Menteri Agama RI Lukman Hakim Saifuddin. (Foto: Silvia Galikano)

Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya yang hanya menampilkan satu pembicara, Forum Pidato Kebudayaan 2016 menghadirkan dua pembicara,  Menteri Agama RI Lukman Hakim Saifuddin dan Astrofisikawan Premana W. Premadi.

Acara yang dihelat di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Kamis, 10 November 2016 itu bertema “Setelah Polemik Kebudayaan: Di Mana, Ke Mana Indonesia?”

Menag Lukman Hakim menyorot munculnya polemik dan konflik wacana mengenai peran agama dalam politik-sosial-ekonomi, identitas kelompok, dan apa makna bangsa dan keberbangsaan. Politik praktis Indonesia mengalami peningkatan pesat dari segi kekerasan bahasa dan wacana, terutama sejak Pilkada DKI Jakarta 2012 serta jelang dan selama Pilpres 2014.

Baca juga Merangkul Keragaman lewat Seni

Salah satu gejala yang tampak meluas adalah praktik-praktik penyebaran hoax dan ajakan-ajakan emosional untuk memperjuangkan identitas keagamaan dalam berkonflik politik. Maka semaraklah kontroversi keras, bahkan bisa melibatkan retorika kekerasan, seperti “bunuh” atau “bakar” di media sosial, mimbar-mimbar agama, dan ruang-ruang publik yang dipakai untuk demonstrasi dan ekspresi politik kelompok.

Di tengah segala kegaduhan itu, ada peluang untuk pencarian kembali jiwa “Indonesia”.

“Kita tak perlu mencari rumusan baru, cukuplah memperkuat kesepakatan para pendahulu bahwa NKRI adalah harga mati dan Bhinneka Tunggal Ika harus menjadi denyut nadi,” ujar Lukman.

Lebih lanjut disampaikan, tahun 1956, Menteri Agama saat itu, KH Muhammad Ilyas, memetakan pemeluk agama Islam, sebagai mayoritas penduduk Indonesia, ke dalam tiga kelompok besar.  Yaitu Islam Amaliah atau kaum saleh yang rajin beribadah; Islam Ilmiah yang berarti kelompok intelektual muslim; dan Islam Seumangat atau umat Islam yang cepat mendidih darahnya ketika agama atau kitab sucinya dilecehkan. Di antara tiga kelompok itu, Islam Seumangat paling banyak jumlahnya.

Baca juga Pernah Azan Berkumandang Sayup di Musajik Usang

Sekarang, tahun 2016, menurutnya, pemetaan itu relatif belum jauh berubah. Hal ini menimbulkan konsekuensi bahwa kepekaan terhadap sensitivitas masih amat penting bagi keutuhan bangsa. Bahwa keharmonisan harus dibangun dari kesadaran serta kepedulian, dan toleransi harus dijaga dengan sepenuh hati.

Model keberagamaan harus lebih dewasa, dari sekadar amaliah menjadi ilmiah. Kesalehan individu harus mewujud dalam kesalehan sosial, dari sekadar rajiin berdoa menjadi ramah tamah dan ikhlas bersedekah.

“Pemuka agama jangan lagi melulu mempromosikan puritanisme dan konservatisme, tapi juga perlu mewacanakan pengembangan ekonomi umat dan wawasan kebangsaan. Jika anak-anak muda yang agamis plus nasionalis sibuk berkarya, niscaya tak sempat lagi mereka mengkafirkan orang lain. Pada titik ini, agama ditampilkan secara promotif dan bukan konfrontatif.

Baca juga Membaca Makna Limasan

Pidato Kebudayaan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) merupakan program tahunan DKJ bersama Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (PKJ-TIM). Tradisi yang diselenggarakan sejak 1989 sebagai bagian perayaan ulang tahun TIM ini, setiap tahunnya mengundang tokoh nasional untuk mengupas persoalan penting dan aktual.

Nama-nama yang pernah jadi pembicara, antara lain, Umar Kayam (1989), B.J. Habibie (1993), Rendra (1997), Ali Sadikin (1999), Azyumardi Azra (2001), Busyro Muqqodas (2011), dan Hilmar Farid (2014).

Pidato Kebudayaan Dewan Kesenian Jakarta disegarkan dengan bentuk yang lebih memberdayakan aspek panggung dan pertunjukan untuk menguatkan pidato Karlina Supelli pada 2013. Mulai itu pula kata kunci “Suara Jernih dari Cikini” ditradisikan, untuk menebarkan suara jernih dalam kehidupan berbangsa sehari-hari.

Karena diperlukan lebih banyak suara jernih dan lebih banyak sudut pandang agar persoalan kebudayaan Indonesia masa kini kembali berwarna serbaneka,  DKJ pun mengubah bentuk Pidato Kebudayaan  menjadi Forum Pidato Kebudayaan. Mimbar diisi lebih dari satu pewacana.