Proses kurasi karya untuk pameran BAKABA #6. (Dok. BAKABA)

Berangkat dari nilai tradisi Minangkabau, BAKABA #6 menyoal “INDONESIA” dari sejarah hingga fenomena hari ini.

Mangaja ka ulu, maminteh ka balakang. Demikian mamangan (kiasan) Minangkabau yang dikutip Anton Rais Makoginta dalam pengantar perhelatan pameran BAKABA #6 di Jogja Gallery, 18-31 Mei 2017. Jika dilogikakan, mamangan ini secara harafiah berarti “mengejar ke hulu, memintas ke belakang”. Anomali memang, karena mengejar sewajarnya ke ujung atau muara, dan memintas selayaknya ke depan.

Namun, bila diambil intinya, kiasan mangaja ka ulu, maminteh ka balakang dapat dimaknai sebagai anjuran menggunakan pola pikir sebab akibat untuk menghadapi persoalan. Pelajari pangkal (hulu) persoalan, gali sejarah atau kejadian sebelumnya atau sejarah—laku yang kini dikenal dengan kata “riset”.

Laku ini pula yang tampaknya ingin dimunculkan dalam proses berkarya para seniman partisipan BAKABA #6, yang tahun ini terdiri dari seniman Komunitas Seni Sakato, seniman undangan, dan seniman terpilih dari open call di Sumatra Barat. Melalui tema “INDONESIA”, mereka diajak untuk melihat kondisi dan isu yang terjadi di Indonesia saat ini dengan kerangka berpikir melihat persoalan sampai ke akar (hulu)-nya serta menggali sejarah (ke belakang) yang berkaitan.

Keterkaitan “INDONESIA” dengan eksistensi Komunitas Seni Sakato—yang menggawangi perhelatan tahunan BAKABA—dapat ditarik dari jejak sejarah Indonesia, Minangkabau, dan seni rupa. A. Sudjud Dartanto, dalam catatan sarasehan tema BAKABA #6, menggarisbawahi kelahiran Indonesia dan terbentuknya rasa patriotisme tidak lepas dari campur tangan seniman dan karya seni-budaya, seperti puisi, prosa, lagu, bendera, dan beragam simbol.

Proses kurasi karya untuk pameran BAKABA #6. (Dok. BAKABA)
Proses kurasi karya untuk pameran BAKABA #6. (Dok. BAKABA)

Upaya Raden Saleh dan Sudjojono yang berjuang lewat seni rupa, sedikit banyak mengundang tanya, lantas bagaimana upaya seniman hari ini untuk Indonesia? Lalu, jika ditilik dari kontribusi tokoh Minangkabau, Tan Malaka, Hatta, dan Sjahrir menjadi nama-nama yang penting dikenal dalam memahami lahirnya Indonesia. Sementara itu, bagaimana gerak seniman Minang untuk Indonesia hari ini?

“Dari sini bisa pula dilihat, seperti apa tawaran yang mampu diberikan oleh masyarakat generasi sekarang (seniman) terhadap Indonesia. Bukankah generasi sebelumnya memberikan sumbangsih yang besar terhadap negara – termasuk seniman!” kata Anton yang juga salah satu anggota tim perumus BAKABA.

Di sisi lain, penggunaan tema “INDONESIA” dalam BAKABA tahun ini memiliki risiko untuk dimaknai banal. Karenanya, para seniman Minang kali ini tampaknya butuh memanfaatkan kepekaan lebih dalam menangkap inti perhelatan kali ini sehingga karya-karya yang akan tampil tak hadir seperti ilustrasi “Indonesia” dan diri sendiri.

“Seniman Komunitas Sakato dan seniman yang berada di Sumatra Barat adalah penutur sekaligus penerima mamangan. Dengan demikian, sepantasnya mereka memahami kerangka berpikir yang membutuhkan riset dan menuturkannya dengan berbagai kiasan serta simbol yang tidak hanya terstruktur, namun juga anomali,” tambah Anton.

Artikel Menyelami Indonesia dari Hulu dan ke Belakang dimuat di majalah SARASVATI edisi Mei 2017