Sisi lain dari kematian ditunjukkan seniman fotografi muda asal Yogyakarta, Agus Heru Setiawan, dalam pameran solonya di Garis Artspace Jakarta yang mengangkat tema Museum of Dead Trees dan dikurasi oleh Angki Purbandono dan Hermanto Soerjanto.
Museum of Dead Trees #2, (Unique edition + Artist’s proof), C-print on metalic paper – mounted on dbond, and press acrylic sheet, 2012, variable dimensions (8 panels)
Kematian tak selalu bicara tentang rasa duka, kesedihan, dan ketakutan. Namun kematian juga mengandung keindahan, rasa hormat, dan kenangan (memori). Konsep inilah yang dimunculkan Heru dalam pameran tunggalnya di Garis Artspace Jakarta, 4-14 Mei. Memasuki ruang pameran, pengunjung langsung disambut oleh gelembung-gelembung indah yang memantulkan warna pelangi. Dari tengah gelembung muncul bayang-bayang tanaman yang tampak kering, tak berdaun, dan layu meski masih dalam keadaan utuh dengan akar. Selintas gelembung-gelembung itu terlihat bagaikan kantung rahim yang tengah melindungi janin.
Sesuai dengan tema pameran, Heru menggunakan objek-objek tanaman yang biasa ditemukan di keseharian manusia – seperti benih pohon rambutan, pepaya, selada, ataupun cabai – dalam kondisi mati. Cara ini digunakan Heru untuk mencoba mengingatkan para pengunjung pada pentingnya peranan tanaman dalam kehidupan manusia. Betapa manusia sangat bergantung pada keberadaannya. Dan, jika hubungan antar keduanya terganggu maka manusia akan dihadapkan pada bencana besar. “Tapi saat ini manusia sudah lupa. Mereka tidak menyadari besarnya potensi yang diberikan tanaman pada manusia. Manusia modern mulai cenderung tidak peduli dan bersikap tidak adil pada tumbuh-tumbuhan,” ujar Heru.
Heru meyakini, hubungan manusia dan tumbuhan di masa lalu terjalin dengan indah, adil, dan rasa hormat. Hal itu bisa dilihat dari peranan tumbuh-tumbuhan terutama bunga, dalam berbagai kegiatan tradisi maupun spiritual. Ia mencontohkan bagaimana dalam filosofi Jawa, tumbuhan kerap dijadikan simbol misalnya anjuran supaya manusia bersikap seperti pohon kelapa yang seluruh bagian tubuhnya memberi manfaat bagi makhluk lain. “ Ataupun kerendahan hati yang ditunjukkan melalui batang padi yang kian terisi kian merunduk,” kata Heru.
Menggunakan tumbuh-tumbuhan sebagai objek foto, bukanlah hal yang baru bagi Heru. Tahun 2012, Heru juga menampilkan foto-foto benih tumbuhan dalam pameran bertajuk Hyperfocal Distance yang digelar di Bentara Budaya Yogyakarta. Kecintaannya pada tumbuh-tumbuhan – dan kegiatan menanam – menjadi salah satu pendorong mengapa ia menampilkan karya-karya tersebut.
Untuk pamerannya ini, Heru kembali memunculkan objek tumbuhan yang digabungkannya dengan konsep kematiannya. “Saya selalu menginginkan kematian yang indah untuk dikenang. Dan melalui kekuatan fotografi, kematian yang sering digambarkan dengan rasa sakit, kegelapan, dan ketakutan berubah menjadi sesuatu yang indah. Tanaman-tanaman itu telah membuktikan bahwa kematian mereka bisa menjadi sesuatu yang indah melalui tangkapan kamera,” kata Heru yang mengenyam pendidikan seni rupa di Fakultas Fotografi, Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta pada tahun 2006.
Heru percaya bahwa seburuk apa pun objek yang ditangkap kamera, akan selalu terlihat indah. Seperti yang disampaikan William Henry Fox, penemu teknik fotografi Calotype – diambil dari kata calos yang berarti indah – bahwa selalu akan ada keindahan dalam fotografi .
Sebagai seorang fotografer, Heru paham bahwa kamera tidak saja berfungsi untuk menangkap pencitraan suatu benda untuk kemudian mengabadikannya di dalam kertas foto untuk dinikmati. Namun, baginya kamera adalah media terbaik untuk merekam suatu peristiwa ataupun suatu benda sehingga layak menjadi kenangan.
