Farid Shan di tengah-tengah karyanya, dalam pameran tunggalnya ke-18, di Four Seasons Hotel, Jakarta.

Farid Shan di tengah-tengah karyanya, dalam pameran tunggalnya ke-18, di Four Seasons Hotel, Jakarta.

Farid Shan di tengah-tengah karyanya, dalam pameran tunggalnya ke-18 di Four Seasons Hotel, Jakarta.

Tumbuh menyaksikan beragam kebudayaan Indonesia, kini ia gundah karena kekayaan itu justru dilupakan.

Suci Dian Hayati

“Jika sebuah negara tak lagi memiliki kebudayaan, apalagi yang dia punya?” kata Farid Shan, seniman lukis kelahiran Bangkalan, pulau Madura yang kini sudah menetap di Citayam, Depok.

Bukan tanpa angin Farid berbicara tentang kebudayaan. Sepanjang kariernya di dunia seni, kurang lebih 23 tahun, ia selalu berbicara tentang beragam kebudayaan Indonesia lewat karya-karya lukisnya. Menurut pria berambut gondrong hingga sepinggang itu, goresan kuas di atas kanvasnya merupakan salah satu cara untuk ikut menjaga kebudayaan itu sendiri.

“Hal yang memilukan saat berbicara tentang pemuda Indonesia saat ini adalah mereka sama sekali tidak mengenal kebudayaannya sendiri,” katanya. Bahkan, tanpa disadari mereka justru menenggelamkan kekayaan itu hingga akhirnya punah, tak lagi dikenal.

Farid bahkan mengeluhkan kebutaan para seniman muda akan kekayaan budaya Indonesia. Ceritanya, seorang seniman muda ingin membuat karya seni yang berbicara tentang kebudayaan Indonesia. Tapi, ia justru kesulitan untuk menentukan apa yang akan ia buat. Bukan sulit memilih kebudayaan apa yang harus ia angkat, tapi kebingungan karena sama sekali tak memiliki ide tentang kebudayaan.

“Saya terkejut. Padahal ia tinggal menolehkan kepalanya ke kiri atau ke kanan, maka ia akan menemukan puluhan kebudayaan Indonesia. Ia justru sama sekali tidak tahu, ini menyedihkan,” katanya.

Farid Shan
Farid Shan

Selasa (12/8/2014) lalu, Farid yang pernah bergabung dengan Sanggar Bambu Yogyakarta dan dididik langsung oleh Soemadji itu, menggelar pameran tunggalnya yang ke-18 di Four Seasons Hotel, Jakarta. Mengangkat tema Ekspresi Estetika Rakyat dalam Kanvas, Farid menampilkan 65 karya dari rentang waktu 2001 – 2014. Cukup banyak untuk sebuah pameran tunggal. Padahal, tadinya kata Farid, ia telah mempersiapkan 70 karya untuk dipamerkan namun gagal karena keterbatasan ruang.

Memperhatikan karya-karyanya, hal yang paling menonjol adalah warna-warna terang dengan dominasi biru dan merah yang ia gunakan. Beberapa karakter dalam karyanya bahkan berkulit biru. Eit, bukan berarti Farid penggemar berat karakter Smurf. Namun, ada makna lebih dalam.

“Warna biru bisa diartikan karakter tersebut memiliki ilmu yang dalam seperti dalamnya lautan dan luas seperti langit. Jika dalam perbincangan kami, saya mendapatkan banyak ilmu baru dan kebijakan, maka karakternya akan saya beri warna biru,” ujar Farid yang kini berusia 43 tahun dan telah memiliki dua putri.

Selain itu, goresan-goresan kuasnya sedikit mirip dengan seniman besar asal Yogyakarta, Djoko Pekik. Ditambah dengan keberanian menggunakan warna terang. Namun, tetap saja ide-ide yang dihadirkan Farid sangat orisinal miliknya. Dan, keorisinalannya itu tetap terlihat di tiap-tiap karyanya.

Selain lukisan minyak, dalam pameran yang berlangsung hingga 31 Agustus ini, ia juga menghadirkan 10 sketsa. Yang menarik, karya sketsanya Farid tidak menggunakan media kertas biasa. Selain warnanya yang coklat, kertas itu juga memiliki ketebalan yang berbeda. Menurut Farid, ketebalan dan kerapatan pori-pori kertas itu cukup memudahkannya dalam membuat skesta menggunakan pulpen (pen) bertinta hitam. “Warnanya jauh lebih hidup ketimbang menggunakan kertas putih,” katanya.

Salah satu yang paling ia sukai adalah sketsa putri sulungnya bernama Sabrina, yang tengah menanti giliran untuk tampil di atas pentas menarikan tarian tradisional, Tari Merak. Lukisan berjudul Nunggu Giliran (2009) itu meski hanya dilukis menggunakan tinta hitam, namun tetap terlihat semarak dan hidup. Karya itu juga sukses menggambarkan beragam kekayaan budaya yang dimiliki Indonesia, karena selain Sabrina yang menggunakan busana penari Merak ada juga dua temannya yang sedang menontonnya menggunakan kostum tradisional lainnya.

“Saya hidup dalam beragam kegiatan kebudayaan. Wajar jika ingatan-ingatan itu mempengaruhi gaya saya dalam berkarya,” katanya.

Yuk, bagi Anda yang belum sempat mampir ke Four Seasons Hotel acara ini masih berlangsung hingga akhir bulan. Ajak serta keluarga terutama anak-anak Anda, karena ada banyak cerita keragaman budaya Indonesia di karya-karya lukis Farid. Dari budaya Bali, Jawa Tengah, Madura, hingga budaya panjat pinang selalu hadir di perayaan 17 Agustus.

2014820142904 (2)
Berlabuh
2014820143543 (2)
Farid Shan, ‘Nunggu Giliran’, 2009, ink on paper, 30 cm x 43 cm