Bio Fantasy oleh Melissa Sunjaya. (Foto: Istimewa)

Sosok Chairil Anwar dikenal bebas dan liar dalam meramu kata dalam karya-karya sastranya. Banyak orang mengenal puisinya yang tersohor seperti Aku dan Krawang-Bekasi.

Namun demikian, informasi tentang karya, kehidupan, dan idealisme Chairil Anwar sangat sulit ditemukan hari ini. Masalah inilah yang coba diurai Melissa Sunjaya dengan menerbitkan buku Bio Fantasy.

Dalam buku yang dirilis pada akhir September tersebut, seniman lulusan Art Center College of Design, Amerika Serikat ini memuat 75 puisi karya Chairil Anwar, masing-masing terjemahannya oleh Burton Raffel, prosa Melihat Puisi, Membaca Lukisan, 75 karya seni rupa abstrak yang menyembunyikan kaligrafi kutipan puisi sang pujangga, dan karya fiksi Melissa yang terinspirasi Chairil Anwar beserta ilustrasinya.

Susahnya akses ke karya lengkap dan pembahasan mendalam tentang sosok Chairil Anwar ditemui Melissa saat memulai riset untuk proyek seni Bio Fantasy pada 2013. Dalam riset tersebut, pendiri brand aksesori mode Tulisan ini semula ingin memasukkan bait-bait liar sang penyair ke dalam karya tentang interaksi manusia hari ini yang kering emosi.

Naskah Sajak Buat Basuki Resobowo yang dicoreti Chairil Anwar. Koreksi Anwar membuat beberapa puisi Basuki hadir dalam sejumlah versi. (Foto: dok. Tim Tulisan)
Naskah Sajak Buat Basuki Resobowo yang dicoreti Chairil Anwar. Koreksi Anwar membuat beberapa puisi Basuki hadir dalam sejumlah versi. (Foto: dok. Tim Tulisan)

Yang mengejutkan, ternyata sangat sulit mencari kumpulan puisi lengkap atau biografi sang penyair. “Ada tiga buku komersil yang saya datangi, tapi tidak saya temukan. Padahal pujangga legendaris seperti dirinya seharusnya punya fasilitas itu di mana-mana,” cetus Melissa.

Pencarian di internet mempertemukannya dengan buku Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45 karya H.B. Jassin yang menjadi koleksi Perpustakaan Nasional—yang notabene tidak boleh dipinjam untuk bawa pulang. Lewat penelusuran di situs belanja Amazon, Melissa kemudian menemukan The Voice of The Night, Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar.

Buku lengkap tentang Chairil Anwar dan karya-karyanya dalam bahasa Indonesia dan Inggris ini disusun dan diterjemahkan oleh Burton Raffel, sastrawan kenamaan asal Amerika Serikat dan guru besar sastra di University of Louisiana at Lafayette, AS. Melissa lalu terbang ke Louisiana untuk bertemu Burton langsung pada Maret 2015.

“Dia menjelaskan, beberapa bulan sebelum meninggal dunia, sangat susah bagi pujangga mana pun untuk mencapai prestasi budaya yang Chairil Anwar persembahkan ke dalam sastra Indonesia,” kata Melissa.

Melissa Sunjaya. (Foto: Dok. Tulisan)
Melissa Sunjaya. (Foto: Dok. Tulisan)

Pengertian Burton yang mendalam tentang kepelikan bahasa, menurut Melissa, terlihat dalam hasil terjemahannya, di mana tiap elemen mengikuti kalimat aslinya. Dengan cara demikian, pria yang tutup usia pada 2015 ini berhasil menyusun kata-kata Chairil Anwar untuk memiliki kekuatan yang sejajar dalam bahasa Inggris seperti dalam bahasa Indonesia, hingga makin menarik untuk diajarkan dan ditelaah mahasiswa di sana.

“Dari Burton saya tahu bahwa Chairil Anwar begitu dikenal di luar negeri, bahkan puisinya diajarkan dan ditelaah para mahasiswa sastra di University of Louisiana at Lafayette. Sementara itu, saya sebagai orang Indonesia, nyaris tak mengenalnya,” ujarnya.

