Kota menjadi basis penciptaan karya dalam pameran “Pelicin”. Kedelapan seniman yang terdiri dari 7 seniman individual dan 1 grup, menggunakan kerangka interaksi dengan kota sebagai model penciptaan karya.

Brian Suryajaya Gautama
Brian Suryajaya Gautama, Cashflow Quadrant, Mixed media, 2013

Kota dan materialisme tidak bisa dipisahkan. Kota dibangun oleh tumpukan materi. Sementara unsur lain dalam kota seperti kebijakan otoritas kota, seni, bahkan agama adalah faktor pelengkap. Tidak percaya? Mari sejenak kita cermati pameran yang bertajuk Pelicin di Galeri Salihara yang berlangsung 19-30 November 2013. Pameran ini merupakan bagian dari Jakarta Biennale 2013.

Pameran ini mengusung karya-karya berdasarkan keterlibatan senimannya dengan kota tempat tinggal seniman. Sifat interaksinya cukup kuat, bahkan bisa dibilang interaksilah yang menyebabkan adanya karya-karya tersebut. Ada sembilan karya dari perupa yang rata-rata usianya di bawah 25 tahun. Seniman ini memiliki latar belakang pendidikan beragam dari Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Universitas Negeri Jakarta, Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Universitas Tarumanegara, London Institute of Communications, Universitas Pelita Harapan hingga Universitas Padjajaran, Bandung.

Apa yang merebak dalam pameran ini adalah kecenderungan masyarakat sendiri yang menempatkan hal-hal material di atas lainnya. Kota, kita tahu, tidak memiliki lahan produksi sendiri dalam uruasan pangan. Pangan didatangkan dari luar kota. Kenyataan ini menjadikan penghuni kota melakukan apa saja agar kebutuhan itu tercukupi. Caranya bisa apa saja yang penting kebutuhan dasar itu tercukupi.
Putri Ayu Lestari
Putri Ayu Lestari, Joki-jokian, Jurnal-video-sticker, dimensi variabel, 2013

Karya berjudul Tilep Jaya buatan Faisal R. Yeroushalaim mencontohkan hal itu. Objek-objek yang dipajang pada karya ini berasal dari para pengirim yang mendapatkannya dengan jalan mencuri. Ada buku, plang atm, bahkan sepeda motor. Di atas objek-objek yang diperlakukan sebagai benda seni ini dicantumkan tulisan di tembok galeri dalam ukuran besar: “The bad artist imitate, the great artist steal”. Semboyan yang diambil dari dunia seni tetapi membelokkannya untuk maksud yang berbeda. Faisal membuatkan laman di internet yang tujuannya menadah barang-barang curian. Tak sedikit benda yang ia terima sebagaimana yang terpajang di dalam karyanya.

Kemudian karya Sulaiman Said berjudul Dana Tunai Cepat. Karya ini merespon selebaran gelap yang banyak dijumpai di tiang listrik, tembok kosong, maupun di gardu listrik di Jakarta. Isinya tentang tawaran untuk mendapat uang cepat lewat utang dengan jaminan STNK atau sertifikat tanah/rumah. Sulaiman dalam karyanya selain menempelkan puluhan kertas dengan isi kata-kata lucu sebagai parodi atas selebaran yang beredar itu, juga merekam kegiatannya menempelkan selebaran parodinya dalam video.

Misalkan selebaran yang bertuliskan: “Butuh Dana Tunai Segera” yang di bawahnya disambung “Hubungi: Keluarga terdekat Anda”. Atau “Ingin cepat dana cair” disambung parodi “Emang es batu bisa mencair”. Parodi yang Sulaiman buat tentu saja membuat orang ketawa atau kesal. Ketawa bila tidak sedang dalam terbebani keuangan, tetapi akan kesal bila ia adalah salah satu pelanggan dari selebaran gelap. Hanya saja, segmen dari selebaran gelap itu tentunya kalangan ekonomi bawah. Jika saja, Sulaiman dapat merekam orang yang pernah berhubungan dengan salah satu klien selebaran gelap akan lebih menarik. Tidak saja parodi, tetapi memberi infomasi nyata pada fenomena yang merebak di jalanan Jakarta.
Sulaiman Said
Sulaiman Said, Dana Tunai Cepat, Iklan baris koran-SMS-tabulet, dimensi varibale, 2013

Sementara karya komik yang berjudul Siksa Anak Soleh karya kelompok Cut & Rescue. Karya ini berupa komik strip yang ditempel pada bidang papan memanjang mengunakan pulpen hitam. Kisahnya biasa saja sebenarnya. Tetapi di tengah penggunaan yang massif perangkat teknologi, penggunaan komik di atas kertas, jadi sensasi tersendiri. Apalagai, kisah yang diangkat dan penggunakan susunan scene yang terasa jadul (jaman dulu). Imron anak Soleh yang telah meninggal semenjak Imron kecil. Imron bekerja di staf sebuah masjid.

Ia diceritakan korupsi uang masjid hasil sedekah orang ke masjid. Tipikal koruptor, uang masjid digunakan untuk perbuatan gila macam zina sana-sini dan mabuk-mabukan. Sampai kemudian perilaku Soleh disinyalir sehingga datang Rohim yang menghajar hingga datang kematian Imron. Imron tertarik melakukan sebab ada lomba untuk menangkap Imron lantaran korupsi uang mesjid. Selain tindakan korupsi, mabuk-mabukan, zina, pembunuhan, rekayasa yang didekatkan dengan mesjid sebagai simbol agama, juga dihadirkan setan dan iblis yang kegirangan dengan kebejatan Imron dan Rohim. Digambarkan, setelah mereka mati mereka baru sadar bahwa tempat mereka bukan surga tetapi neraka sekalipun mereka bekerja di masjid. Pesan dalam karya ini jelas, uang bukan membantu, tetapi menguasai manusia. Masjid dan konteks sosial Soleh dan Mukmin adalah kota.

Kota dan materi menjadi bagian utama juga dalam karya Brian Suryajaya Gautama lewat karya berjudul Cashflow Quadrant; kelompok Cut and Rescue lewat karya berjudul Rezeki Anak Nakal & Uang Ghoib dan 4 karya lain; Ika Vantiani lewat karya berjudul Jinzhi; Mochmad Hasrul dengan karya berjudul Jika Aku Menjadi; Natasha Gabriella Tontey dengan karya berjudul Serba-serbi Uang; dan Putri Ayu Lestari dengan karya Joki-jokian.

Karya-karya yang terlibat secara sosial di kota dalam pameran Pelicin ini mengedepankan pesan daripada membekukan bentuk artistik yang kedap terhadap waktu. Sebuah pilihan kreatif yang semakin digemari untuk membicarakan kota-kota Indonesia, khususnya Jakarta, yang semakin ruwet hari ini.***