Delapan seniman Indonesia berpameran di Jeonbuk Contemporary Art, Korea Selatan sejak awal Juli. Mereka yang terpilih adalah seniman yang aktif dan besar di Yogyakarta seperti Heri Dono, Entang Wiharso, Nasirun, Dadi Setiyadi, Agapetus Kristiandana, Agus ‘Baqul’ Purnomo, Andy Wahono, dan Budi Ubrux. Lewat judul “Pathos of the Fringes”, pameran ini berusaha menggabungkan semangat serta keelokan seni kontemporer dua kota dari dua negara: Yogyakarta dan Jeonbuk.
Baca juga Yogyakarta Aktif Telurkan Kurator
“Pathos of the Fringes” sendiri berdiri atas dua hal yakni ‘pathos’ yang merepresentasikan kepekaan, pertemuan, dan gairah; juga ‘fringes’ yang dimaknai sebagai ruang yang dipenuhi dinamika. Istilah pathos sendiri dikenal sebagai salah satu pilar teori retorika dari Aristoteles, yakni elemen yang menekankan emosi–dalam melakukan persuasi. Jika dikaitkan dengan dunia seni rupa, emosi/pathos itu sendiri diluapkan seniman lewat karya estetis, yang mampu memberi stimulus pada audiens. Sehingga bisa dikatakan bahwa gagasan utama pameran ini adalah menjadi ruang yang mempertemukan kreativitas dan gairah dari kepekaan artistik seniman.
Kemunculan seniman-seniman Indonesia di ruang pamer Jeonbuk sendiri berawal dari perhatian Jeonbuk Contemporary Art pada seni rupa di Asia lewat “Asia Jidori Project”, yang mengirimkan seniman-seniman Jeonbuk ke berbagai negara di Asia dan kembali dengan mengajak serta seniman dari negara asal untuk berkolaborasi di Jeonbuk. Tujuannya adalah untuk menjelaskan keberagaman seni kontemporer di Asia serta menggali kondisi terkini yang turut mempengaruhi seni. Tak lupa mengingatkan tentang semangat dari masing-masing negara yang memiliki keunikan tersendiri. Supaya tak melulu berpatokan pada Barat, dari segi ide maupun pemikiran. Namun juga tidak menentang, melainkan mengubah pola pikir ketika pemikiran Timur ditemukan dengan pemikiran Barat.
Tahun ini, Jeonbuk Museum of Art memilih untuk menggali lebih dalam tentang seni kontemporer Indonesia, khususnya Yogyakarta. Beberapa seniman muda Jeonbuk dilibatkan seperti Lee Joonghee, Hong Sunkii, dan Kim Byunghul, yang mengunjungi studio seniman-seniman Yogyakarta, hingga akhirnya terpilih delapan seniman untuk diboyong berpameran di Korea Selatan.
Baca juga Dunia Bawah Sadar “Grotesk”
Di kesempatan kali ini, Heri Dono menampilkan Raden Saleh Animachines berupa instalasi kereta kuda cirebon yang dikendarai oleh sosok menyerupai Raden Saleh yang berbalut pakaian seragam militer bangsa kolonial berwarna biru. Alih-alih ditarik oleh kuda, kereta kayu ini memiliki setir layaknya mobil, lengkap dengan plat nomornya. Daya tarik humor yang seringkali diselipkan Heri lewat karya-karyanya masih bisa kita rasakan. Tak ketinggalan paduan unsur kelokalan dan modern tampil di karya ini. Raden Saleh Animachines dibuat pada 2015-2016 dan sempat dipamerkan di helatan Art Jog 2016.
Ada pula Entang Wiharso yang turut menghadirkan instalasi, berjudul Chronic Satanic Privacy yang dibuatnya pada tahun 2010. Karya tersebut menghadirkan lima sosok hitam dan putih yang berada di balik jeruji sambil menjulurkan lidah. Seakan-akan menekankan kehadiran lidah yang bisa menjadi berbahaya apabila tidak digunakan secara bijak.
Baca juga ART SG Saingan Baru Art Stage Singapore
Sedangkan kehadiran Indonesia tampak begitu eksplisit lewat karya berwarna merah putih milik Agapetus Kristiandana yang berjudul Baik Boeroek Tanah Airkoe Joea. Karya patung berbentuk sapi ini memiliki corak tubuh berwarna merah berupa peta Indonesia, namun dalam posisi terbalik. Identitas Indonesia lain seperti budaya karapan sapi juga dihadirkan, Andy Wahono melukiskan perlombaan pacu sapi tersebut lewat lukisan berjudul serupa yakni Karapan Sapi.
Sebaliknya, Dadi Setiyadi menampilkan ikon-ikon populer pada karyanya. Seperti pada karya Angels Surrounding Spiderboy, yang mengangkat sosok perempuan berbalut kain satin biru sedang menggendong spider-cilik. Sedangkan di sekitarnya terdapat malaikat berbaju putih yang tampak mengelu-elukan keduanya. Spiderboy tampak diperlakukan layaknya “sang juruselamat”, yang dewasa kelak menjadi Spiderman dan konon akan menjadi penyelamat manusia (di dalam dunia Marvel). Baik sang perempuan dan malaikat, memiliki moncong bebek. Yang diakui Dadi bahwa penggunaan moncong bebek tersebut dikarenakan sifat bebek dan manusia yang sama-sama mudah diarahkan atau terbawa arus. “Kalau ada satu yang pergi ke arah barat, yang lainnya ikut. Kalau ke timur, lainnya juga ikut,” ujarnya.
Beberapa seniman lainnya seperti Budi Ubrux, yang identik lewat kehadiran koran di karya-karyanya menampilkan Pendoa, lukisan yang menampilkan barisan orang sedang berdoa dan berbalut koran di sekujur tubuhnya. Ada pula Agus ‘baqul’ Purnomo yang masih menampilkan lukisan abstrak kaligrafi berwarna-warni. Sedangkan Nasirun juga tampak menghadirkan figur-figur wayang, seperti pada lukisan Imaji Wayang-Setan Jaman Now.
Bagi yang tertarik melihat karya-karya delapan seniman Tanah Air di Korea ini, pameran ini masih berlangsung hingga 9 September 2018. Sebelumnya, Jeonbuk Museum of Art juga pernah berkolaborasi dengan Ruang Gerilya, yakni kolektif seni asal Bandung dan mengirimkan Patriot Mukmin untuk beresidensi dan berpameran di tahun 2016. Sedangkan tahun lalu, seniman Dita Gambiro berpameran bersama seniman-seniman perempuan dari berbagai negara di Asia.
Alamat:
Jeonbuk Museum of Art, 111-6, Moaksan-gil, Gui-myeon, Yeoju-si, Gyeonggi-do 55362, Korea Selatan.
Pameran berlangsung 3 Juli – 9 September 2018.