Apa jadinya jika teknologi menjadi sebuah medium untuk menciptakan karya seni? Jawaban pertanyaan itu muncul dalam pameran seni media bertajuk “Internet Of (No) Things : Ubiquitous Networking and Artistic Intervention” yang menampilkan karya seni media dari seniman Indonesia dan Jepang.
Pameran ini merupakan rangkaian Indonesia Netaudio Festival 3.0, yang sebelumnya dikenal dengan Indonesia Netlabel Union. Mengambil tempat di Jogja National Museum pada 18 Agustus lalu, festival yang telah menginjak kali ketiga ini sebelumnya pernah berlangsung di Bandung (2014) dan Yogyakarta (2012). Sejumlah musisi, seniman, penggerak budaya alternatif, kurator, dan praktisi media dari Indonesia dan Jepang terlibat dalam festival ini untuk bersama-sama mengkaji budaya, berbagi, dan intervensi artistik ditengah ledakan informasi pengguna internet saat ini. “Sharing Over Netizen Explosion” dipilih menjadi tema utama festival dan digagas atas kerjasama Indonesia Netaudio Forum (INF) dengan Japan Foundation Asia Center.
Sedangkan pameran “Internet Of (No) Things : Ubiquitous Networking and Artistic Intervention” merupakan program khusus yang menampilkan karya dari dua negara yang menggunakan teknologi dan wacana sosial-budaya di era digital, serta menafsirkan secara visual material dan ide yang diciptakan oleh transformasi budaya dan infrastruktur internet.
Fenomena Teknologi Jaringan
Pameran yang menampilkan 9 karya dari masing-masing seniman ini dikuratori oleh Riar Rizaldi, seniman dan peneliti seni media. Pada tahun 2017, Riar terlibat sebagai kurator dari pagelaran ARKIPEL Jakarta International Documentary & Experimental film Festival.
Dalam catatan kuratorialnya, Riar menangkap sebuah fenomena tentang teknologi jaringan (internet) yang hadir dalam setiap kehidupan manusia. Hal ini mempengaruhi cara berkomunikasi serta merekonstruksi teknik kontemporer yang telah eksis; seni, sinema, bioteknologi tata kelola digital dan platform capitalism.
Fenomena tersebut berujung kepada sebuah pertanyaan, “ketika kehadirannya sangat masif di mana-mana, tantangan seperti apa yang dihasilkan oleh teknologi jaringan dan infrastruktur nya dalam ranah kegiatan budaya?”, tulis Riar.
Salah satu tantangan yang dihadapi manusia di era digital terlihat pada karya Soliloquy dari Tromarama, kolektif yang dibentuk pada tahun 2006 dan beranggotakan Febie Babyrose, Herbert Hans, dan Ruddy Hatumena.
Soliloquy ditampilkan dalam bentuk instalasi lampu tidur kelap kelip yang dihubungkan oleh kabel yang sengaja di instal berantakan di sekitar lampu. Lampu-lampu ini seolah-olah dihubungkan oleh satu sumber listrik, namun menghasilkan irama kelap-kelip yang acak. Karya ini terkesan mengkritik, merefleksikan, bahkan memparodi kan sikap-sikap penggunaan teknologi jaringan terhadap penggunanya yang kerap kali menimbulkan sikap anti sosial, kecanduan internet, dan kesepian.
Bayi Dari Hubungan Sesama Jenis
Fenomena teknologi jaringan juga dapat dilihat pada karya Ai Hasegawa. Seniman perempuan 33 tahun dari Jepang ini kerap menggunakan tema tentang hubungan manusia dan teknologi dalam karya-karyanya.
Seniman yang meraih penghargaan Excellence Award di Japan Media Art Festival (2015) ini menampilkan karya berjudul “(Im)Posible Baby, Case 01 : Asako & Moriga”. Karya ini merupakan sebuah proyek fotografi yang menampilkan anak dari hubungan sesama jenis dalam sebuah potret keluarga.
Penelitian Reproduksi sesama jenis ini telah dilakukan oleh Cambridge University, Inggris dan Sains Weizmann Institute of Science, Israel. Melalui karya ini Hasegawa mencoba memproyeksikan nya dalam citra fotografis.
Dalam prosesnya, Hasegawa menggunakan alat penganalisis DNA dari 23andMe untuk mendapatkan data DNA pasangan sesama jenis, yang kemudian disimulasikan dalam citra fotografis. Dari serangkaian data genetika yang didapatnya, ia mencoba memproyeksikan penampilan dan kepribadian keturunan dari pasangan berjenis kelamin sama tersebut yang ternyata hanya bisa menghasilkan bayi berkelamin perempuan.
Terdapat pula skema yang mengilustrasikan cara menghasilkan sperma dari perempuan, yakni dengan mengurai beberapa sel seperti sel somatic dan IPS.
“Meskipun pada saat ini spekulasi tersebut dapat dikatakan sebagai “spekulasi yang mustahil”, penelitian terbaru yang terkait dengan sel IPS menunjukkan bahwa reproduksi sesama jenis mungkin bukan hanya fantasi belaka” tulis Hasegawa dalam konsep karyanya.
Terdapat dua seri foto keluarga yang ditampilkan dari proyek seni ini, salah satunya memperlihatkan adegan dua orang anak perempuan yang sedang berlari di depan orang tua homo seksual mereka.
Dua anak tersebut adalah imaji fiktif, Hasegawa sekiranya berhasil memvisualkan reproduksi sesama jenis ini melalui wajah yang seolah-olah terkombinasi dari dua pasangan sesama jenis tersebut.
Selain itu, Hasegawa juga mampu membangun karakter dari imaji fiktif ciptaannya melalui potongan rambut, gestur, gaya busana, hingga ekspresi wajah yang menjadikan foto ini seolah-olah diambil dari kehidupan yang nyata.
Tidak hanya sekadar memvisualkan hasil penelitian tersebut, Hasegawa lebih memprovokasi kita untuk membicarakannya. Setuju atau tidaknya tentang penelitian ini kembali diserahkan kepada audiens melalui contoh realitas dalam citra fotografis yang dihadirkan.
Indonesia Netaudio Festival 3.0
Pameran Seni Media : Internet Of (No) Things : Ubiquitous Networking and Artistic Intervention
18-28 Agustus 2018, Jogja National Museum
Jl. Amri Yahya no. 1, Yogyakarta
jogjanationalmuseum.com
Ticket : Free