Bisakah arsitektur menjadi jawaban bagi permasalahan kampung kota? Pertanyaan ini masih menjadi sebuah kemungkinan yang terus-menerus diuji. Tawaran solusi berupa kampung vertikal pun menyisakan banyak celah, terutama terkait motif dan keberlanjutannya.
Kampung vertikal menjadi istilah yang banyak diperbincangkan beberapa waktu terakhir. Walau belum pernah ada yang mewujudkannya, ide kampung vertikal sudah pernah diwacanakan oleh semua pihak. Kampung vertikal akhir-akhir ini kembali menjadi “bola panas” terkait isu penggusuran dan agenda politik para pemangku kekuasaan.
Sebagaimana hunian vertikal, beberapa alasan kuat yang melatari ide kampung vertikal adalah isu keterbatasan lahan dan kebutuhan pengadaan perumahan yang terus meningkat. Kombinasi keduanya menjadikan pilihan untuk membangun “ke atas” menjadi pilihan yang logis. Walau terdengar menjanjikan, istilah kampung vertikal masih merupakan istilah yang problematik. Yang belum tuntas kita selidiki adalah, siapakah yang membuat asumsi ini dan untuk kepentingan siapakah dia diadakan? Benarkah hanya keterbatasan lahan dan kepadatan yang menjadi masalah yang harus ditaklukkan? Atau, mungkinkah kita sengaja dibatasi untuk “memaksakan” sebuah agenda?
Baca juga 11 Desain Produk Bambu Indonesia yang Dipamerkan di Chiang Mai Design Week 2017
Membangun secara vertikal, di atas kertas memang menawarkan solusi, namun pada kenyataannya juga membawa permasalahan baru, salah satunya adalah perubahan radikal dalam “kebiasaan hidup” yang tak jarang menimbulkan efek dehumanisasi bagi warga yang terdampak. Manusia, secara alami, adalah mahluk sosial yang punya kecenderungan untuk membangun relasi secara horizontal.
Secara literal, lingkungan terbangun yang horizontal pun memudahkan penghuninya untuk berinteraksi secara lebih manusiawi. Ini yang akan sulit terjadi jika kampung disusun ke atas. Belum lagi jika kita berbicara sekat-sekat fisik yang terjadi antar lantai, pun sekat-sekat sosial ketika uang mengambil alih fungsi operator ruang. Kampung yang tadinya berupa lansekap sosial yang utuh, kini menjadi “bola-bola” kecil yang terlepas satu sama lain.
Salah satu keluhan terbesar warga hunian vertikal adalah seklusifitas dan individualitas yang tinggi. Bagi kelas sosial menengah ke atas, yang punya ketahanan ekonomi lebih besar, individualitas tidak “melemahkan” posisi sosialnya. Mobilitas yang tinggi juga menyebabkan mereka tidak terlalu terikat dengan ruang hidupnya.
Sangat kontras ketika kita berbicara tentang kampung, dimana kita membicarakan masyarakat pada strata ekonomi rendah, dengan ketahanan ekonomi yang lemah, dan kebergantung yang tinggi satu sama lain. Relasi sosial dan ruang hidup adalah signifikansi mereka di dalam masyarakat. Dan dengan fakta ini, permasalahan kampung tidak bisa dilihat secara parsial dan disederhanakan menjadi kebutuhan perumahan semata.
Baca juga Membaca Masa Depan Bambu
Arsitek, Arsitektur, dan Kampung
Salah satu pertanyaan besar yang juga belum terjawab adalah terkait “konteks” dan kontekstualisasi arsitektur. Dalam kasus kampung kota kita belum bisa menjawab apa yang bisa dikontekskan dan bagaimana cara mengkontekskan kampung ke dalam skema formal. Di sisi lain, kontekstualisasi juga ikut mempertanyakan ego arsitek, terkait porsi peran dan kapasitas dalam menentukan manakah narasi warga dan manakah narasi politis.
Pada kasus penggusuran Bukit Duri dan Kampung Pulo, alasan penanggulangan banjir ternyata punya motif turunan untuk meningkatkan nilai lahan dan mengundang kehadiran pengembang. Begitupun pada rencana revitalisasi kawasan Kebon Bibit, Bandung. Program Rumah Deret di Taman Sari, yang mengambil konsep kampung susun, juga tak luput dari agenda pemerintah kota untuk meningkatkan kepadatan demi penyesuaian nilai lahan dan peningkatan jumlah unit rusun milik pemerintah kota. Secara politis, arsitek biasanya kurang taktis dan rentan menjadi tunggangan pihak lain.
Dalam banyak publikasi yang beredar di media, desain memang cukup besar pengaruhnya dalam memberikan posisi tawar yang lebih baik. Slogan “menggeser bukan menggusur” yang berhasil merebut suara dari kantong pemilih marjinal dan melapangkan jalan beberapa politisi ke kursi kekuasaan. Begitupun gambar-gambar impresi kampung susun yang menjadi “rem” yang memperlambat proses penggusuran di Bukit Duri beberapa waktu lalu.
Tapi, kenyataan bahwa penggusuran kampung tetap terjadi, membuat kita sadar, arsitektur saja ternyata tidak cukup. Nyatanya desain pun adalah pisau bermata dua. Dia bisa berubah menjadi magnet kapital ketika impresi sudah terbentuk, nama-nama arsitek besar masuk, dan nilai tanah/ruang menjadi naik. Mekanisme pasar, secara alami, akan mendorong perebutan ruang oleh para pemilik modal. Dan ini selalu terjadi, apapun maksud baik yang tadinya melatari rencana pembangunan.