“Melalui foto kita bisa mengungkit kenangan seseorang akan kejadian tertentu, mengembalikan hal yang sudah pernah hilang, salah satunya oleh kematian. Dan, melalui pameran ini saya ingin menyajikan karya seni fotografi sebagai anti-tesis dari kematian itu sendiri,” katanya.
Museum of dead trees (Waru, Hibiscus-tiliaceus),2012, digital print on acrylic sheet, neon box installation, 100 x 100 cm
Dengan memadukan kematian dan tumbuh-tumbuhan, Heru lantas membuat tema bertajuk Museum of Dead Trees. Baginya pemilihan kata ‘museum’ bukan sekadar sebagai ruang pameran semata. Namun layaknya sebuah museum profesional, lengkap dengan proses pencarian – pengumpulan – pemilihan – penyajian artefak yang diikuti dengan proses kurasi. Ia ingin menjadikan pameran kali ini juga memiliki proses yang sama.
“Seperti yang kita ketahui, fotografi adalah media komunikasi. Dan, di sini saya berperan sebagai komunikator di mana museum dapat berfungsi sebagai forum diskusi yang kembali menjalin hubungan antara tumbuh-tumbuhan yang mati dengan para pengunjung sebagai perwakilan manusia,” kata Heru yang berharap ‘museum’ yang dibuatnya ini menjadi pusat pengetahuan, bagian dari upaya konservasi dan untuk mengawetkannya.
Proses penciptaan karya ini dimulai pada 2011, ketika ia mulai mengoleksi tanaman-tanaman mati untuk kemudian diabadikan dalam foto. Awalnya hanya tanaman-tanaman dari halaman rumahnya sendiri kemudian ia mulai mencari ke lingkungan di sekitarnya. “Setiap saya menemukan tanaman mati yang menurut saya memiliki nilai artistik, langsung difoto. Tapi lama-lama jenis tanaman yang difoto kian susah didapatkan. Saya pun mencarinya ke pasar-pasar tanaman yang ada di Jogja,”kisahnya.
Persiapan pameran ini diperkirakan menghabiskan waktu lebih dari satu tahun. Mulai dari proses pencarian, pengumpulan, termasuk mencari elemen-elemen pendukung, proses pemotretan hingga saat foto yang sudah dicetak diletakkan di dalam bingkai (frame). Ia pun memilih gelembung plastik transparan sebagai elemen penunjang keindahan dalam karyanya.
“Saya memiliki kenangan indah dengan mainan yang cukup populer saat kecil dulu. Balon tiup yang berbahan dasar plastik atau cairan lem. Dan saya sangat terkejut saat mainan itu masih ditemukan saat ini. Balon tiup itu menjadi simbol kenangan indah bagi saya,” kata Heru yang tengah menyelesaikan kuliah S-2 Antropologi di Universitas Gadjah Mada.
Dalam proses pemotretan, Heru tidak menggunakan teknik khusus. Justru teknik yang ia gunakan sangat sederhana. Tanaman mati yang sudah ditata secara artistik ditimpa dengan beberapa lapisan gelembung plastik. Kemudian baru dipotret secara back light. “Sinar dari kamera ini kemudian memunculkan warna-warna pelangi ketika difoto. Namun, hal yang tersulit dalam pembuatannya adalah meniup gelembung plastik yang ukurannya bisa menutupi tanaman mati yang dijadikan objek. Terutama karena gelembung plastik ini sangat tipis, sehingga sangat mudah untuk robek dan meledak,”katanya.
Meski demikian, Heru mengaku sangat menikmati proses pembuatan karya-karyanya kali ini yang berjumlah lebih dari 40 foto itu. Terutama saat ia bertemu langsung dan berbagi cerita dengan para pemilik ataupun penjual tanaman mati itu. “Masing-masing tanaman yang ditampilkan memiliki ceritanya sendiri. Bagaimana para penjual tanaman tertawa saat saya mencari tanaman mati untuk difoto, namun tetap bersedia membantu. Hingga ekspresi keterkejutan dan kepuasaan saat melihat hasil akhir foto,”ujarnya.
Di kemudian hari, Heru berharap ia benar-benar bisa mendirikan ‘museum’-nya sendiri. Dengan begitu cita-citanya untuk melakukan aksi nyata untuk menyelamatkan lingkungan terutama tanaman, bisa tercapai. “Saya berharap akan segera menemukan tempat yang bisa menampung hasrat ini. Tujuannya cukup sederhana, yakni sebagai media untuk mengingatkan kembali bahwa lingkaran kehidupan manusia dengan makhluk hidup lainnya di bumi harus terjalin dengan harmonis,” katanya.
Proses Kerja