Murni? Menjadi tema yang diangkat dalam selebrasi seni ICAD (4 Oktober – 15 November 2017) kali ini. Perihal kemurnian memang kerap menjadi pertanyaan baik secara langsung maupun tidak langsung. Tidak langsung maksudnya didiskusikan diam-diam, dipikirkan dalam hati tanpa sempat diutarakan secara verbal.
Murni? by ICAD seolah mengajak masyarakat untuk berdialog dengan makna murni itu sendiri. Sejauh mana kita memaknai murni, apakah murni itu memang sejatinya ada atau hanya semu? Pantaskah kita mendapatkan murni?
Murni? juga bukan hanya pencarian objek saja tetapi relasi antarmanusia yang terus mengejar esensi dalam sebuah hubungan. Salah satu seniman/pekerja kreatif yang menerjemahkan Murni? dengan material kompleks namun puitik adalah Teddy Soeriaatmadja.
Lewat karyanya A Place for Us to Dream Teddy mengajak kita menemukan abjad-abjad yang tercecer mengenai pemaknaan sebuah hubungan (yang bisa dikatakan romansa). Teddy menyusun karyanya dalam sebuah ruangan ber-AC. Ada tempat tidur dengan selimut setengah tersibak dimana terdapat dua lengkung bekas sepasang manusia tidur saling membalikkan badan.
Di dua sisi tempat tidur ada meja yang sangat kontradiktif. Di meja sisi kiri ada Al-Quran, tasbih, telepon genggam dengan lampu meja dalam kondisi mati. Sedangkan di meja sisi kanan ada buku Adultery karya Paulo Coelho yang terbalik, kacamata kemudian lampu meja dalam kondisi hidup.

Sutradara film Lovely Man ini seolah mengingatkan kembali apa arti kemurnian dalam sebuah hubungan. Kebersamaan tidak perlu memiliki harapan dan mimpi yang sama kan?
Kau boleh membaca Al-Quranmu tapi aku tetap bisa setia dengan Paulo Coelhoku.
Kau boleh tidak mematikan lampu saat tidur, toh kita tetap berada dalam ruangan sama dengan suhu kurang dari 200 Celcius ini.
Sekiranya percakapan-percakapan imajinasi inilah yang akan menggenang dalam pikiran kita saat memasuki ruangan tempat Teddy menuangkan karyanya tersebut. Kemurnian bukan berarti segala sesuatunya harus sama dan selaras.
Baca juga Tiga Narasi Asia Tenggara dalam Asian Three-Fold Mirror
Bagaimana mau mengharapkan segala sesuatunya sama sedangkan dalam mimpi ketika tidur saja kita berbeda? Bukankah perbedaan membuat hubungan lebih beragam? Dan ketidaksempurnaan itu sendiri yang memurnikan hidup? Pertanyaan-pertanyaan tentang kemurnian menjadi tema yang asyik dan “berisi” untuk dijadikan bahan diskusi baik secara personal maupun massal.
Selain karya Teddy, yang mencolok lainnya ada Erwin W. Pranata yang membicarakan hidup nan penuh dengan paradoks lewat atribut-atribut hotel yang berantakan.
Sindiran Antonio S. Sinaga lewat karya kolasenya juga membuat kita terhenyak akan pemikirannya yang mengajak kita untuk mengolase pengetahuan tentang agama supaya tidak kehilangan makna.

Pada akhirnya memang hidup selayaknya seperti karya yang dituangkan Noro Ardono & Intan Pradina ini. Tiga karakter lampu yang mewakili kegelisahan manusia masa kini. Sejatinya semua orang memiliki “lampunya”. Problemnya dimana dia meletakkan lampu tersebut? Apakah dalam kondisi mati atau hidup?

Pameran Indonesian Contemporary Art & Design 2017 (ICAD) ini akan berakhir di 15 November. Cukuplah kiranya waktu untuk menikmati karya-karya luar biasa dari 50 seniman, desainer dan pelaku kreatif lainnya.
Baca juga Karya Arsitektur IAWS Dipamerkan di Roemah Seni Sarasvati