Baca juga Kitab Kuliner Warisan Sukarno Diterbitkan Ulang

Meski asing baginya, sosok Anwar yang dibaca Melissa selalu digambarkan liar, emosional, radikal, dan revolusioner, selaiknya tokoh utama Angkatan ’45 dan sastra kontemporer. Penggambaran ini diduganya turut andil menjadikan Anwar seolah  jauh dan tidak relevan dengan kehidupan pemuda biasa zaman kini.

“Saya pun telat tahu dan kenal dia. Mitos Chairil Anwar yang besar melumpuhkan ketertarikan kita padanya, seolah-olah Anwar bisa membuat karya besar karena sudah hebat dari sananya. Seolah-olah tidak bisa ditiru lagi oleh anak-anak kini. Padahal jika kita telusuri lebih jauh, kemampuannya menguasai bahasa Inggris, Belanda, dan Jerman, misalnya, tidak lepas dari tuntutan semasa sekolah yang mengharuskannya menulis ratusan tulisan setiap tahun,” ujar Melissa.

Dari kemampuan berbahasa itulah, Anwar kemudian dapat mengakses referensi sastra dan pemikiran tokoh-tokoh internasional yang diterbitkan dalam berbagai bahasa asing, menelaahnya, dan menyerapnya ke dalam karya.

Hal lain yang Melissa garis bawahi adalah kemahiran berbahasa asing pun tidak mengantarkan Chairil Anwar jatuh menyerap kata dan menggunakannya ke dalam tulisan. Sementara bahasa Indonesia hari ini kian menyerap dari bahasa luar, Chairil telah memulai dengan menggunakan bahasa Indonesia dengan amat intim.

“Ada banyak percobaan dan kritikan dari dirinya sendiri terhadap puisi-puisinya. Banyak kata-katanya yang penuh coretan, bahkan satu puisinya ada yang memiliki 12 versi,” kata Melissa. Karakter bahasa romantis realistik khas Angkatan 45 yang diusung Anwar—di samping eksperimen-eksperimennya yang lain—banyak mendapat tentangan kala itu.

“Yang tidak diterima orang-orang di masanya nyatanya bisa amat bermanfaat dan berpengaruh untuk kita hari ini,” tambahnya. Hal inilah, menurutnya, yang seharusnya perlu ditekankan pada anak muda—untuk tidak takut bereksperimen dan menjadi berbeda.

Distorsi sosok sang pujangga legendaris di mata masyarakat, ditambah sulitnya akses ke kumpulan puisi lengkap pun biografi Anwar inilah yang menggenapkan niat Melissa untuk mengemas sepaket karya yang menarik, baik bagi anak-anak kecil maupun orang dewasa sepertinya. Membuat buku kemudian menjadi jalan yang pertama terlintas di benak ibu dua anak ini untuk mengemas ide tersebut.

“Namun bagaimana caranya jika mereka sendiri enggan untuk membaca?” katanya. Dari hambatan ini, Melissa kemudian terlebih dahulu menuangkan karya Chairil Anwar lewat pameran seni rupa “Bio Fantasy: A Tribute to Chairil Anwar” di Galeri Salihara, Jakarta, Agustus 2016 lalu.

Puisi-puisi Anwar disandingkan dengan karya abstrak interaktif Melissa yang menyembunyikan kutipan bait-bait puisi sang pujangga. Kutipan ini ditulis dalam bentuk kaligrafi yang hanya bisa dilihat lewat lensa merah yang disediakan di bawah tiap karya.

Karya-karya giclée archival impression tersebut kemudian dikemas bersama ke-75 puisi Chairil Anwar dan terjemahannya dalam buku Bio Fantasi, lengkap dengan lensa merah untuk mengintip sekutip larik sang penyair.

Buku ini, kata Melissa, setidaknya bisa mengajak publik untuk mencoba mengenal bait-bait mencekam karya Chairil Anwar. Atau syukur-syukur, mau menyambangi Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin yang lengang untuk menelusuri arsip-arsip karya dan hidup sang pujangga dan sastrawan berjasa lainnya.