Tanggal 12 Agustus 2016 lalu, keberadaan sosok DN Aidit di antara tokoh-tokoh pahlawan nasional dalam lukisan Seri Ilusi # The INDONESIA IDEA (Ide/ID) oleh Galam Zulkifli menggemparkan Indonesia. Lukisan yang dipajang di Terminal 3 Soekarno-Hatta akhirnya terpaksa diturunkan.
Kejadian penurunan karya seni tersebut bukanlah yang pertama kali terjadi dalam dunia seni Indonesia. Pameran “Unsung Museum (Museum Tanpa Tanda Jasa)” di ROH Projects, SCBD Jakarta, 17 September-8 Oktober 2016, mencoba menghidupkan perbincangan mengenai persamaan pengetahuan akan seni rupa dan demokrasi dalam era Reformasi dengan publik, baik bagi peminat seni maupun publik awam.
“Unsung Museum” adalah museum keliling yang diinisiasi Aliansyah Caniago, Fajar Abadi RDP, Grace Samboh Jim Allen Abel, Julian Abraham ‘Togar’, Maryanto, dan Tamara Pertamina.
Pameran yang dikuratori Grace Samboh ini memang bukan pameran seni rupa yang menampilkan karya-karya seni, melainkan menampilkan berbagai jenis dokumentasi, baik dalam bentuk kliping berita, fotografi, maupun miniatur karya seni yang pernah dianggap ‘meresahkan’ masyarakat dalam era Reformasi oleh beberapa pihak, yakni organisasi masyarakat, aparat negara, dan perorangan, dalam berbagai isu, yang di antaranya bergulat dengan komunisme, SARA, dan pornografi.
Contoh kasus yang terlibat dalam pameran ini adalah pameran tunggal Pius Sigit “I Feel Fine, Thank you” di Kedai Kebun Forum Yogyakarta, They Give Evidence karya Dadang Christanto, instalasi Special Prayer For the Dead karya Tisna Sanjaya, dan instalasi Pinkswing Park karya Agus Suwage dan Davy Linggar.
Selain itu, juga Patung Peminta Hujan karya Marta Jiraskova di Istana Bogor yang merupakan hadiah dari pemerintahan Yugoslavia, Tiga Mojang karya Nyoman Nuarta, pameran Lurung Kamulyan karya Petrus Agus Herjaka, dan The Indonesian Idea karya Galam Zukilfi yang baru-baru ini menjadi bahan pembicaraan.
Jika kejadian-kejadian tersebut didiskusikan lagi, biasanya kembali ke masalah kesalahpahaman. Dari sudut pandang publik seni rupa, mungkin penolakan seni rupa ini terjadi karena kesalahpahaman banyak orang. Tetapi, ada kemungkinan publik seni rupa, yang lebih berpengetahuan mengenai seni rupa, kurang mengkomunikasikan makna dan pesan akan karya seni tersebut kepada publik.
“Unsung Museum” tidak dimaksudkan untuk menunjuk siapa yang benar dan siapa yang salah. Seperti yang tertulis dalam katalog pameran, “Kami justru ingin menggugat perihal kesetaraan pengetahuan akan hak dan kewajiban beragam elemen dalam publik seni rupa dengan landasan disiplin seni rupa – tentunya seturut dengan azas demokrasi sebagai konteks ruang hidupnya.”