia pelajari saat menempuh pendidikan di Fine Art – Hochschule Der Kunste di Jerman pada 1970-an.

Seluruh material besi dalam proyek ini dikumpulkan dari pasar-pasar loak ataupun tempat pengumpulan besi bekas di wilayah Lombok. Ada dua jenis besi yang ia gunakan, yakni lempengan tipis besi yang dipotong dalam bentuk abstrak dari pipa-pipa besi berukuran besar. Lempengan ini nantinya akan menjadi kanopi dalam instalasi Teguh. Lalu ada pipa-pipa besi berdiameter kecil yang akan menjadi tiang-tiang penyangga seluruh badan instalasi.

Meski terlihat ringan, total berat keseluruhan karya mencapai 3.2 ton. Bayangkan betapa beratnya mengangkat karya tersebut dari pinggir pantai dan meletakkannya di lokasi penanaman di tengah laut. Butuh 18 jam untuk mengangkat seluruh modul. Agar lebih ringan, Teguh memisahkan instalasi berukuran 9 x 7 meter itu menjadi 16 modul. Masing-masing modul terdiri dari tiga hingga empat lempengan kanopi. Modul-modul itu disambung kembali setelah tiba di lokasi penanaman menggunakan sekrup. Agar penyelam relawan yang membantu proyek ini tak salah pasang, Teguh menyediakan panduan khusus penyambungan.

Dengan teknologi Biorock, kuncup-kuncup terumbu karang bisa tumbuh lebih cepat hingga 4 kali dari teknik konvensional.
Dengan teknologi Biorock, kuncup-kuncup terumbu karang bisa tumbuh lebih cepat hingga 4 kali dari teknik konvensional.

Usai seluruh instalasi terpasang, beberapa potongan terumbu karang yang masih sehat diikat di beberapa titik instalasi. Listrik pun dialirkan. Menurut Teguh, tak sampai satu jam, ikan-ikan sudah mulai mengerubungi instalasinya. Ia berharap, dalam beberapa bulan kedepan terumbu-terumbu karang itu sudah tumbuh sehat menutupi seluruh permukaan karya instalasinya.

“Melalui proyek ini saya berharap masyarakat dan seniman-seniman lainnya bisa ikut belajar, bahwa kita bisa melakukan sesuatu sesuai dengan keahlian kita,” kata Teguh.

Mungkin sulit melihat proyek Teguh kali ini sebagai karya seni. Sebaliknya, lebih condong sebagai proyek lingkungan karena berangkat dari keprihatinan dan upaya Teguh menyelamatkan terumbu karang. Namun, coba ingat kembali saat Leonardo Da Vinci membantu mahasiswa-mahasiswa kedokteran menggambar sistem anatomi tubuh manusia. Kehandalannya dalam melukis justru menghasilkan sketsanya yang jauh lebih detail dibandingkan ‘karya’ para mahasiswa kedokteran. Begitu pula ratusan sketsanya tentang mesin dan senjata.

Lalu, apakah sketsa-sketsa itu tak terhitung sebagai seni? Apakah ketika ia melukis dan membuat sketsa untuk kepentingan lain diluar seni, karyanya tak bisa disebut karya seni? Leonardo da Vinci telah membuktikan bahwa seni dan ilmu pengetahuan bisa duduk berdampingan. Bahkan, saat ini sudah banyak seniman-seniman muda yang karya-karyanya lahir dari kegiatan eksperimen ilmu pengetahuan murni. Sebut saja Venzha Christiawan dan HONFablab dari Yogyakarta.

“Karya saya hanyalah kendaraannya, bukan tujuan akhir. Kita harus berpikir out of the box”.

Berikut beberapa foto seputar proyek :

BBB-ARTificial-REEF-Lombok-May2014 097     BBB-ARTificial-REEF-Lombok-May2014 074

BBB-ARTificial-REEF-Lombok-May2014 093