Baca juga Singgih, Kreator Radio Kayu yang Mendunia
Harus diakui, regulasi hunian vertikal di Indonesia belum bisa keluar dari regulasi rusun lama, yang jika ingin disesuaikan dengan karakter spasial kampung, akan menghasilkan banyak sekali benturan. Sampai detik ini, penyediaan hunian oleh pemerintah masih berpedoman pada kuantitas sehingga belum bisa bergerak dari prototipe tower blocks yang diberlakukan rata di seluruh Indonesia, apapun konteks lahan dan karakter lokalnya. Jumlah dan kecepatan penyediaan menjadi lebih penting. Ekses-ekses yang terjadi hampir tidak pernah dievaluasi dan terus memburuk seiring waktu.
Kita juga belum punya nalar tandingan terhadap dikotomi formal-informal dalam sistem prokurmen perumahan di Indonesia. Tanah yang punya sertifikat dianggap formal, dan tidak punya sertifikat dianggap informal. Dengan kaca mata ini, mayoritas kampung akhirnya harus dilihat sebagai wilayah informal. Regulasi yang ada saat ini tidak memungkinkan pemerintah atau swasta untuk masuk, sehingga kampung “dipaksa” untuk masuk ke skema formal, itu pun hanya terbuka bagi 2 aktor, apakah melalui privat atau melalui pemerintah melalui program rumah susun.
Dalam kaca mata pembangunan seperti ini, arsitek tidak punya tawaran yang signifikan melalui arsitekturnya, karena ekspektasi dari pemerintah untuk arsitek, akhirnya, hanyalah sebagai pengisi peran teknis.
Kita memang melihat, bahwa pemerintah berusaha sebaik mungkin untuk menjalankan mandatnya dalam menjamin penyediaan kebutuhan perumahan publik yang memadai, namun keterkungkungan ini menyebabkan kita tidak bisa sampai pada solusi kreatif, penyediaan perumahan secara otonom misalnya. Eksperimen-eksperimen yang melibatkan ahli juga perlu dilakukan untuk menguji kebijakan-kebijakan saat ini. Standar-standar operasi lama perlu direvisi, dan posisi warga harus didorong menjadi subjek, bukan objek pembangunan. Jika tidak ada terobosan dalam hal peraturan yang progresif, maka desain dan arsitektur hampir pasti akan berakhir tanpa dampak.
Baca juga Bentang Bagak Arsitek F. Silaban
Utopia Kepemilikan Bersama
The ZEIS, atau Special Zones of Social Interest, adalah salah satu kebijakan dari pemerintah sosialis Brazil di tahun 1980, yang dipakai untuk melindungi dan meningkatkan kualitas ruang-ruang informal kota. Di luar beberapa kekurangan dan tentangan secara politis, ZEIS punya arah kebijakan yang radikal, yaitu menyatukan ruang legal dengan ruang ilegal di dalam kota sehingga segregasi secara sosio-spasial berkurang.
Perbaikan fisik lingkungan dilakukan, juga ada perlindungan hak hidup dan hak tinggal bagi warga di lingkungan informal. Kesetaraan dan keragaman karakter ruang kota dijamin dan menjadi salah satu kisah sukses dari program ini.
Banyak yang bisa dipelajari dari contoh di Brazil, tentang bagaimana kota “melindungi” titik-titik informal yang justru menjadi bagian vital kota. Kampung kota di Indonesia punya karakter spasial yang unik. Secara teknis, karakternya sangat cair dan punya batas-batas yang tidak tegas. Ruang publik, sebagai komposisi dominan, dimiliki secara kolektif dan dipakai untuk beberapa fungsi secara bersamaan.
Dengan karakter ruang seperti ini, pola tenure kepemilikan privat bukanlah pola yang tepat karena akan menghilangkan irisan-irisan sosial dan kebergantungan satu sama lain, yang selama ini dipercaya menjadi energi kampung. Secara teori, ini yang belum bisa terwujud dengan kondisi peraturan perumahan saat ini, walau memakai konsep kampung vertikal. Ketika sebuah rumah/bangunan tidak bisa dikelola mandiri atau dengan modal sosial, tapi bergantung pada “services” yang dikelola dengan basis ekonomi uang, maka keberlanjutannya bisa dipastikan tidak akan panjang, apapun nama skemanya.
Menjadi sebuah keniscayaan, negosiasi antara ruang dan pemakai, terjadi secara terus menerus di dalam sebuah kampung. Kenyataan ini menyebabkan arsitektur yang terjadi di dalam konteks kampung kota pun adalah arsitektur yang tidak pernah “selesai”. Kondisi ini adalah kondisi yang rapuh, karena itu kampung seharusnya dijaga tetap dalam pola kepemilikan kelompok. Ini juga menjadi bentuk intervensi negara terhadap pasar.
Baca juga Paradoks Kebebasan di Venice Architecture Biennale 2018
Arsitektur tentu bisa bercerita banyak tentang estetika kampung, atau ruang-ruang organik, yang direplika ke dalam konsep kampung vertikal, tapi bukan itu masalahnya. Kita berhadapan dengan masalah pelik dan kusut terkait peraturan dan keberpihakan. Wacana kampung vertikal adalah pintu masuk yang baik untuk melihat kelemahan-kelemahan peraturan perumahan kita. Walau begitu, euforia desain tidak seharusnya mengalihkan kita dari masalah yang sebenarnya.
Artikel Jalan Terjal Kampung Vertikal dimuat di majalah SARASVATI edisi Desember 2017.