Jika ada agenda arsitektural yang paling ditunggu mendekati penghujung tahun 2017 ini, mungkin The 16th International Architecture Exhibition La Biennale di Venezia jawabannya.
Pameran akbar dua tahunan yang kerap disebut Venice Architecture Biennale ini selalu menjadi barometer dalam membaca arah pergerakan arsitektur global di masa depan. Keikutsertaan Indonesia dalam ajang ini tak semata terkait pride sebagai bangsa, tapi juga bisa dibaca sebagai sebuah “kehadiran” dalam percaturan global arsitektur dunia.
Biennal arsitektur yang rencananya akan dihelat mulai dari Mei hingga November 2018 nanti akan menandai keikutsertaan Indonesia untuk kedua kalinya setelah 2014. Pernyataan keikutsertaan dikukuhkan dengan terpilihnya tim kurator yang diketuai arsitek Ary Indra melalui sayembara terbuka yang diinisiasi Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) dengan Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) pada 15 Oktober 2017 lalu.
Baca juga Material Bambu dan Pola Geometris di Europalia 2017
Proposal yang diajukan tim kurator mengangkat konsep “Sunyata”, yang dalam bahasa Sanskrit berarti kekosongan. Konsep ini akan menggarisbawahi aspek “spirit” dan akan menjadi penjelajahan tentang kualitas ruang yang cair pada ruang publik kita.
Menurut ketua panel juri, Gunawan Tjahjono, konsep “Sunyata” dipilih karena menjadi titik masuk yang penting dalam membangkitkan kesadaran akan hal-hal yang tak terukur dari sebuah ruang. Konsep ini akan mengantar kita untuk mengerti karakter “keluhuran arsitektur” jauh sebelum arsitektur yang terukur, seperti yang kita kenal sekarang hadir.
Tema ini dipilih untuk merespons tema “Freespace”, yang menjadi tema utama The 16th International Architecture Exhibition La Biennale di Venezia. Kata kunci “free” dapat diterjemahkan menjadi “bebas” atau “kemerdekaan” (freedom), dan kata ini sebenarnya menjadi atribut yang kontradiktif ketika disematkan ke dalam “ruang” yang secara teknis selalu merupakan sesuatu yang lahir dari batas-batas yang diciptakan.
Duet arsitek perempuan dari Irlandia, Yvonne Farrell dan Shelley McNamara, yang didapuk menjadi kurator utama, dalam rilis resminya, mengungkapkan bahwa tema “Freespace” memang dipilih untuk menggarisbawahi kapasitas arsitektur dalam “menjahit” aspek-aspek yang cair dalam sebuah ruang, seperti sejarah, waktu, konteks dan tempat, juga manusia yang berada di dalamnya.
Baca juga Menaksir Partisipasi dalam Pariwisata Desa
Tema ini diharapkan mampu meneruskan arah kuratorial yang sudah dimulai Alejandro Aravena di tahun 2016. Saat itu, arsitek “dipancing” untuk melihat kembali secara kritis konteks sosial-politik yang melingkupi ekosistem praktiknya.
Namun, jika Aravena mendekati tema-tema sosial dari kaca mata arsitek sebagai pelaku, maka duet arsitek dari biro Grafton ini memilih pendekatan dari kualitas arsitekturnya, tepatnya kualitas ruang-ruang publik.
Jika melihat kembali arahan kuratorial dalam dua penyelenggaraan terakhir, akan terasa bahwa tema untuk Biennale ke-16 nanti memang terbilang generik. Pada 2014, tema “Fundamentals” yang digagas Rem Koolhaas terbilang sangat spesifik dengan mencoba menggeser penekanan pameran arsitektur dari “etalase arsitek” menjadi ajang riset dan diskursus tentang arsitektur dan sejarahnya selama 100 tahun terakhir.
Begitu pun di tahun 2016, kurator Alejandro Aravena berhasil “memanaskan” diskursus arsitektur global dengan tema “Reporting from The Front” yang mendorong diskursus tentang arsitektur menjadi diskursus lintas batas. Arsitektur dan praktik profesi arsitek ditajamkan oleh “yang lain” di luar arsitektur.
Baca juga Bali Hotel dan Singgahnya Negarawan Dunia
Bagi David Hutama, salah satu anggota tim kurator terpilih, tema kali ini memang terasa lebih “bebas”. Tema generik, baginya, memberi ruang eksplorasi yang luas untuk melihat kembali ruang secara radikal. Namun di sisi lain, kesempatan ini juga bisa berakhir menjadi sekadar eksposisi ruang ketika sumber daya untuk menggali tidak tersedia.
Beberapa negara yang telah mengumumkan tema kuratorial mereka pun terlihat merasakan tantangan yang sama. Tema “Dimensions of Citizenship” yang digagas Amerika Serikat, menjanjikan sebuah cara pandang kritis terkait kebijkan pemerintahan Trump mengenai imigran dan bagaimana arsitektur menjadi titik lintas dari isu hukum, politik, ekonomi, relasi-relasi sosial.
Tema lain yang cukup “menggigit” dihadirkan tim kurator dari paviliun Israel yang secara berani mengangkat tema “In Status Quo: Architecture of Negotiation”, sebuah tema yang ingin menggali lebih dalam mengenai politik ruang yang terjadi pada tempat-tempat suci yang dipakai bersama secara lintas agama.
Pameran yang akan dibuka pada Mei 2018 diprediksi akan menjadi ajang pertukaran pengetahuan yang kaya, terutama ketika melihat tawaran-tawaran tema kuratorial dari negara-negara peserta sejauh ini.
Jika dilihat dari posisinya yang strategis, pameran internasional bisa dikatakan sebagai panggung budaya. Arsitektur Indonesia pun seharusnya berani tampil secara tajam dan berani bereksplorasi, tidak hanya terkait isu terkini, namun juga lintas ilmu.
Baca juga AFAIR UI 2016 Pamerkan Model Arsitektur Kontekstual
Beban kerja budaya seperti ini tak pelak menjadi tugas yang tak ringan, mengingat tema kuratorial terpilih pun cukup menantang. Namun begitu, optimisme terhadap performa tim kurator paviliun Indonesia tak lantas pupus.
Bagaimanapun, perjalanan masih panjang, dan tantangan sulit ini bisa berbuah manis ketika disikapi dengan kemauan bereksplorasi yang sama besarnya.
Sylvania Hutagalung – penulis arsitektur