Tari Nememo yang dikoreografi Hartati. (Foto: Silvia Galikano)

Kabupaten Tulangbawang Barat (Tubaba), Lampung punya tetenger (landmark) baru. Masjid Baitus Shobur dan Balai Adat Sesat Agung, dua bangunan modern dengan sentuhan Lampung, serta satu tugu di pertigaan jalan, Tugu Rato.

11 Oktober 2016 jadi hari peresmian Masjid dan Sesat Agung yang dikemas dalam acara “Selamatan Budaya Tubaba 2016”, sebuah rangkaian acara dari pagi hingga malam.

Studiohanafi dipilih sebagai fasilitator untuk seniman Tubaba. Selamatan diikuti tokoh adat empat marga; 103 tiuh (desa); dan kelompok-kelompok seni masyarakat, seperti kuda lumping dan tari Bali.

Baca juga Hanafi Kisahkan Jalur Rempah di New York

Sejak pagi, warga menyemut dari Tugu Rato hingga masjid. Tugu Rato jadi titik berangkat arak-arakan hingga berakhir di halaman masjid dan balai adat, sejarak kira-kira 300 meter.

Kelompok terdepan yang terdiri dari tetua masyarakat membawa bunga setaman dari 44 macam bunga dan air dari tujuh sumur yang “diwudui” di Pesantren Tebuireng, Jombang. Persembahan tersebut adalah bentuk tolak bala sekaligus permintaan izin kepada roh halus penjaga tempat tersebut karena akan ditempati masjid dan balai adat.

Masjid Baitus Shobur Tubaba
Masjid Baitus Shobur tampak luar, beton ekspos tanpa warna dan tanpa ornamen menyimbolkan ketiadaan. (Foto: Silvia Galikano)

Arak-arakan disusul pertunjukan seni musik, tari, pembacaan karya sastra, hadroh, pergelaran pakaian identitas Tubaba, dan teater. Semua berpusat di halaman masjid dan balai adat, diikuti masyarakat hingga acara berakhir pukul 21.00.

Masjid Baitus Shobur

Masjid Baitus Shobur adalah bangunan satu lantai tapi tingginya mencapai 30 meter, sehingga dari luar tampak layaknya gedung lima lantai. Tak ada ornamen apa-apa, hanya beton masif polos tanpa cat, dari atas sampai bawah.

Baca juga Mengalami Makna Sebuah Jalan

Baru ketika di dalam terlihat bahwa dinding tak mencapai dasar. Terbuka di sekeliling sehingga udara di dalam masjid sejuk.

Langit-langit bertuliskan asmaul husna (99 nama mulia Allah) dalam huruf Arab ada di sekeliling terluar. Sedangkan langit-langit di bagian terdalam berbentuk lorong tinggi, setinggi gedung lima lantai tadi, yang berujung pada 99 lubang kecil di pucuknya. Dua kali setahun saat matahari melewati khatulistiwa, pada Maret dan September, sinarnya akan masuk ke lubang-lubang itu.

Karenanya nama lengkap masjid ini, sebagaimana tertulis di prasasti peresmian, adalah “Masjid Agung 99 Cahaya Asmaul Husna Baitus Shobur”. Arsitek Andra Matin yang merancang masjid ini, karya masjid kedua setelah masjid di Pendopo Shaba Swagata Blambangan, komplek rumah dinas bupati Banyuwangi.

Andra Matin
Arsitek Andra Matin. (Foto: Silvia Galikano)

Andra menyelipkan banyak simbol di dalamnya. Beton ekspos tanpa warna dan tanpa ornamen menyimbolkan ketiadaan, bahwa tampilan luar tidaklah sepenting isinya, dan ibadah bukanlah untuk dipamerkan.

Jumlah seluruh tiang masjid ada 114 melambangkan jumlah surat Quran. Ukuran masjid 34 meter x 34 meter merujuk pada jumlah sujud dalam sehari semalam yang 34 kali, sedangkan tinggi menara cahaya 30 meter menunjukkan jumlah juz Quran.

Baca juga Pernah Azan Berkumandang Sayup di Musajik Usang

Masjid pun sengaja dibuat tanpa kubah bawang dan tanpa ornamen apa pun di bagian luar seperti masjid umumnya di Indonesia saat ini (masjid di Nusantara sebelum Kemerdekaan RI eksotis bercirikan daerah masing-masing dan tanpa kubah).

“Kalau sekarang semua masjid pakai kubah bukan berarti kita juga harus pakai kubah. Umat Islam jangan suka meniru, melainkan harus berada di garis depan. Berislam juga harus rendah hati karena Islam sendiri sudah hebat,” Andra menjelaskan usai peresmian masjid Baitus Shobur di Tubaba, 11 Oktober 2016. Perlu waktu setahun untuk mendesain dan setahun untuk pembangunannya.

Unsur Lampung tampak di fasad depan masjid yang berbentuk huruf Kaganga, huruf tradisional Lampung, berlafal “Sabar”, mengacu pada nama masjid, Baitus Shobur.

Sesat Agung. (Foto: Silvia Galikano)
Sesat Agung. (Foto: Silvia Galikano)

Dalam sambutannya usai meresmikan masjid, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menjelaskan bahwa masjid adalah tempat “sujud”, yang lebih luas dari sekadar sujud saat shalat, yakni menyerahkan diri sepenuhnya di hadapan Allah.

Karenanya, dia menekankan agar simbol-simbol yang terkandung dapat diangkat secara utuh dan jadi pengetahuan bagi masyarakat sehingga nilai manfaatnya dapat dirasakan.

