Dua nama besar, yang satu seniman visual yang satu sastrawan (dan kini juga merambah dunia lukis): Hanafi dan Goenawan Mohamad (GM). Tidak ada konsep, tidak ada diskusi sebagai preseden, hanya dialog di atas kanvas. Menyahut, menyambut, dan mengaburkan identitas. Lalu bagaimanakah dengan hasil dialog dari mereka berdua?
Pertama, sangat penting untuk meninjau kembali metode yang digunakan. Hal ini akan mempengaruhi pertimbangan secara mendalam aspek-aspek visual yang dihasilkan.
Kolaborasi di dalam dunia seni gencar pada era Dada dan Surealisme. Seniman era ini berlomba-lomba untuk menguji batas seni. Bermain dengan medium, ide, dan juga kolaborasi. Contohnya, Man Ray dan Duchamp dengan potret-potret Rrose Sélavy (alter ego Duchamp); Hans Richter, Man Ray, dan John Cage pada film Dream That Money Can Buy (1947). Metode kolaborasi terus diolah khususnya pada 1960 hingga kini. Pada akhirnya, metode ini pun menjadi penanda penting transisi dari seni modernis ke postmodern (dalam hal ini kontemporer)
Kolaborasi-kolaborasi artistik kontemporer yang cukup berhasil diantaranya adalah Andy Warhol-Basquiat, Gilbert-George, dan Marina Abramovic-Ulay. Bahkan pada Abramovic-Ulay, kolaborasi dilakukan cukup panjang sehingga membentuk identitas ketiga. Akan tetapi, belum ada kolaborasi artistik di atas kanvas antara seniman visual dan sastrawan.
Kolaborasi seniman visual dan sastrawan sendiri secara historis berakar dari ekphrasis (menulis tanggapan terhadap seni). Sastrawan dipaksa untuk menerjemahkan bahasa visual ke dalam lambang-lambang verbal. Cara ini juga menawarkan ruang dialog khusus dari berbagai bidang terhadap kegiatan artistik. Metadialog dituturkan, diolah, dan disebarkan pada ruang-ruang interdisiplin.
Pada dasarnya, sastrawan dan seniman tidak jauh berbeda. Sastrawan menciptakan karya sastra sebagai tangggapan terhadap karya seni. Mereka menggunakan kata-kata sebagai cara melihat. Terlepas apakah penyair menanggapi pelukis atau pelukis pada penyair, yang jelas masing-masing berbicara secara bergantian dalam dialog artistik yang dihasilkan oleh kolaborasi. Persoalannya, kolaborasi keduanya memiliki batas-batas linguistik nyata sehingga untuk mendobrak antar domain dirasa masih sukar.
Alasan itulah yang kiranya membuat gagasan dalam pameran 57×76 menarik. Pameran ini menawarkan kebaruan dalam mendobrak batas-batas domain artistik. Melewati sekat-sekat linguistik dan mencurahkannya pada berbagai macam dialog di atas kanvas.
Hanafi yang pertama kali mencetuskan ide kolaborasi. Ia sadar bahwa proses kolaborasi tidak dapat dilakukan dengan orang yang tidak memiliki hubungan kedekatan. Baik hubungan interpersonal, maupun ide. Ia pun memilih GM yang memang secara pribadi dekat dengan Hanafi. Sementara dalam hal ide dan gaya berkarya, keduanya sama-sama puitik, menyajikan metafora dan lambang-lambang.
Selama proses kolaborasi berlangsung, tidak ada konsep maupun perbincangan tentang teori. Semuanya dilakukan secara tidak sengaja dan impulsive. Satu melukis lalu dilemparkan ke yang lain. Entah siapa yang mulai, Hanafi atau GM, tidak ada yang tahu. Metodenya tidak ketat, cenderung cair dan terbuka.
Selama 6 bulan, keduanya saling merespons dan memprovokasi hingga menghasilkan sekitar 200 karya. Cukup banyak untuk waktu yang singkat. Sebagian karya-karyanya juga tidak berjudul, hanya garis-garis yang kadang terlihat bekejaran tapi lantas membaur. Beberapa garisnya juga terlihat jenaka, seperti ureg-uregan anak kecil. Iseng, ingin tahu, dan tidak dipenuhi praduga.
Selain itu, karya-karya yang didominasi oleh penggunaan garis ini terlihat apik pada ukuran kecil. Hanafi dan GM memang lekat dengan penggunaan garis. GM yang seringkali menulis secara tidak langsung membentuk garis-garis biomorfisnya sendiri. Sementara sapuan kuas membentuk garis dan bidang abstrak merupakan ciri khas dan keahlian Hanafi. Garis-garis tersebut melebur dan menyatu di dalam karya-karya berukuran kecil. Terlihat simpatik, riang, dan terbuka. Karya-karya berukuran kecil ini dipasang memanjang mengelilingi bidang pasir sehingga pengunjung dibiarkan secara leluasa menikmati karya-karya. Tidak secara rigid memaksa gesture pembacaan pengunjung.
