Heridono, Main Bola (Soccer)
Talenta Organizer, art management sekaligus art event organizer, menggelar pameran seni rupa bertajuk Grey, sebagai kelanjutan dari pameran sebelumnya, Orientasi 20+ (Jogja Living Artists) yang telah mereka gelar Desember 2012 lalu. Grey digelar di salah satu mal terbesar di Jakarta Pusat, Grand Indonesia Shopping Town, 13 -26 Mei.
Grey menampilkan berbagai karya lukis, patung, dan instalasi dari total 32 perupa tanah air, yang hampir kesemuanya merupakan seniman lulusan ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) di Yogyakarta, yang sekarang bernama ISI (Institut Seni Indonesia). Sebagian di antaranya merupakan nama-nama besar yang telah terkenal hingga mancanegara, antara lain Djoko Pekik, Heri Dono, Nasirun, dan Ivan Sagita.
Pihak penyelenggara mengatakan Grey dari segi kuantitas maupun kualitas jauh lebih baik dari Orientasi 20+. Dari segi kuantitas, perupa yang ditampilkan bertambah menjadi 32 orang dari sebelumnya 22, sementara dari segi kualitas peningkatan diupayakan dari segi pemilihan maupun penataan lukisan yang dipamerkan.
“Dari segi kualitasnya kami juga mencoba lebih baik lagi, misalnya dari segi penataan. Kali ini lukisan dipasang di dinding sedang dalam pameran sebelumnya di panel. Kemudian dari segi pemilihan karya, kami juga lebih selektif, bahkan dari segi setting atau pengaturan ruangan juga kami minta bantuan orang dari Bentara Budaya Yogyakarta, untuk lay out, penataan, dan sebagainya,” kata juru bicara Talenta Organizer, Purnomo kepada Sarasvati.
Mal dipilih sebagai lokasi penyelenggaraan demi mempermudah dan menarik lebih banyak pengunjung ke dalam pameran.
“Mal itu menurut saya adalah tempat yang paling baik untuk mempertemukan audiences dengan karya seni,” kata Purnomo. Menurutnya, dengan berbagai macam kepentingan yang dilakukan pengunjung di dalam mal, ia berharap acara ini bisa menarik perhatian pengunjung dari yang semula tidak mengenal seni menjadi mengenalnya. Selain itu, mal menurutnya tempat yang memudahkan orang-orang untuk melihat karya seni sekaligus untuk melakukan aktivitas lain. Galeri khusus seni dinilai Purnomo terlalu segmented dan hanya ramai dikunjungi saat pembukaan.
Menurut M. Dwi Marianto, staf pengajar ISI Yogyakarta yang diminta Talenta Organizer untuk menuliskan pembahasannya tentang pameran ini di katalog, judul Grey dipilih sebagai bentuk keprihatinan para seniman yang terlibat atas ketidakpastian kondisi sosial politik yang mereka nilai makin tidak pasti.
“Saya kemudian setuju karena tema ini sesuai dengan buku yang saya tulis yang diangkat dari fisika kuantum, yang mengatakan bahwa realitas itu merupakan sesuatu yang tidak pasti,” kata Dwi, merujuk pada salah satu hukum yang menjadi pilar ilmu mekanika kuantum, Prinsip Ketidakpastian Heisenberg.
Realitas yang penuh ketidakpastian ini didukung oleh Purnomo. Ia menceritakan ketika melempar konsep pada para seniman yang terlibat, mereka semua sepakat untuk memilih nama Grey, yang berarti abu-abu. “Menurut saya, situasi negara kita sekarang sudah serba abu-abu: hukum, sosial, politik, apa pun, sudah tidak jelas. Kami kemudian sepakat setelah diskusi yang panjang,” kata Purnomo.
Tema inilah yang kemudian ikut dijadikan salah satu kriteria dalam memilih karya yang akan dipamerkan. Karenanya dalam Grey kita akan banyak melihat karya seni rupa yang mengekspresikan protes atas kondisi sosial. Contohnya lukisan berjudul Main Bola karya Heri Dono yang mengkritik kisruh di tubuh PSSI (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia), Malioboro Masih Ada Batik Di Sini karya Melodia yang mengkritik makin kalahnya batik produk asli budaya Indonesia oleh ekspor batik dari Malaysia dan China, serta Ratu Adil karya Noor Ibrahim yang menggambarkan harapan masyarakat Indonesia akan datangnya kondisi sosial-politik yang bersih dari penindasan dan kekerasan.
Sesuai dengan tema Grey yang berangkat dari ketidakpastian kondisi sosial politik, maka pameran ini menurut pihak Talenta tidak mengejar kepentingan komersial dan lebih bertujuan untuk kepentingan pendidikan dan pelestarian budaya lewat pengenalan karya seni dan penciptanya pada publik. Karenanya dalam Grey, perupa yang disertakan bukan hanya yang sudah memiliki nama besar, namun juga yang relatif belum terkenal, seperti misalnya Sinik, Sujono, dan Wiyono.
Pameran ini juga berniat untuk menghadirkan perupa yang terlibat tidak hanya pada saat pembukaan, namun juga setiap hari saat pameran berlangsung. Dengan cara ini, Talenta Organizer berharap masyarakat lebih mengenal dan menghargai para senimannya. “Jangan sampai seseorang bisa bilang dia suka karya Nasirun tapi tidak tahu Nasirun itu yang mana orangnya,” kata Purnomo. Meski pada praktiknya, tidak semua seniman ada saat pameran berlangsung.
Ketika disinggung soal analisa pasar dari karya yang ditampilkan, Purnomo memprediksi 60% di antaranya akan dapat terjual, namun ini akan tetap tergantung pada kondisi ekonomi Indonesia selama berlangsungnya pameran.
“Bagi kami pameran saja dulu, soal rezeki itu bisa menyusul. Sebab kalau yang kami pentingkan selalu keuntungan, lebih baik kami pamerkan saja karya-karya yang menjual, tak perlu mengajak perupa muda,” kata Purnomo.
M. Dwi Marianto menyarankan agar para perupa sendiri tetap tanggap dalam menyikapi kondisi lesunya pasar dengan lebih fleksibel dan cerdas tanpa harus meninggalkan kreativitas mereka. “Saya percaya bahwa seniman itu harus berpikir alternatif, jadi ibarat kalau membangun rumah itu ada halaman depan dan halaman belakang, jadi jangan cuma bertumpu pada karya murni saja, karena kalau begitu kita jadi tergantung pada kolektor,” kata Dwi.
Noor Ibrahim, Ratu Adil