Baca juga Mula Buton dari Nanas Penangkal Bajak Laut

“Karena muslim punya kewajiban menebarkan nilai-nilai kebajikan, berapapun sedikitnya,” ujar Menag Lukman.

Sesat Agung

Hanya berjarak beberapa meter dari masjid berdiri balai adat Sesat Agung, rumah panggung dua lantai, berbahan kayu, dinaungi sembilan atap pelana. Andra Matin juga arsiteknya.

Keistimewaan bangunan bernama lengkap  Sesat Agung Bumi Gayo Ragem Sai Mangi Wawai Ramek adalah di langit-langitnya berukirkan 11 nama desa tua di Tubaba dalam huruf Kaganga.

Masjid dan Sesat Agung berdiri di kawasan yang dahulunya rawa berpagar kebun karet. Rawa sekarang berubah wujud jadi kolam luas di halaman masjid dan balai adat.

tugu rato tubaba
Tugu Rato, Tubaba. (Foto: Silvia Galikano)

Air jadi unsur penting bagi dua bangunan tersebut karena, selain menambah keindahan, air membentuk pergerakan arus angin yang membuat bagian dalam masjid dan balai adat terus sejuk. Jika malam tiba, dua bangunan itu bertambah indah berkat lampu berwarna keemasan serta pantulannya di air.

Letak keduanya juga sengaja dibuat berdampingan sebagai lambang keseimbangan. Masjid yang vertikal bersanding dengan Sesat Agung yang horizontal. Masjid tempat hubungan dengan Tuhan (hablum minallah) bersisian dengan balai adat yang membina hubungan dengan sesama manusia (hablum minannas).

Baca juga Kekuatan Terpendam Itu Bernama Garis

Atau seperti ajaran tua Lampung yang disitir Bupati Tubaba Umar Ahmad bahwa hidup dikandung adat, mati dikandung amal dan iman. “Saya harapkan masjid dan balai adat menjadi citarasa Tubaba di masa mendatang, membentuk karakter manusia Tubaba yang berakhlak mulia.”

Tugu Rato

Tugu Rato jadi tetenger ketiga yang sedang diangkat Kabupaten Tubaba selain Sesat Agung dan Masjid Baitus Shobur. Tugu ini berada di simpang tiga, menggambarkan sepasang laki-laki dan perempuan berbaju tradisional Lampung di atas kereta yang ditarik dua ekor naga.

Rato adalah kereta kencana, kendaraan masyarakat adat untuk mendapat gelar sultan, gelar tertinggi masyarakat Lampung. Naga yang menghela kereta merupakan simbol keberanian, yakni berani melangitkan cita-cita lalu merealisasikannya. Tugu Rato jadi simbol kekeluargaan masyarakat Lampung, menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan.

bupati tubaba umar ahmad
Bupati Tubaba Umar Ahmad. (Foto: Silvia Galikano)

Tulang Bawang Barat adalah kabupaten hasil pemekaran dari Tulang Bawang pada 2008. Komposisi masyarakat Tubaba yang terdiri dari sembiilan kecamatan dan 107 desa adalah keunikan tersendiri. Sekitar 70 persen adalah orang Jawa (asal Jateng dan Jatim); lebih dari 10 persen Sunda; sisanya Bali, Lampung, dan Batak.

Beragamnya suku yang mendiami Tubaba tak lepas dari program transmigrasi sejak era kolonial Belanda. Dimulai pada 1901 ketika tak kurang 1 juta orang dipindahkan dari Pulau Jawa untuk menjadi pekerja perkebunan. Para transmigran mempertahankan bahasa ibu mereka, bahkan hingga sekarang sudah lintas generasi.

Tulang Bawang Barat adalah kabupaten hasil pemekaran dari Tulang Bawang pada 2008. Komposisi masyarakat Tubaba yang terdiri dari sembiilan kecamatan dan 107 desa adalah keunikan tersendiri. Sekitar 70 persen adalah orang Jawa (asal Jateng dan Jatim); lebih dari 10 persen Sunda; sisanya Bali, Lampung, dan Batak.

Baca juga Kalijodo yang Tak Lagi Porno

Beragamnya suku yang mendiami Tubaba tak lepas dari program transmigrasi sejak era kolonial Belanda. Dimulai pada 1901 ketika tak kurang 1 juta orang dipindahkan dari Pulau Jawa untuk menjadi pekerja perkebunan. Para transmigran mempertahankan bahasa ibu mereka, bahkan hingga sekarang sudah lintas generasi.

Selama ini, Tubaba bukanlah tujuan wisata. Di sini tak ada gunung, tak ada laut, tak punya tambang, dan tak dilintasi jalan negara.  Kekayaan alam Tubaba adalah 11 ribu hektare sawah, 39 ribu hektare karet, dan 7 ribu hektare sawit.

Tiga tetenger baru dibuat untuk menarik orang berkunjung ke Tubaba sehingga diharapkan dapat meningkatkan kondisi perekonomian masyarakat dan pendapatan daerah.

“Karena tidak ada yang anugerah Tuhan (wisata alam, red.), jadi harus dibuat, dan dibuatnya harus beda. Kami membuat riset terlebih dahulu untuk mendefinisikan Tubaba. Kami mulai dari nol, dari budaya,” ujar Bupati Umar Ahmad.penutup_small

Artikel Budaya dan Identitas Baru Tubaba dimuat di majalah SARASVATI edisi Desember 2016.