Hibah Cipta Perdamaian di kawasan Indonesia Timur menjadi alternatif para seniman mengejawantahkan respons terhadap konflik di masyarakat. Menjadi amat disayangkan karena dana yang dikucurkan harus terhenti.
Sulitnya akses informasi, komunikasi, dan lokasi adalah masalah jamak ketika membahas pengembangan seni di pelosok timur Indonesia. Sementara itu, keterbatasan dana dan wadah untuk menuangkan gagasan tentang isu sosial dan konflik adalah persoalan lain yang harus dihadapi para seniman dan pegiat budaya di Indonesia Timur.
Persoalan inilah yang dihadapi Yayasan Kelola saat memulai program Hibah Cipta Perdamaian pada 2015 bersama Center for Kultur og Udvikling (CKU) Denmark. Semula, pusat kebudayaan dan pembangunan dari Denmark tersebut mengajak Kelola untuk membuat program hibah pengembangan di bidang seni dan perdamaian di wilayah Indonesia Timur. Program ini sedianya diharapkan bisa mendukung seniman, komunitas seni, dan LSM budaya untuk makin aktif membuka dialog tentang isu dan permasalahan sosial di wilayahnya dengan pemangku-pemangku kepentingan lain.
“Saat itu, Kelola belum punya program yang intens di Indonesia Timur. Sementara itu, hanya sedikit partisipan dari sana yang mengikuti program reguler Kelola, seperti Hibah Cipta Seni atau Hibah Cipta Perempuan. Belakangan kami sadari bahwa salah satu alasannya adalah tidak sedikit dari mereka yang kurang bisa mengakses informasi dan peluang belajar, berkarya, terlebih memperkuat jejaring seni, karena minimnya infrastruktur di wilayah mereka,” ujar Gita Hastarika, Program Manager Yayasan Kelola.
Kelola kemudian memulai survei ke sejumlah kota yang diperkirakan memiliki banyak komunitas seni dan cocok untuk menggagas masalah perdamaian di masyarakatnya. Terpilihlah empat kota, yakni Mataram, Makassar, Kendari, dan Palu untuk ditelusuri lebih jauh sebelum mengeksekusi program hibah. Pembatasan area survei ini, menurut Gita, juga dikarenakan kurangnya program pendahulu dan jejaring Kelola di Indonesia Timur, meskipun sebelumnya sudah ada beberapa seperti program Magang Nusantara. Dari sejumlah alumni Magang Nusantara dan Hibah Seni, tim Kelola kemudian menyambangi empat kota tersebut untuk riset awal lokasi dan potensi peraih hibah.
Di Kendari, tim Kelola mendapati konflik yang terjadi tidak horizontal seperti di Poso dan di Ambon. Meski demikian, kota ini menjadi lokasi banyak tambang baru yang memicu friksi di masyarakat setempat. Di Palu, mereka menemukan banyaknya kerusuhan seperti pembakaran, konflik antaretnis, dan kasus pertikaian yang mengakibatkan korban jiwa. Sementara itu, konflik mahasiswa, polisi, dan masyarakat menjadi hal yang kerap terjadi di Makassar. Lain halnya dengan kota-kota di Sulawesi tersebut, Mataram di Nusa Tenggara Barat yang dicanangkan sebagai zona wisata halal dihadapkan dengan ramainya penetrasi perusahaan asing.
Ulasan lengkap Merajut Damai lewat Program Hibah dapat dibaca di majalah SARASVATI edisi Februari 2017