Nama Danny masuk sebagai satu-satunya arsitek Indonesia di Comité International des Critiques d’Architecture. Berangkatnya dari keinginan mandiri.
“Saat itu saya berpikir, dengan menjadi arsitek, setidaknya saya memiliki keahlian untuk membangun, dan bangunan adalah satu dari tiga kebutuhan pokok. Jadi kebutuhan akan jasa arsitektur pasti akan selalu ada.”
Bukanlah ketertarikan pada arsitektur maupun desain yang mendorong Danny Wicaksono memilih jurusan arsitektur Universitas Trisakti. Keluarga Danny adalah satu dari banyak yang jadi korban PHK saat ekonomi Indonesia bergejolak pada tahun 1998. “Dari sinilah saya berpikir, saya tidak ingin bekerja untuk orang lain, karena saya tidak mau kena PHK. Saya ingin bekerja untuk diri saya sendiri,” tutur Danny dalam perbincangan dengan Sarasvati beberapa waktu lalu di Jakarta.
Setelah bekerja di bawah beberapa studio arsitek terkemuka, yang salah satunya adalah arsitek ternama Andra Matin, keinginan Danny untuk berdiri sendiri pun akhirnya tercipta saat ia mendirikan Studiodasar pada 2013.
Studiodasar mengerjakan tiga jenis proyek berbeda. Pertama, proyek-proyek komisi yang menjadi sumber dana untuk menjalankan studionya, antara lain Anjung Salihara yang ia kerjakan bersama Goenawan Mohamad.
“Saya harus mendesain untuk 13 orang yang bekerja di Salihara, enam kurator Salihara yang menurut saya saat itu adalah satu kelompok standar intelektual Indonesia. Buat saya itu adalah proyek awal karier yang paling menantang. Standar arsitektur yang ingin saya capai untuk hari ini dapat direpresentasikan di sana.”
Kedua, adalah proyek-proyek kurasi pameran, penulisan buku dan majalah, penerjemahan teks-teks bahasa Inggris dan buku bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Idealnya, proyek penerjemahan itu untuk memberi akses bagi mahasiswa dan masyarakat untuk mengenal arsitektur tapi kurang fasih berbahasa Inggris.
Ulasan lengkap Jejak Kontribusi Danny Wicaksono dapat dibaca di majalah Sarasvati edisi November 2016.