Namun, pameran ini juga tidak luput dari kekurangan. Beberapa lukisan cenderung terlihat banal. Absennya konsep mungkin menjadi salah satu penyebab. Terlebih lagi keduanya berasal dari domain yang tidak serupa meski bersinggungan satu sama lain.
Lukisan berjudul “Revolusi Prancis di Atas Meja Kaca”, menggambarkan fragmen sosok terkenal di dalam sejarah estetika Barat. Pada sebagian besar bidang kanvas, sosok pria berbalut kain di kepala seperti tergeletak duduk dengan tangan terkulai. Tertulis nama A Marat-David. Secara jelas merujuk pada lukisan La Mort de Marrat karya Jacques Louis David. Bagian atas kanvas, figure perempuan membawa bendera Prancis. Pastinya adalah sosok Marianne dari Liberty Leading the People karya Delacroix. Menyambut iring sosok Marat pada satu bidang kanvas.
Masih di ruangan yang sama, terpampang sederet lukisan yang menyadur maestro besar: Penangkapan Diponegoro dan Picasso. Alih-alih dibuat secara heroik, lukisan Pangeran Diponegoro dilukiskan secara banal dan jenaka. Namun, lukisan-lukisan tersebut memang bukan milik maestro yang asli tapi hasil kolaborasi Hanafi-GM. Cakupan narasi estetika Barat meluas ke lukisan berjudul Marx Ernst. Menampilkan portrait Ernst mengenakan magnum opus-nya, The Hate Makes the Human. Di samping rujukan pada Ernst, Hanafi dan GM juga menunjukkan kekaguman mendalam terhadap seniman kontemporer Art Informel, Antoni Tapies. Kekaguman mereka dimunculkan secara grandeur pada tanda “x” di judul pameran.
Meski tanpa konsep, dari sini terlihat bahwa tautan estetika Barat Hanafi-GM cukup kuat dalam ketidaksadaran. Oleh karena itu, karya-karya mereka pun dimaksudkan untuk mengaburkan magnum opus para maestro besar Barat. Akan tetapi, penggunaan judul yang gamblang dengan pengaburan yang masih representatif malah dapat membatasi karya. Pasalnya, seniman menunjuk dan mendikte langsung pembacaan atas karya mereka. Alhasil, karya pun akan terkesan banal.
Hal menarik lainya adalah pengejewantahan ruang pameran. bidang-bidang kanvas yang berusaha diluaskan pada dimensi ruang membuat pameran ini terlihat lebih cair. Pengunjung diajak bermain dalam imajinasi Hanafi-GM melalui ruang-ruang pamer yang tidak terduga. Untuk memasuki ruang pamer selanjutnya, pengunjung harus menunduk melewati sekat-sekat. Layout pamerannya pun tidak monoton dan cenderung menyenangkan. Bahkan, terdapat pula ruang kontemplasi yang mengizinkan penonton berlama-lama menikmati karya.
Sayangnya, ada beberapa pengejawantahan ruang dan material yang cukup membingungkan. Misal, instalasi besi payung mirip Golconde-nya Rene Magritte. Tidak adanya penjelasan menyebabkan fungsi instalasi ini cukup dipertanyakan. Mungkin instalasi ini ditujukan sebagai penghantar bagi narasi-narasi dialog Hanafi-GM. Penggunaan pasir pada tata lukisan di bidang yang memanjang juga membuat terheran. Terlepas bahwa material pasir memang sering ditemui pada karya Tapies. Tidak ada korelasi yang jelas dengan karya dan penggunaan material. Malahan dikhawatirkan mengurangi estetika karya-karya yang ditampilkan.
Memang tidak dapat disangkal bahwa proses kolaborasi yang tanpa konsep membuat karya terlihat banal. Pertimbangan visual seakan luput dalam metode ini. Mengedepankan murni dialog dan impulsivitas ide. Meski Hanafi mengatakan tidak ada karya yang baik maupun buruk, tapi merujuk pada tradisi kritik perlu diperjelas antara yang baik dan tidak. Ada beberapa karya dalam pameran yang baik dan simpatik, sedangkan sisanya dieksekusi secara dangkal. Entah memang dimaksudkan banal sebagai konsekuensi asas terbuka, yang jelas pameran ini menawarkan kebaruan serta kesegaran dalam hal metode atau cara. Tentunya, metode kolaborasi ini menawarkan percakapan yang terbuka, melampaui batas antara medium dan membangun jembatan yang menghubungkan domain artistik dan menciptakan kedekatan.
Terakhir, mencermati karya-karya kolaborasi artistik memang bukan melulu persoalan selera retina. Namun juga mesti dipahami sebagai bentuk modifikasi yang diperlukan untuk bertahan di seni kontemporer, sebagaimana yang dikatakan kritikus seni Boris Groys “perhaps contemporary art is an art to survive our contemporaneity as an artist.”